Jakarta, Prohealth.id – Pekan Imunisasi Nasional selama 16-22 Mei 2022 menjadi ajang pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan untuk mensosialisasikan Bulan Imunisasi Anak Nasional yang akan dimulai pada Mei 2022 mendatang.
Menurut dr. Prima Yosephine, MKM selaku Plt. Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan menegaskan anak wajib mendapat hak imunisasi. Hal ini karena imunisasi adalah upaya untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit. Oleh karena itu, imunisasi menciptakan kekebalan individu, kekebalan kelompok, dan ini akan memberi manfaat lanjutan untuk lintas kelompok.
“Oleh karena itu, imunisasi harus diberikan secara lengkap termasuk berbentuk booster, sehingga ada perubahan paradigma saat ini bukan imunisasi dasar lengkap lagi tetapi imunisasi rutin lengkap,” jelas dr. Prima dalam konferensi pers Pekan Imunisasi Sedunia, 11 April 2022 lalu.
Dengan begitu, imunisasi rutin lengkap artinya seorang anak atau seorang individu harus mendapatkan dosis imunisasi lanjutan pada usia 18 bulan, usia anak sekolah (BIAS), dan bahkan sampai usia dewasa.
“Namun sayangnya, cakupan imunisasi rutin terdampak selama pandemic Covid-19 terbukti mengalami penurunan,” terangnya.
Oleh karena itu, dr. Prima menegaskan, selain pandemi Covid-19 ada banyak tantangan program imunisasi. Sebut saja; pertama, masih banyak wilayah di Indonesia khususnya bagian Timur dengan cakupan imunisasi rendah berisiko tinggi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB). Kedua, rendahanya dukungan Pemda dalam memprioritaskan program imunisasi.
Faktor ketiga, masih ada sekelompok masyarakat yang menolak imunisasi akibat termakan informasi yang tidak benar terkait halal dan haram. Keempat, masih ada kendala dalam manajemen penyimpanan vaksin di beberapa fasilitas kesehatan terutama swasta namun belum sesuai SOP. Kelima, ada masalah dari sisi kapasitas dan jumlah SDM pelaksana imunisasi.
“Akibatnya, kami mendata sepanjang 2019-2021 ini saja ada 1.714.471 anak yang tidak mendapat imunisasi dasar,” tegasnya.
Untuk itu, Kementerian Kesehatan merumuskan strategi khusus sasaran imunisasi. Misalnya; melakukan pelacakan serentak pada balita atau baduta yang belum lengkap status imunisasinya. Kedua, Kemenkes juga mengidentifikasi anak usia bawah 36 bulan yang terlambat mengakses imunisasi, untuk bisa melengkapi vaksinasinya. Ketiga, memperbanyak komunitas masyarakat dan sentra posyandu untuk melakukan sweeping dalam rangka jemput bola peserta imunisasi.
“Pemerintah tentu bekerja sama pula dengan sekolah yang melakukan pembelajaran tatap muka agar program BIAS bisa terselenggara di Puskesmas, maupun Puskesmas Keliling yang menjangkau sekolah secara langsung,” tutur dr. Prima.
URGENSI IMUNISASI RUTIN
Sementara itu, dr. Praba Palihawadana selaku Medical Officer EPI WHO mengatakan, imunisasi harus dan wajib direalisasi meski pandemi Covid-19 berlangsung dan belum selesai. Dia mengatakan, jumlah anak yang belum atau tidak lengkap imunisasinya meningkat dari 3 juta menjadi 4,9 juta, terbukti dari pencapaian imunisasi di wilayah Asia yang menurun dari 91 persen pada 2019 menjadi 85 persen saja pada 2020.
Health Officer Immunization dari UNICEF, dr. Sartini Saman secara terpisah juga menjelaskan, setiap tahun, terdapat 20 juta bayi baru lahir yang tidak mendapat imunisasi lengkap dan 13 juta diantaranya tidak menerima satu dosis pun (zero dose children).
Indonesia masih masuk lima besar negara di dunia dengan peningkatan anak zero-dose alias tidak mendapat imunisasi sama sekali. Peringkat ini terdata terjadi pada tahun 2020, Indonesia duduk pada peringkat ketiga setelah India dan Pakistan. Pada posisi keempat ada Meksiko dan Filipina.
Dia pun menegaskan imunisasi adalah hak anak. Urgensi ini tertera dalam hak konvensi anak yang menyebut, anak memiliki hak kesehatan dan pelayanan kesehatan dasar yang optimal yaitu ASI, Imunisasi, posyandu, makanan bergizi, air bersih, dan lainnya.
“Imunisasi juga selama ini secara global terbukti berhasil menjaga kesehatan anak. Setidaknya 2-3 juta anak di dunia berhasil diselamatkan dari penyakit mematikan berkat imunisasi,” tutur dr. Sartini.
Bukti lainnya, imunisasi polio secara global telah menurunkan prevalensi penderita penyakit ini sampai 99 persen pada tahun 1998 hampir di seluruh dunia. Selain itu, 23 juta kematian terkait campak dapat dicegah melalui pemberian vaksin campak antara tahun 2010-2018.
Berkat efektivitas itu sejak tahun 2010, 116 negara mengenalkan vaksin baru di negaranya termasuk diantaranya vaksin pneumonia pneumokokus, diare.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post