Orang tua sangat wajib melakukan skrining pada bayi baru lahir guna mencegah penyakit kekurangan hormon tiroid atau hipotiroid kongenital.
Dikutip dari situs Kementerian Kesehatan, hipotiroid kongenital yang dideteksi lebih cepat dan diobati, dapat mencegah anak mengalami keterlambatan pertumbuhan dan keterbelakangan secara kognitif.
Mengacu prevalensi global 1:3000 kelahiran, menunjukkan bahwa 1.500 dari 4,4 juta bayi baru lahir Indonesia diperkirakan lahir dengan hipotiroid kongenital. Dengan demikian skrining hipotiroid kongenital perlu dilakukan.
Gejala dan tanda yang dapat diobservasi setelah 1 bulan bayi lahir antara lain tubuh pendek, lunglai, kurang aktif, bayi kuning, lidah besar, mudah tersedak, suara serak, pusar bodong, dan ubun-ubun melebar.
Plt. Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan dr. Ni Made Diah PLD, MKM mengatakan skrining hipotiroid kongenital dilakukan pada bayi baru lahir untuk memilah bayi yang menderita hipotiroid kongenital.
“Dengan skrining, diharapkan bayi yang menderita hipotiroid kongenital dapat diberikan tatalaksana dengan segera sehingga dapat terhindar dari kecacatan, gangguan tumbuh kembang, keterbelakangan mental dan kognitif,” ujar dr. Diah pada konferensi pers virtual, Jumat, 7 Oktober 2022 lalu di Jakarta.
Pemeriksaan skrining hipotiroid kongenital menggunakan sampel darah tumit pada bayi usia 48 jam sampai 72 jam yang diambil oleh tenaga kesehatan. Semua bayi baru lahir berhak mendapatkan pemeriksaan tersebut melalui pelayanan di puskemas hingga rumah sakit.
Baca Juga: Udara Bersih dan Vaksinasi Jaminan Bebas Pneumonia
Cegah gangguan tiroid sejak dini
Gangguan tiroid adalah gangguan yang menyerang kelenjar tiroid baik gangguan fungsi dalam memproduksi hormon tiroid maupun adanya kelainan kelenjar tiroid tanpa gangguan fungsi. Hormon tiroid sangat diperlukan dalam metabolisme tubuh, untuk membantu tubuh menggunakan energi agar tetap hangat, serta membuat otak, jantung, otot dan organ lainnya bekerja sebagaimana mestinya. Gangguan tiroid yang tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat mempengaruhi kualitas kehidupan sehari-hari dan memiliki dampak psikologis yang memberatkan.
Pada tahun 2015, Indonesia masih menempati posisi sebagai negara dengan gangguan tiroid tertinggi di wilayah Asia Tenggara berdasarkan hasil riset IMS Health. Sebanyak 17 juta masyarakat di Indonesia mengalami gangguan tiroid. Jumlah ini bisa jadi lebih tinggi karena masih banyak kasus gangguan tiroid yang belum terdiagnosa.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan melalui situs resminya, hormon tiroid pada bayi dan anak berperan penting untuk perkembangan otak dan tumbuh kembang. Gangguan tiroid dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang dan gangguan perilaku pada anak[1]anak. Gangguan tiroid sejak lahir alias hipotiroid kongenital (HK) dapat mengakibatkan retardasi mental.
Angka kejadian HK secara global berdasarkan hasil skrining neonatal adalah 1:2000 sampai 1:3000, sedangkan pada era pra-skrining angka kejadiannya adalah 1:6700 kelahiran hidup. Program pendahuluan skrining HK Neonatal di 14 provinsi di Indonesia memberikan insiden sementara 1:2513 sedangkan tahun 2016 melalui skrining di 5 provinsi menghasilkan insiden 1:226.
Berdasarkan data registri HK UKK Endokrinologi Anak IDAI yang bersumber dari beberapa rumah sakit tertentu di Indonesia, sebagian besar penderita HK mengalami keterlambatan diagnosis sehingga mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan motorik serta gangguan intelektual. Hasil penelitian di Indonesia oleh Pulungan dkk, memperlihatkan keterlambatan pada pemberian terapi awal mempengaruhi IQ, yaitu kira kira 51 pada kasus-kasus yang mendapatkan terapi awal pada usia 1.5 tahun. Pada penelitian ini juga memperlihatkan bahwa kadar FT4 normal mempertahankan perkembangan intelektual yang lebih baik pada sisa waktu perkembangan otak.
Baca Juga: Penting Deteksi Dini dan Penanganan Kanker Prostat
Selain HK, gangguan tiroid pada anak lainnya adalah hipertiroid dan hashimoto. Untuk kasus hipertiroid pada anak sebagian besar adalah penyakit graves. Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun dengan insiden 0.1-3 per 100.000 anak. Insiden nya meningkat sesuai umur jarang ditemukan pada usia sebelum 5 tahun dengan puncak insiden pada usia 10– 15 tahun.
Perempuan lebih sering dibandingkan lelaki dan riwayat keluarga dengan penyakit autoimun meningkatkan resiko sebesar 60 persen. Untuk insiden tiroiditis hashimoto di dunia diperkirakan sebesar 0.3-1.5 kasus per 1000 populasi per tahun. Perempuan 3-5 kali lebih sering terkena dibandingkan lelaki. Pasien diabetes melitus (DM) tipe 1, sindrom down, sindrom turner lebih beresiko menderita tiroiditis hashimoto maupun kondisi autoimun lainnya.
Menurut dr. Em Yunir SpPD-KEMD, mewakili Pengurus Besar Perkumpulan Endorkrinologi Indonesia (PERKENI) menjelaskan, hangguan tiroid biasanya berupa kelainan fungsi hipertiroid alias kelenjar tiroid memproduksi terlalu banyak hormon tiroid, hipotiroid adalah kelenjar tiroid tidak cukup memproduksi hormon tiroid, dan kanker tiroid.
Gangguan fungsi tiroid seringkali sulit diidentifikasi karena gejalanya tidak spesifik, gejala gangguan tiroid sangat mirip dengan berbagai keluhan akibat gaya hidup modern sehingga sangat sering diabaikan. Akibatnya pasien seringkali tidak menyadari ada masalah pada dirinya dan tidak memeriksakan diri ke dokter.
Baca Juga: Kanker Hati di Indonesia Mayoritas Akibat Lemahnya Deteksi Dini
Kenali kanker tiroid sejak dini
Menurut data GLOBOCAN tahun 2020, kanker tiroid menempati urutan ke-12 dengan kasus kanker terbanyak yaitu mencapai 13.1141. Kasus kanker tiroid ini 2-3 kali lebih berisiko pada pasien wanita dibandingkan pria.
Dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Dela Listiya, salah satu pejuang kanker tiroid yang bergabung dalam Yayasan Pitatosca, menceritakan mengenai gejala awal dirinya terdiagnosa kanker tiroid.
Kesadaran Dela muncul tatkala kerabat dan keluarga yang menyadari adanya pembesaran pada leher Dela. “Saya melihat ada perubahan pada diri saya seperti berjerawat, mudah stres dan beberapa celana saya kebesaran dan teman-teman saya juga berkomentar bahwa bagian leher saya terlihat sangat besar. Baru setelah itu saya melakukan pemeriksaan awal”, kata Dela.
Menurut dr. Arif Kurniawan, Sp.B(K)Onk selaku dokter bedah onkologi di RS Royal Mandaya Hospital, membenarkan gangguan yang terjadi pada tiroid kadang justru tidak dirasakan oleh pasien itu sendiri, tetapi oleh orang-orang di sekitarnya yang melihat perubahan tersebut ataupun terdeteksi karena adanya pengecekan yang tidak sengaja melalui Ultrasonografi (USG).
Dengan begitu deteksi dini dan kesadaran masyarakat terhadap kanker tiroid ini perlu ditingkatkan agar masyarakat bisa mendapatkan penanganan lebih dini. Selain dari pendeteksian dini, pengobatan dan penatalaksanaan pada pasien pun harus tepat.
Sementara itu, dr. Eko Purnomo, Sp.KN-TM(K) selaku Ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia (PKNI) menjelaskan bahwa proses pengobatan kanker tiroid selain dilakukan melalui pembedahan dilanjutkan dengan metode ablasi yaitu pembersihan sisa pembedahan dengan metode terapi nuklir.
“Biasanya masyarakat khawatir ketika mendengar kata nuklir, tetapi sebenarnya tidak perlu khawatir karena terapi nuklir ini bukan ditembakan tetapi metode ini merupakan metode terapi yang dilakukan dengan melalui sistem oral (diminum), sehingga pasien tidak perlu diinfus ataupun disuntik“, kata ketua PKNI.
Kondisi lainnya ketika kondisi kanker ini mengalami refrakter atau tidak mempan dengan ablasi, prinsip dan metode terapi harus diubah melalui metode sistemik, yaitu metode kemoterapi atau metode terbaru terapi target.
“Terapi target dilakukan dengan cara pasien mengonsumsi obat melalui oral kemudian akan dievaluasi 1 – 2 bulan apakah pasien memberikan respons baik atau tidak” ujar dr. Toman Lumban Toruan, Sp.PD-KHOM.
Tidak hanya gejala atau perubahan fisik yang dialami pasien, tetapi dari sisi psikis pasien pun mengalami perubahan
Ketua Yayasan Pitatosca dan juga penyintas kanker tiroid, Astriani Dwi Aryaningtyas, mengatakan pasien dengan diagnosa kanker tiroid akan merasa dunianya sudah berakhir. Saat itu timbul rasa ketakutan yang luar biasa dan kebingungan terkait apa yang harus dilakukan, tetapi dengan adanya dukungan dari keluarga, kerabat dan tenaga medis yang saling berkolaborasi, tentunya bisa memberikan semangat dan harapan baru.
“Saya juga ingin menyampaikan ke seluruh teman-teman yang saat ini sedang berjuang, bahwa kita tidak sendiri banyak orang yang peduli dan kita semua harus yakin bahwa kita bisa sehat kembali,” jelas Astriani.
Selanjutnya: Rokok Elektrik Tak Diatur, Bikin Dokter Pusing Atasi Penyakit Paru dan Kanker
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post