Jakarta, Prohealth.id – Setiap kali wacana cukai rokok menguap, pelaku industri rokok kerap menyatakan akan merugi karena cukai rokok tidak hanya mempersulit gerak bisnis mereka tetapi juga memicu lahirnya rokok ilegal. Benarkah demikian?
Menurut Perkumpulan Prakarsa -organisasi yang berfokus meneliti kebijakan peningkatkan kesejahteraan- menolak pandangan jika peredaran rokok ilegal terkait momentum kenaikan tarif cukai. “Dalam studi kami peralihan rokok ilegal belum menjadi preferensi perokok,” kata Herni Ramdlaningrum, selaku peneliti dari Perkumpulan Prakarsa.
Temuan itu bisa ditinjau dari daya beli konsumen rokok yang masih tetap tinggi. Padahal tiap tahun ada kenaikan tarif cukai rokok. “Kenaikan harga rokok tiap tahun masih terlalu rendah,” ujarnya.
Menurut Herni, peredaran rokok ilegal cenderung terkait masalah penegakan hukum. Kemunculan rokok ilegal menandakan penegakan hukum harus lebih gencar, terutama saat fase kenaikan cukai. “Namun, kenaikan cukai tidak berarti (peredaran) rokok ilegal akan tinggi,” katanya.
Soal penegakan hukum, Herni menganggap penting mengesahkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), karena memberikan panduan yang berhubungan menanggulangi peredaran rokok ilegal. “Tidak hanya di tingkat nasional. Tapi peredaran rokok ilegal antarnegara,” ujarnya.
Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menegaskan, bahwa peredaran rokok ilegal bukan alasan untuk tidak menaikkan harga rokok. “Kalau (harga) naik akan selalu ada celah menjual harga lebih rendah. Caranya enggak bayar cukai atau (pita cukai) palsu,” katanya.
Ketika produsen menganggap harga makin tinggi, maka publik tak perlu ikut hanyut saat ada kasus rokok ilegal. “Jangan larut seolah-olah yang ilegal itu marak. Kan ada pengawasan pemerintah, makanya (negara) punya polisi” ujarnya.
Saat kenaikan tarif cukai, lalu dibarengi adanya kasus rokok ilegal. “Rokok ilegal jangan dijadikan alasan menunda kenaikan harga rokok,” katanya.
BERKACA DARI SPANYOL
Hal ini diperkuat dari tulisan Beladenta Amalia, mahasiswi doktoral Kesehatan Masyarakat di Universitat de Barcelona. Dalam naskah yang berjudul “Surat Dari Barcelona: Mendapatkan Score 1,63 dari skala 5, Indonesia Raih Rapor merah kebijakan Pajak Rokok di Skala Dunia,” Beladenta menegaskan kondisi krisis di Indonesia karena belum ada simplifikasi cukai rokok maupun kenaikan cukai yang konsisten dan tinggi.
Beladenta menceritakan selama 4,5 tahun tinggal di luar Indonesia, yakni setahun di Inggris dan sisanya di Spanyol, dia mengamati ada fenomena unik perokok Indonesia. Pasalnya ketika tiba di luar negeri mereka sering mengeluh tentang mahalnya harga rokok di sini.
Sebungkus rokok di Indonesia bisa dibeli dengan harga Rp15.000; lebih murah daripada secangkir kopi cafe-cafe di Jakarta, sementara di Spanyol, perokok mesti merogoh kocek berkisar 3-5 Euro untuk sebungkus rokok, atau setara dengan Rp50.000-80.000.
Harga yang mahal diakibatkan Spanyol mengenakan pajak rokok yang cukup tinggi, yaitu hampir 80 persen dari harga eceran. Selain itu rokok di Spanyol tidak bisa dibeli secara batangan dan hanya dijual di toko-toko khusus rokok yang berlisensi, bukan oleh pedagang asongan yang bahkan tidak menanyakan umur si calon pembeli rokok.
Kondisi ini tidak seperti konsumsi rokok di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, belanja rokok menempati urutan kedua setelah beras pada warga miskin, rokok bagi warga Spanyol bukanlah hal lumrah lagi karena produk tersebut sudah dianggap sangat berbahaya.
“Harga rokok yang tinggi, iklan rokok yang dilarang, penerapan Kawasan Tanpa Rokok yang kuat, semakin membuat orang alergi dengan rokok yang berarti denormalisasi rokok berhasil, berbanding terbalik dengan yang terjadi di bumi pertiwi,” ungkap Beladenta.
Berdasarkan temuan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), di Indonesia harga rokok yang murah tidak hanya membuat perokok tidak terdorong untuk berhenti, tetapi juga membuat perokok dari keluarga miskin lebih memilih membeli rokok daripada makanan bergizi. Selain itu, anak usia remaja yang baru mencoba merokok juga tidak kesulitan untuk mencoba karena harganya yang begitu murah.
WANPRESTASI INDONESIA DI MATA DUNIA
Beladenta menyebut, Kartu Penilaian Tobacconomics tentang Pajak Rokok atau Tobacconomics Cigarette Tax Scorecard yang diterbitkan bulan Desember 2020 juga memaparkan urgensi Indonesia memperbaiki pajak dosa dari industri rokok. Paslanya, laporan yang disusun oleh sekelompok peneliti dari University of Illinois Chicago’s (UIC) Institute for Health Research and Policy tersebut menunjukkan skor atas kinerja kebijakan pajak rokok di lebih dari 170 negara berdasarkan lima indikator fiskal, yaitu harga rokok, perubahan keterjangkauan rokok dari waktu ke waktu, porsi pajak dalam harga jual eceran rokok, dan struktur pajak rokok.
Dalam laporan itu terlihat nilai buruk kebijakan pajak rokok Indonesia dibandingkan dengan banyak negara lain. Pada tahun 2018, Indonesia mendapatkan skor 1,63 dari skala 5; lebih buruk daripada negara-negara tetangga, yaitu Filipina dengan skor: 3,75; Malaysia dengan skor 2,88; Timor Leste dengan skor 1,75; dan Thailand dengan skor 1,75.
Pada tahun yang sama, rata-rata skor global adalah 2,07, dengan skor tertinggi adalah 4,63 dan dicapai oleh Australia dan Selandia Baru. Dari laporan tersebut juga terlihat sebelum tahun 2018, skor Indonesia hanya sedikit mengalami kenaikan, yaitu dari skor 1,38 pada tahun 2016, dan 1,25 pada tahun 2014, peningkatan skor terjadi karena adanya perbaikan di harga absolut dan porsi pajak, sedangkan aspek keterjangkauan harga dan struktur cukai rokok tidak ada perubahan. Bayangkan, dalam 4 tahun tidak ada perbaikan pajak rokok secara keseluruhan yang signifikan di Indonesia.
Beladenta menerangkan, praktik terbaik untuk mengatasi problem wanprestasi ini adalah dengan menerapkan struktur tarif tunggal alias simplifikasi cukai. Dengan demikian semua jenis rokok dikenakan cukai yang seragam, karena efektif menaikkan harga rokok dan mengurangi keterjangkauannya.
“Negara negara di Eropa, termasuk Spanyol, memiliki skor tinggi dalam aspek ini karena telah menerapkan tarif tunggal dan pajak minimum seperti yang diamanatkan dalam ketentuan pajak tembakau Uni Eropa,” terang Beladenta.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post