Jakarta, Prohealth.id – Selama beberapa pekan usulan cukai rokok yang mulai mencuat ternyata menuai banyak respon yang mengaitkan rencana itu dengan kerugian ekonomi. Benarkah demikian?
Dilansir dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, sejumlah pelaku usaha Industri Hasil Tembakau (IHT) mengklaim di tengah kondisi pandemi terdapat tiga tantangan besar yang tengah dihadapi, mulai dari menurunnya ekonomi masyarakat sebab pandemi, kekhawatiran kembali naiknya tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), hingga kemungkinan penyederhanaan struktur tarif cukai alias simplifikasi. Rilis itu menyebut keresahan ini bukan tanpa alasan mengingat, sejak dua tahun terakhir, pemerintah memang telah melakukan kenaikan tarif CHT secara eksesif.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan mengatakan komisi sampai saat ini menolak wacana kenaikan tarif maupun simplifikasi CHT. Dia berharap pemerintah lebih berfokus terhadap penanggulangan pandemi COVID-19 terlebih dahulu, ketimbang melahirkan kebijakan baru yang ekstrem seperti itu.
“Saat ini bukan waktu yang tepat. Tidak ada urgensinya sama sekali. Lebih baik pemerintah menjaga IHT dengan kebijakan yang soft mengingat situasi ekonomi sedang tidak bagus dan sulit untuk mencari pekerjaan. Tarif cukai juga ada baiknya tidak naik dulu, kalaupun naik harus sesuai kemampuan dan masukan dari pelaku industri terlebih dahulu, CHT jangan dilihat dari perusahaan-perusahaan besarnya saja, tapi juga petani dan buruh yang terlibat perlu diperhatikan,” ujar Daniel.
BENARKAH INDUSTRI ROKOK MERUGI?
Saat anggota dewan dan industri tembakau mengklaim sedang kesulitan secara ekonomi, nyatanya penerimaan pendapatan bisnis rokok selama pandemi cenderung meningkat. Jika merujuk Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), industri rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk milik Philip Morris asal Amerika Serikat (AS) mengantongi pendapatan Rp47,2 triliun di semester I/2021. Nilainya naik 6,5 persen ketimbang pendapatan periode yang sama tahun sebelumnya.
Begitu juga dengan perusahaan rokok PT Gudang Garam International Tbk, pendapatannya juga naik 12,9 persen menjadi Rp60,6 triliun. Kalau dibandingkan, pendapatan perusahaan rokok ini jauh dibandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari provinsi mana pun, termasuk Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki PAD Rp37,41 triliun.
Oleh karena itu, pptimisme pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,0 persen sampai 5,5 persen seharusnya masih bisa dimungkinkan dengan cara memperkuat konsolidasi fiskal yakni memperluas penerimaan pajak.
Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo mendorong adanya perluasandan penambahan basis pajak, dengan penerapan pajak baru ke target-target baru. Pertanyaannya, akankah salah satu target pajak baru yang direncanakan adalah cukai rokok?
Asal tahu saja, rata-rata tarif cukai tembakau di Indonesia adalah 54 persen dari harga pasar, dimana praktik global terbaik menetapkan tingkat cukai minimal 70 persen dari harga pasar. Kebijakan peningkatan cukai yang rendah saat ini tidak mengikuti inflasi dan kenaikan tingkat pendapatan telah membuat harga rokok di Indonesia lebih terjangkau dari waktu ke waktu.
Walaupun Indonesia menerapkan tarif cukai spesifik pada hasil tembakau, sistem tarif multi-layer-nya adalah sangat rumit dan seperti menirukan sistem ad valorem yang kurang efisien. Pada sisi lain, kegagalan dalam menaikkan cukai rokok juga berimbas pada rencana penurunan prevalensi perokok remaja kelompok umur 10-18 tahun dari yang semestinya 7,2 persen tahun 2013 menjadi 5,4 persen tahun 2019 yang bahkan meningkat menjadi 9,1 persen tahun 2018.
Oleh karena itu peraturan cukai hasil tembakau tahun 2020 dan 2021 menyebabkan hilangnya kesempatan untuk mengurangi prevalensi merokok karena kegagalan melakukan simplifikasi sistem layer cukai tembakau dan dengan mempertahan tarif cukai SKT yang konstan pada 2021.
Menurut Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pandemi Covid-19 memang memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi. Meski demikian Suahasil menyebut pandemi justru menjadi momentum untuk membangun kesadaran pengendalian tembakau.
Dalam sebuah forum “Tobacco Tax in Indonesia: Counting the Lost Rupiahs” Suahasil menerangkan pemerintah sesuai arahan Presiden Joko Widodo, Bappenas dan Kementerian Keuangan tengah mendalami kaitan antara kenaikan cukai dengan harga jual produk tembakau. Tujuannya, agar pemerintah bisa menaikkan cukai guna mendorong penerimaan dari sektor kesehatan.
“Kebijakan teknokratik ini harus digunakan untuk mendorong kebijakan yang keduanya dipertimbangkan baik untuk politik, ekonomi, dan sosial,” tuturnya.
Tak hanya itu, Suahasil juga menyinggung tentang keterjangkauan produk tembakau yang sangat mudah di Indonesia. Kondisi faktual itu tentu menandakan bahwa kenaikan tarif cukai rokok dan harga rokok harus terakomodasi untuk mendorong kebijakan fiskal. Saat ini harga produk tembakau di Indonesia memang murah.
Persoalannya, kata Suahasil, upaya simplifikasi cukai memang kerap tertunda. Saat ini Indonesia masih harus meningkatkan kemampuan sistemnya. Pasalnya, penundaan ini juga karena industri tembakau kerap mengeluarkan argument yang sama yakni tentang kerugian ekonomi dan ketenagakerjaan. Oleh sebab itu studi lanjutan sedang dipersiapkan agar simplifikasi yang direncanakan bisa berjalan dengan efektif.
MENJAWAB KLAIM ATAS NAMA PETANI
Berkaitan dengan argumen bahwa cukai rokok akan menurunkan ekonomi dan merugikan petani, Suahasil menjelaskan bahwa pentingnya keadilan dalam sistem Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) ketimbang hanya menunda atau menghentikan wacana kenaikan cukai rokok. Hanya dengan DBHCHT yang berjalan dengan baik maka kualitas ekonomi dan kehidupan petani pun bisa meningkat dan sejahtera.
“Ini [DBHCHT] yang akan membantu keberlanjutan hidup para petani tembakau. Hasil dari tembakau itu kan seharusnya bisa ditransfer kepada petani. Ini yang sangat penting diperlukan komunikasi intens dengan petani dalam menaikkan cukai,” ujarnya.
Berangkat dari kebutuhan itu, target Presiden Joko Widodo meningkatkan pendapatan menjadi Rp1.840,7 triliun pada 2022 yang terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp1.506,9 triliun, maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp333,2 triliun seharusnya bisa tercapai.
Penulis: Tim Prohealth.id
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post