Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) meluncurkan temuan disinformasi seputar produk tembakau dan industrinya, yang kali ini merupakan hasil penyisiran berita di media arus utama.
Komnas Pengendalian Tembakau menemukan bahwa disinformasi yang beredar di media bukan hanya terkait isu kesehatan, tetapi juga isu ekonomi dan sosial, yang dapat mempengaruhi kebijakan. Oleh karena itu, bersama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), hari ini Komnas PT juga meluncurkan modul “Menangkal Disinformasi Produk Tembakau dan Industrinya”.
Sebelumnya, Komnas Pengendalian Tembakau meluncurkan temuan disinformasi industri tembakau bagian pertama yang fokus pada kumpulan data disinformasi yang sudah ada dari berbagai organisasi dan memantau disinformasi yang tersebar di media sosial. Kini, Komnas Pengendalian Tembakau kini melakukan pengumpulan disinformasi yang dari berita-berita di media melalui media monitoring dalam jangka waktu setahun terakhir, dengan dukungan eBdesk Media Monitoring Division.
Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau menyatakan bahwa banyak informasi yang masuk namun tidak bisa diseleksi. Temuan ini sangat penting, karena kekeliruan informasi dampaknya besar.
“Kita sadari bahwa di dalam urusan tembakau, disinformasi sangat mudah terjadi karena konumsi tembakau mempunyai aspek konsumsi bahan adiktif yang tidak terlalu kuat dalam jangka pendek seperti alkohol,” ungkapnya, 26 Juli 2024 lalu.
Dalam temuan bagian pertama, disinformasi muncul sebagian besar tentang topik bidang kesehatan adalah 61 persen, kemudian ekonomi adalah 20 persen, dan hukum sebanyak 4 persen yang meragukan regulasi Kawasan Tanpa Rokok. Disinformasi juga muncul tentang topik bidang pertanian yakni 2 persen yang berpotensi menciptakan kesalahan informasi dalam hal kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan penyebarannya di media sosial, beberapa akun medsos secara khusus diduga meng-endorse industri dengan menciptakan narasi-narasi yang mengandung disinformasi, dan terlihat adanya afiliasi para komunikator dengan industri rokok, baik secara perorangan maupun lembaga/komunitas.
Pada bagian kedua ini, penyisiran berita-berita resmi di media dilakukan untuk mengetahui apakah disinformasi juga ditemukan di media, bahkan di media terverifikasi Dewan Pers, dan siapa saja komunikator disinformasi tersebut yang kemudian dapat ditarik hipotesa mengenai tendensi penyebaran disinformasi tersebut di media.
Tahapan penyisiran dimulai dengan 56.000 artikel media baik cetak dan online, ada 2.495 artikel berdasarkan judul artikel, yang kemudian sebanyak 53.505 artikel dikeluarkan tidak sesuai dengan kriteria eksklusi. Lalu, sebanyak 1.968 artikel berdasarkan pembacaan isi artikel yang 527 artikel di antaranya dieksklusi karena link artikel media tidak dapat dibuka atau tidak ditemukan disinformasi dalam artikel, serta akses link berbayar atau berlangganan.
Dari kumpulan disinformasi pada artikel/berita di media, ditemukan kata-kata kunci yang sering muncul yang ditemukan tidak hanya terkait kesehatan, tetapi juga aspek politik dan kebijakan. Disinformasi juga dikaitkan dengan kondisi ekonomi, pekerja, dan petani, serta ditemukannya disinformasi tentang kerugian dari upaya pengendalian tembakau. Sementara itu, isu yang paling sering muncul terkait kebijakan RPP Kesehatan yang sejak awal tahun 2024 berproses penyusunannya di Pemerintah.
Disinformasi yang ditemukan sebagian besar berasal dari pihak yang pro terhadap industri, dan pihak-pihak lain yang berafiliasi dengan industri rokok. Kelompok ‘produsen’ disinformasi juga datang dari institusi-institusi yang seharusnya bisa dipercaya, seperti oleh anggota DPR, pemerintah (pusat dan daerah), peneliti, profesor, dokter, atau komika.
Risky Hartono, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia menyimpulkan hasil analisisnya terhadap temuan ini. Pasalnya, isu klaim pernyataan yang kurang tepat dan beredar di media arus utama banyak yang terkait dengan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang sebenarnya di dalamnya memuat upaya pengendalian produk tembakau untuk meningkatkan kesehatan publik dan tidak merugikan kondisi ekonomi melainkan meningkatkan produktivitas masyarakat karena akan dituntut hidup lebih sehat.
“Bahkan, pemberitaan disinformasi tersebut banyak diberitakan oleh media terverifikasi tier 1 yang banyak dijadikan rujukan oleh banyak institusi penting. Oleh karena itu, Pemerintah diharapkan tidak terpengaruh oleh disinformasi yang banyak beredar di media,” ungkapnya.
Menanggapi temuan di atas, Ketua Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu mengatakan, bahwa informasi sebenar-benarnya mengenai industri tembakau merupakan kepentingan umum. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang benar. Oleh karena itu, wartawan harus menggali informasi lebih dalam lagi sekaligus melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran, sesuai UU Pers Pasal 6, dan tidak hanya mengandalkan pendapat dari narasumber.
“Dalam konteks tembakau, hal ini akan akan berpengaruh pada kecepatan pengendalian konsumsi tembakau yang berdampak pada kesehatan masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, sejalan dengan temuan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Irsyan Hasyim berharap Dewan Pers bisa secepatnya mengesahkan panduan peliputan zat adiktif sehingga intervensi industri rokok ke ruang redaksi melalui investasi dan iklan bisa dicegah.
“Karena tugas dari pers adalah mengedukasi publik pada isu kesehatan publik.”
Selain itu, sebagai bekal bagi masyarakat dalam penyangkalan disinformasi, Komnas Pengendalian Tembakau juga akan menerbitkan modul Penyangkalan Disinformasi Industri Tembakau bekerja sama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).
Melalui modul ini, diharapkan masyarakat dan Pemerintah memiliki modal awal untuk mampu mengidentifikasi dan memahami narasi-narasi disinformasi yang tersebar, yang diciptakan seakan-akan organik dan bahkan bisa dipercaya oleh industri rokok dan afiliasinya. Dari sinilah, kita akan belajar sedikit demi sedikit untuk mencegah penggiringan opini yang bertujuan mengintervensi pengambilan keputusan dalam skala kecil oleh masyarakat yang masih percaya rokok, maupun skala besar oleh pemerintah yang masih percaya pada industri rokok.
Syifaul Arifin, Anggota Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menambahkan, bahwa modul ini menggambarkan AKTM dalam disinformasi tembakau, yaitu Aktor dan tujuan (siapa produsennya dan apa tujuannya), Konten (apa isinya), Taktik (Bagaimana konten dibuat), hingga Modus (Cara untuk mengelabui publik).
“Disinformasi ini ditemukan di media sosial dan media mainstream. Pendukung bisnis tembakau memanfaatkan berbagai platform dengan menyampaikan disinformasi ini. Maka, perlu ada kebijakan kuat untuk mencegah disinformasi, melibatkan pemerintah, dewan pers, dan publik,” tegas Syifaul.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post