Jakarta, Prohealth.id – Industri rokok mulai menggaungkan kembali keberatannya terhadap kenaikan industri rokok di saat angka pandemi Covid-19 di Indonesia juga belum terkendali.
“Penerimaan cukai pada RAPBN tahun anggaran 2022 diperkirakan sebesar Rp203.920,0 miliar atau tumbuh 11,9 persen dibandingkan outlook tahun 2021,” ujar Jokowi dalam pembacaan nota keuangan 2022 pada Senin, 16 Agustus 2021 lalu.
Ujaran Jokowi dalam nota keuangan ternyata membuat gerah industri rokok. Was-was akan menjadi target cukai lanjutan Industri Hasil Tembakau (IHT) buru-buru membuat pernyataan. Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (20/8/2021), para pelaku industri rokok ini mengatakan kenaikan target cukai ini pasti akan dibebankan kepada IHT karena selama ini industri rokok merupakan kontributor utama penerimaan cukai.
Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengungkapkan keberatan kepada Presiden Republik Indonesia. Henry beralasan saat ini kondisi IHT sangat terpuruk akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
Dia menyebutkan saat ini realisasi penjualan rokok legal menurun drastis, dimana produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) legal tahun 2020 turun sekitar 17,4 persen. Di kuartal II/2021, tren penurunan produksi SKM masih terjadi di kisaran negatif 7,5 persen dibandingkan tahun 2020. Diprediksi hingga akhir tahun ini, penurunan produksi IHT bisa lebih dari 15 persen. Hal ini akan sangat memukul tidak hanya produsen, tapi juga petani hingga potensi penerimaan negara yang tidak ada tercapai dari pos CHT. Oleh karena itu, Henry kembali meminta pemerintah untuk mengambil keputusan yang bijaksana dengan tidak menaikannya tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun depan, terlebih saat kondisi pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya terhadap keberlangsungan usaha dan penghidupan masyarakat luas belum dapat ditanggulangi.
IHT BERJASA SELAMA PANDEMI, BENARKAH?
Henry Najoan bersikukuh bahwa selama pandemi industri rokok sangat berjasa dalam menyumbang penerimaan negara.
“GAPPRI berkomitmen mempertahankan tenaga kerja, memberikan nafkah pekerja sepanjang rantai nilai IHT mulai dari petani, pemasok/logistik, pabrik sampai pedagang eceran, menjaga nadi penerimaan negara pajak dan cukai sekitar Rp =200 triliun yang merupakan sumbangsih nyata kami dalam menangani pandemi Covid-19,” ujar Henry.
Dia lantas membandingkan kebijakan pemerintah melindungi IHT di tengah pandemi yang telah dilakukan oleh beberapa negara misalnya; India, Korea Selatan, Malaysia, Kamboja, Thailand, Bangladesh. Negara-negara tersebut tercatat tidak menaikan tarif cukainya. Hal tersebut juga diikuti oleh Singapura yang memiliki aturan ketat terhadap IHT dan fokus pada aspek kesehatan. Begitu pula pemerintah Filipina hanya menaikan cukai 5 persen sesuai kebijakan jangka panjangnya tahun 2020-2024 yang tertuang dalam peta jalan IHT nasional lengkap dengan berbagai skenario terburuk seperti pandemi Covid-19.
Meski demikian kondisi di Indonesia tidak sama dengan Korea Selatan, India, bahkan Singapura. Di Korea Selatan misalnya aturan kawasan tanpa rokok sudah lama diberlakukan di ruang publik. Dilansir dari WHO, Indonesia masuk dalam kandidat negara yang harus melakukan intensifikasi pengendalian tembakau karena akan sangat membantu penanganan pandemi Covid-19. Asal tahu saja, saat ini total kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 3,93 juta dengan angka kematian sekitar 123 ribu. Melihat wanprestasi itu, WHO membidik juga 83 negara lain untuk segera mengendalikan tembakau karena dinilai belum sukses dalam mengendalikan kesehatan masyarakat dan menuntaskan Covid-19. Sebutlah beberapa di antaranya yakni; Bangladesh, Pakistan, India, dan Filipina.
Menurut Peneliti Center for Economic and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran Estro Dariatno Sihaloho pernyataan bahwa IHT berkontribusi pada penanganan pandemi secara finansial tidaklah tepat. Berdasarkan kajian dan tinjauan dalam 20 riset dokumen dan studi internasional, Estro menegaskan bahwa kebiasaan merokok sangat berpengaruh terhadap tingkat keparahan dan kematian pada Covid-19.
MENGUKUR IKLIM DUNIA USAHA
Mari intip data iklim dunia usaha secara global sebagai proyeksi untuk mengukur kapasitas pemerintah dan alasan para pelaku industri rokok. Dalam laporannya, Grant Thornton International merilis International Business Report (IBR) terbaru periode semester pertama (H1) 2021 untuk menggambarkan persepsi pelaku bisnis global terhadap perkembangan bisnis dan ekonomi dalam 12 bulan ke depan, termasuk Indonesia.
Laporan itu menyebut secara global, optimisme ekonomi melanjutkan tren positif dari survei periode sebelumnya, data terbaru menunjukkan optimisme pelaku bisnis global naik 12 poin setelah sebelumnya juga naik 14 poin di periode semester 2 tahun 2020. Optimisme ini sekarang berada pada level di atas sebelum pandemi atau kembali ke level seperti periode tahun 2017-2018. Hal ini menandakan alasan bahwa pandemi melemahkan geliat dunia usaha belum sepenuhnya tepat.
Secara lebih rinci, laporan IBR tahun ini menyebutkan 65 persen pelaku bisnis Indonesia optimis pendapatan (revenue) akan meningkat dalam 12 bulan ke depan, sedangkan 63 persen pelaku bisnis Indonesia juga yakin bahwa laba (profit) bisnis mereka akan mengalami peningkatan di tahun ini.
Laporan yang sama juga menyebut, pelaku bisnis Indonesia juga terhitung cukup optimis selama semester pertama tahun 2021, terlihat dengan meningkatnya optimisme akan pertumbuhan bisnis mereka dan juga adanya keinginan dari para pelaku bisnis untuk berinvestasi dalam 6 bulan terakhir.
Dalih akan kelumpuhan sektor ketenagakerjaan akibat kenaikan cukai juga ditampik dalam laporan ini. IBR menemukan dari sektor ketenagakerjaan ada 52 persen pelaku bisnis Indonesia cukup optimis untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan merekrut karyawan baru dalam 12 bulan ke depan, hal tersebut menjadikan sektor ketenagakerjaan mengalami peningkatan signifikan selama 2 periode berturut-turut.
Secara global, 50 persen pelaku bisnis cukup positif untuk mendedikasikan sumber daya mereka untuk membuka pasar baru di luar negeri sebagai bentuk perluasan pasar domestik. Mereka juga optimis adanya peningkatan jumlah negara tujuan untuk ekspor produk mereka. Angka ini naik hampir dua kali lipat sepanjang pandemi Covid-19 berlangsung.
Johanna Gani selaku CEO dan Managing Partner Grant Thornton Indonesia mengatakan meskipun pelaku bisnis masih berjuang menghadapi pandemi Covid-19 namun secara umum selama semester awal tahun 2021 para pelaku usaha Indonesia masih memiliki optimisme tinggi akan pertumbuhan ekonomi.
“Hal ini cukup wajar melihat pemerintah telah mengeluarkan cukup banyak program dan dana untuk memfasilitasi berbagai industri dalam menghadapi krisis karena pandemi,” ujar Johanna yang mengamini bahwa masalah kesehatan ini adalah yang harus menjadi perhatian utama agar tak menekan ekonomi.
Berkaca dari kondisi itu optimisme pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,0 persen sampai 5,5 persen pada 2022 dengan mengakselerasi kenaikan cukai harusnya tidak menjadi kabar yang buruk. Apalagi selama pandemi Covid-19 konsumsi rokok selama pandemi cenderung naik berdasarkan temuan Komnas Pengendalian Tembakau tahun lalu. Saat ini saja perokok di Indonesia sekitar 75 juta orang atau 33 persen menurut data Riskesdas 2018. Indonesia juga punya 75 juga penduduk perokok pasif yang menjalankan kegiatan sehari-hari di rumah.
Survei Komnas Pengendalian Tembakau bahkan menemukan, sekalipun sebanyak 61,4 persen responden tahu rokok menambah kerentanan Covid-19, masih ada yang tidak percaya karena mereka adalah perokok aktif. Terbukti, ada 49,8 persen responden naik 13,1 persen mengaku memakai pengeluaran tetapnya untuk membeli rokok selama pandemi. Jumlah tersebut sebesar 77,14 persen berasal dari responden dengan penghasilan kurang dari Rp5 juta, lalu ada 9,8 persen berpenghasilan di bawah Rp2 juta, dan 17,8 persen berpenghasilan Rp2 juta sampai Rp5 juta.
Sementara dari jumlah batang yang dikonsumsi, ada 50,2 persen responden mengaku tetap merokok dengan jumlah yang sama. Namun ada 15,2 persen responden yang mengakui jumlah konsumsi per batang meningkat selama pandemi. Uniknya, mayoritas dari responden ini berpenghasilan di bawah Rp 5 juta.
Kondisi ini mengisyaratkan selama pandemi konsumsi dan industri rokok tidak akan merugi besar karena konsumsinya justru mengalami kenaikan. Implikasinya, pemasukan industri tentu akan membaik ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Namun demi pengendalian konsumsi dan penanganan pandemi Covid-19, Direktur SDM Universitas Indonesia Abdillah Ahsan yakin kenaikan cukai adalah solusinya.
“Masyarakat yang sehat adalah pondasi dari ekonomi yang sehat,” tuturnya.
Dia menambahkan, jangan sampai industri rokok dibiarkan tetap kaya raya sementara rakyat makin rentan dan sakit-sakitan. Dia menegaskan dengan kenaikan cukai pendapatan negara memang belum tentu terakselerasi optimal namun yang pasti kenaikan cukai akan mengurangi konsumsi rokok dan menaikkan level kesehatan masyarakat.
Penulis: Tim Prohealth.id
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post