Belum lama ini, banyak berbagai pemberitaan beredar di media sosial tentang dampak buruk dari kebiasaan merokok elektrik atau vape. Kebiasaan ini karena sebagian masyarakat beranggapan bahwa rokok elektrik lebih aman daripada dengan rokok konvensional. Klaim ini cukup laris manis terutama di kalangan remaja.
Contohnya seorang pemuda asal Klaten, paru-parunya kolaps yang karena kosnumsi rokok elektrik bersamaan dengan rokok konvensional. Begitu pula dengan salah seorang pemuda di Amerika Serikat, yang nyaris meninggal karena efek rokok elektrik. Pemuda tersebut harus melakukan transplantasi atau cangkok paru-paru untuk melanjutkan hidup.
Pengajar di Departemen Pulmonologi, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) dr. Aditya Wirawan, Ph.D., Sp.P., mengatakan, pendapat vape lebih aman dibandingkan rokok konvensional cukup umum. Salah satunya karena vape tidak melibatkan proses pembakaran. Sehingga ada asumsi umum yang meluas konsumsi vape lebih aman daripada rokok konvensional.
Namun, dr. Aditya menekankan pentingnya melihat bukti ilmiah yang ada untuk memahami sejauh mana klaim tersebut benar. Ia menjelaskan, perbedaan utama antara vape dan rokok konvensional terdapat pada kandungan bahan kimia dan proses pembakaran. Beberapa bahan toksik pada rokok konvensional tidak terdapat pada vape. Sebaliknya, ada beberapa zat toksik pada vape tidak terdapat pada rokok konvensional.
“Namun, ini tidak membuat vape aman. Para ilmuwan masih mempelajari lebih lanjut tentang efek kesehatan jangka pendek dan jangka panjang dari penggunaan vape,” ujar dr. Aditya yang juga merupakan Dokter Spesialis Paru di RSUI.
Lebih lanjut dr. Aditya mengatakan, penggunaan vape atau rokok elektrik dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Sebut saja yang mungkin terjadi adalah iritasi saluran napas, bronkitis akut, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), dan E-cigarette or Vaping Associated Lung Injury (EVALI).
“Waktu seseorang untuk merasakan efek dari vape bisa bervariasi tergantung pada berbagai faktor, seperti sensitivitas individu terhadap nikotin dan seberapa banyak menghirup dari vape,” kata dr. Aditya.
Beberapa efek dapat muncul secara cepat setelah menghirup uap dari vape, terutama jika uap tersebut mengandung nikotin. Efek-efek tersebut dapat muncul dalam hitungan detik hingga menit setelah inhalasi. Beberapa efek yang mungkin terasa termasuk peningkatan energi, penenangan, atau sensasi nikotin lainnya. Ini tergantung pada sensitivitas dan toleransi individu terhadap nikotin.
Selain pengguna, orang sekitar yang ikut menghirup uap vape alias secondhand vaping juga ikut terdampak. Paparan secondhand vaping tidak sama dengan paparan asap perokok pasif dari rokok konvensional.
Menurut Action on Smoking and Health (ASH), sebagian besar zat berbahaya yang ada dalam asap rokok konvensional tidak ada dalam vape, apabila ada jumlahnya jauh lebih rendah (<1 persen).
Menurut dr. Aditya, meskipun dampaknya mungkin berbeda dari asap rokok konvensional, paparan aerosol vape tetap memiliki risiko kesehatan. Dampak dari paparan asap vape, antara lain iritasi saluran napas, bronkitis, sesak napas, eksaserbasi asma, dan sebagainya.
“Paparan secondhand vaping dapat menyebabkan peningkatan risiko masalah kesehatan pernapasan. Terutama pada anak-anak dan individu yang sudah memiliki masalah kesehatan pernapasan,” ujar dr. Aditya.
Selain itu, paparan uap vape tidak hanya berdampak pada manusia tetapi juga pada lingkungan. Kata dr. Aditya, emisi dan limbah vape mengandung sejumlah nikotin dan bahan kimia beracun lain yang dapat menjadi sumber polusi lingkungan. Uap vape dapat meningkatkan kadar nikotin dan partikel halus (PM2.5) di udara dalam ruangan, meskipun dalam tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. Selain itu, uap vape juga mengandung senyawa organik volatil dan logam yang dapat berkontribusi terhadap pencemaran udara dalam ruangan.
Memang belum banyak penelitian yang spesifik membahas dampak uap vape terhadap tumbuhan. Ada beberapa bahan kimia dalam uap, seperti logam berat dan senyawa organik volatil, dapat berpotensi merusak tanaman jika terakumulasi dalam konsentrasi yang tinggi.
“Adapun dampaknya terhadap hewan, nikotin yang terkandung dalam uap vape adalah zat beracun bagi banyak hewan dan bisa menyebabkan keracunan jika dihirup terus menerus dalam jumlah besar atau jika e-liquid vape tertelan,” kata dr. Aditya.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah meningkatnya pengguna vape dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya laporan penyakit paru terkait vaping atau EVALI. Menurut dr. Aditya, hal ini berpotensi menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang baru. Walaupun vape berbeda kandungan, hal ini bukan alasan untuk dapat menjadi alternatif pengganti rokok konvensional. Keduanya sama-sama mengandung nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik lainnya. Sehingga, menjadi kewajiban seluruh masyarakat untuk memahami dan menyebarluaskan bahwa vaping tidak boleh dianggap lebih aman daripada rokok konvensional.
“Masih ada bahaya yang mungkin terjadi dan penelitian masih terus berlangsung. Ini untuk menguraikan hubungan antara penggunaan rokok elektrik ini dengan kerusakan paru-paru ataupun masalah kesehatan lainnya,” ujar dr. Aditya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post