Jakarta, Prohealth.id — Koordinator Smoke Free Jakarta Dollaris Suhadi mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi DKI yang telah mengeluarkan larangan reklame rokok dan larangan memajang bungkus rokok di tempat-tempat penjualan di Jakarta.
“Pemprov DKI Jakarta telah memiliki aturan tentang larangan reklame rokok dan larangan memajang bungkus rokok di tempat umum, sehingga aturan itu bukan hal baru,” kata Dollaris di sesi konferensi pers “Mendukung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Penegakan Larangan Reklame Rokok” pada Senin (4/10/2021).
Menurut Dollaris, Pemprov DKI Jakarta telah memulai larangan tersebut seiring terbitnya Perda No.9/2014 tentang Penyelenggaraan Reklame. “Sehingga sejak 2014 kita telah punya aturan tentang reklame,” ungkapnya.
Hal itu terlihat jelas di pasal 12 ayat (4) yang menyatakan: dilarang menyelenggarakan reklame rokok di tempat-tempat yang ditetapkan melalui peraturan gubernur.
“Gubernur mendapat mandat melalui Perda itu untuk menetapkan tempat-tempat yang melarang reklame rokok,” katanya.
Sejak tahun 2015, menurut Dollaris, Gubernur DKI Jakarta secara konsisten melalui Pergub No.1 Tahun 2015 hingga Pergub No.148 Tahun 2017 menyatakan seluruh tempat, baik di dalam maupun diluar ruangan tidak boleh memajang reklame rokok.
Sementara itu, hadirnya Seruan Gubernur DKI Jakarta No.8 Tahun 2021 tentang pembinaan kawasan dilarang merokok merupakan penguatan dari aturan yang sudah ada. Itu juga menegaskan tentang larangan reklame rokok dan larangan memajang bungkus rokok di tempat-tempat penjualan.
“Ini yang kemarin selama Agustus dan September, Satpol PP telah melakukan penertiban. Penertiban itu juga termasuk sosisalisasi di dalamnya,” kata Dollaris yang akrab disapa Wati.
Hal itu sekaligus menyampaikan kepada pengelola ritel (supermarket, minimarket) termasuk toko kelontong agar tidak melanggar aturan tersebut. “Jadi semuanya ikut ditertibkan, tidak hanya di minimarket. Bahkan kios-kios di pinggir jalan juga termasuk,” tegasnya.
Sepengetahuan Dollaris, sejak bulan Agustus hingga September, satpol PP telah berkeliling melakukan penertiban di 30 lokasi di Jakarta. Selain menertibkan, mereka juga melakukan sosialisasi. “Itu dari sisi aspek regulasinya,” terangnya.
MELINDUNGI GENERASI MUDA
Ketika Pemprov DKI memiliki aturan soal pembatasan produk tembakau, maka seruan gubernur hadir untuk memperkuat aturan yang telah ada. “Ini membuktikan bahwa Pemprov DKI memiliki aturan yang efektif yang tujuannya untuk melindungi anak-anak dan remaja,” kata Dollaris.
Melindungi anak-anak dan remaja menjadi perokok pemula sangat penting. Pasalnya, data Riskedas 2018 menyebutkan, jumlah perokok anak berusia 10 -19 tahun meningkat tajam, dari 7,2 persen di 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Bahkan usia anak pertama kali merokok, berdasarkan survei Atlas Tembakau Indonesia (2020), kebanyakan terjadi pada usia 15-19 tahun dengan prevalensi mencapai 52 persen. Kemudian diikuti oleh usia 10-14 tahun sebesar 23 persen.
“Jadi dari dua kelompok usia itu, mereka yang menjadi perokok pemula, jumlahnya mencapai 75 persen. Ini angka yang tidak main-main menurut kami,” tegas Dollaris.
Larangan terkait iklan, promosi dan sponsor rokok merupakan strategi yang efektif bagi Pemprov DKI Jakarta, karena hal itu tidak membutuhkan biaya yang mahal. “Tinggal melarang dan menegakkan aturan, untuk melindungi anak-anak usia belia yang masih belum tahu merk rokok,” katanya.
DUKUNGAN MASYARAKAT
Masih berdasarkan data Atlas Tembakau Indonesia ditemukan ada lima jenis media iklan, reklame dan promosi rokok, yakni melalui televisi, radio, billboard, poster dan internet. “Kelimanya memiliki hubungan yang signifikan dengan status perokok pada anak dan remaja yang sangat besar,” ungkap Dollaris.
Oleh karena itu, seruan Gubernur DKI Jakarta No.8 tahun 2021 tentang pembinaan kawasan dilarang merokok layak diapresiasi dan harus didukung. Dollaris berharap Pemprov DKI secara konsisten melakukan sosialisasi, sehingga tidak muncul keluhan bahwa penertiban hanya menyasar kelompok ritel saja.
Selama ini, masyarakat juga mendukung Pemrov DKI Jakarta dalam melakukan penertiban reklame dan pelarangan memajang bungkus rokok di tempat penjualan. “Terbukti dengan masuknya 1200 laporan warga melalui JAKI, selama periode Agustus – September,” katanya.
Dollaris menambahkan, “Ini cukup banyak sebenarnya, dan kami bersyukur dan bangga luar biasa karena seluruh laporan ditanggapi dan ditindaklanjuti. Ini memberi harapan yang luar biasa sekali.”
Senada dengan itu, Ketua YLKI Tulus Abadi menilai larangan reklame rokok di DKI merupakan contoh positif yang harus diapresiasi. “Saya mengapresiasi hal itu karena merupakan satu instrumen untuk melindungi generasi muda agar tidak semakin terpapar oleh iklan rokok yang menurut survei di DKI Jakarta sangat masif,” ujarnya.
Oleh karena itu, Tulus mendorong agar larangan reklame perlu diapresiasi sehingga Jakarta bisa menjadi benchmarking, bukan hanya di tingkat nasional namun juga di internasional.
“Sehingga jika sekarang DKI melarang adanya reklame rokok, itu merupakan hal yang jamak harus dilakukan,” terangnya.
Sementara terkait seruan Gubernur DKI Jakarta yang melarang bungkus rokok di lokasi penjualan seperti ritel dan toko kelontong, Tulus sangat mendukung hal itu.
“Kami juga sudah mengirimkan surat kepada gubernur untuk mendukung hal tersebut karena ini merupakan upaya yang lazim di dunia internasional, dimana ibu kota negara, rokok bukan lagi dipajang secara terbuka di tempat umum, tetapi harus ditutup dengan kain,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (Adinkes) dr. M. Subuh menekankan bahwa dampak rokok terhadap konsumsi masyarakat di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Bahkan pada keluarga kurang mampu, rokok menjadi konsumsi nomor tiga.
“Ini merupakan perhatian kita bersama dan kita bisa bayangkan kondisinya seperti apa,” katanya.
Oleh sebab itu, langkah kongkret yang dilakukan Pemprov DKI, menurut dr. Subuh merupakan gebrakan yang harus didukung. “Ini bukan gerakan yang biasa-biasa saja, tapi harus didukung oleh semua masyarakat, institusi dan juga seluruh NGO,” katanya.
Selain itu dr. Subuh menambahkan, “Sudah saatnya kita berbicara sesuai koridor yang ada. Di PP 109 itu sudah jelas, apa yang disebut dengan Perda KTR dan lain-lain. Fungsi kontrol pemerintah daerah terhadap penjualan dan terhadap pemakaian, itu sangat berperan sekali.”
Oleh sebab itu, dr. Subuh menyambut baik seruan gubernur tersebut. Namun lebih baik jika seruan tersebut bisa bisa ditingkatkan levelnya menjadi peraturan gubernur, bahkan sebagai peraturan daerah (Perda).
“Ini menjadi sangat baik sekali dari sisi regulasi dan bagaimana kita bisa mendisiplinkan masyarakat kita,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Raya Indonesia Hery Chariansyah menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam konteks pengendalian tembakau harus diapresiasi.
“Ini menunjukkan bahwa Pemprov DKI berpihak terhadap upaya-upaya perlindungan anak, upaya perlindungan HAM dan upaya perlindungan hak perempuan dari bahaya zat adikitif rokok,” katanya.
Menurut Hery, tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa rokok merupakan produk olahan tembakau yang bersifat adiktif, yang penggunaannya membahayakan kesehatan, bahkan dalam jangka panjang bisa menyebabkan kematian.
“Sehingga, langkah-langkah yang dipilih Pemprov DKI sudah benar,” ujarnya.
Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa undang-undang terkait pengendalian tembakau, maka yang dilakukan Pemprov DKI Jakartamerupakan bagian dari cara pemerintah daerah untuk melanjutkan regulasi di tingkat nasional.
Hal ini sekaligus membangun kebijakan di daerah yang bersumber pada pembangunan di daerah tersebut. “Sehingga jika ada yang berpikir bahwa yang dilakukan Pemprov DKI terkait pelarangan iklan rokok dan larangan memajang bungkus rokok di ritel telah merugikan kepentingan publik, maka logikanya jungkir balik,” terang Hery.
Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Mukhara Rama setuju dengan pandangan Hery. Pasalnya, apa yang dinarasikan di media sosial oleh mereka yang menolak seruan gubernur tersebut, sangat bertolak belakang.
“Ketika ada narasi yang mengatakan hal itu akan mengurangi pendapatan dari pajak reklame, ternyata di data yang kami didapatkan tidak mengganggu pendapatan daerah,” katanya.
Bahkan pada tahun 2020, pendapatan dari pajak reklame meningkat meskipun telah ada larangan terkait iklan rokok. Selain itu, maraknya narasi di media sosial yang menyatakan larangan display rokok di minimarket dan toko tradisional akan mengganggu penghasilan.
“Menurut kami hal itu tidak berpengaruh, karena orientasi untuk menutup display rokok adalah untuk menjauhkan anak dan remaja dari produk tembakau,” ujar Rama.
Rama beralasan, “Biasanya anak dan remaja cenderung membeli rokok setelah melihat iklan di minimarket atau warung kelontong.”
Itu sebabnya, Rama mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk terus berkomitmen dan mempertajam aturan terkait pengendalian produk tembakau. “Ini efektif untuk menekan angka perokok pemula,” paparnya.
Sebagai langkah progresif, Rama bahkan meminta pemerintah segera menindak tegas pemilik ritel dan toko kelontong yang kedapatan menjual rokok kepada anak dan remaja.
“Selama ini ada aturan bahwa menjual rokok diperbolehkan hanya kepada seseorang yang telah berusia 18 tahun keatas. Namun hal itu tidak terjadi, karena tidak ada tindakan tegas sehingga tidak maksimal,” ujar Rama.
Menurut Rama, ini penting untuk mendorong DKI Jakarta menuju kota yang sehat, sekaligus menyambut generasi yang sehat dan kuat seiring bonus demografi.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post