Alergi adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh memiliki sensitivitas berlebih terhadap protein asing. Padahal, bagi individu lain, protein tersebut mungkin tidak berbahaya.
Alergi tidak sembuh dengan cepat atau punya waktu toleransi. Alergi berbeda dari infeksi, kanker, dan autoimun meskipun memiliki gejala yang hampir serupa.
Ada beberapa ciri alergi khususnya pada anak-anak. Pertama, alergi biasanya berlangsung cukup lama (kronik) dan tidak lekas sembuh. Kedua, gejala sering berulang dengan faktor risiko yang sama. Oleh karena itu, perlu menelusuri riwayat alergi dalam keluarga. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun menggelar seminar media bertajuk Alergi pada Anak: Jenisnya, Gejalanya, Kewaspadaan, dan Tatalaksana.
Dalam seminar tanggal 19 Maret 2024 lalu, para dokter spesialis anak dari IDAI bertujuan mengingatkan orang tua agar mengenali perbedaan gejala alergi dengan gejala penyakit lain akibat infeksi. Ada tiga golongan besar jenis alergi pada anak. Pertama adalah alergi makanan, contoh; coklat dan/atau susu. Kedua adalah alergi debu rumah. Terakhir adalah alergi bulu binatang. Ini adalah penyebab alergai yang paling jarang di Indonesia.
Prof. DR. Dr. Anang Endaryanto selaku narasumber seminar tersebut menyatakan mekanisme kemunculan gejala alergi pada tubuh terjadi ketika sebuah alergen berkontak dengan tubuh. Hasil kontak tersebut kemudian diterima sel saraf yang memunculkan sebuah sel spesifik alergen. Sel spesifik alergen mengalami sentisisasi, yaitu interaksi kompleks antara alergen dan hostnya dalam konteks lingkungan, dalam hal ini dengan imunoglobulin E. Antibodi tersebut membuat spesifik alergen terbagi serta menyebar pada sel darah putih yang mengubahnya menjadi sebuah sel mast yang mendistribusikan alergen ke beragam bagian tubuh sehingga memicu histamin. Histamin tersebut memicu berbagai gejala alergi tergantung pada bagian tubuh yang terkontak.
Faktor risiko alergi mayoritas berasal dari faktor genetik. Sehingga menjadi penting meninjau riwayat alergi dalam keluarga. Jika kedua orang tua tidak alergi, anak hanya memiliki risiko alergi sebesar 5-15 persen. Kondisi ini karena masih ada kemungkinan anak mewarisi dari kakek dan/atau nenek sebagai salah satu sumber genetik. Jika saudara kandung memiliki alergi, anak memiliki risiko sebesar 25-30 persen. Lalu jika salah satu orang tua alergi, anak memiliki risiko sebesar 20-40 persen. Sebaliknya, jika kedua orang tua alergi, anak memiliki risiko alergi sebesar 50-60 persen. Risiko akan meningkat 80 persen jika anak menderita alergi yang sama.
Prof. Anang Endaryanto menerangkan bahwa jumlah kasus alergi di Indonesia terus meningkat. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan layanan alergi ikut meningkat. Sayangnya, kecepatan pertumbuhan layanan di klinik-klinik alergi yang ada masih belum dapat memenuhi permintaan layanan. Terlebih dalam melakukan deteksi dini alergi untuk masyarakat yang bertempat tinggal di daerah dengan fasilitas terbatas.
“Mereka butuh waktu untuk mengenali alergi pada anak karena sering harus menunggu rujukan dokter. Jika berupa alergi ringan, deteksi yang lambat akan berefek pada inflamasi ringan berkelanjutan dan mengancam perkembangan psikososial anak di masa depan,” katanya.
Sebaliknya, jika alergi dengan kedaruratan, kondisi ini akan mengancam keselamatan anak. Hal ini juga dapat mengakibatkan aksesibilitas anak pada layanan menurun, pemborosan sumber daya, menimbulkan keluhan publik yang di kemudian hari meningkatkan morbiditas serta mortalitas.
Prof. Anang menyatakan orang tua dan anak harus berani menghadapi tantangan alergi di Indonesia. Alergi bisa menimbulkan frustasi karena sifatnya yang menahun, berulang, terwariskan secara genetik, dan sulit sembuh.
“Sedangkan kesulitan yang bagi pasien adalah dalam mengendalikan alergi, umumnya berupa rasa keterasingan dari lingkungan karena menjumpai keterbatasan kemampuan dalam mengendalikan atopi (sifat yang berbeda) dengan sifat yang dimiliki oleh mayoritas anak di lingkungannya,” terang Prof. Anang.
Perbedaan pandangan alergi antara para dokter dan orang tua juga menjadi tantangan dalam upaya menangani alergi. Sebagian besar orang tua menganggap alergi sebatas kekebalan anak yang lemah. Akibatnya orang tua hanya ingin anaknya meningkatkan kekebalan tubuh saja. Oleh karena itu, orang tua sering meminta dokter memberikan berbagai vitamin dan jenis obat guna meningkatkan kekebalan termasuk antibiotik.
Para dokter kerap tidak memenuhi permintaan pasien tersebut karena memahami kondisi alergi yang hiperimun sehingga memerlukan kehati-hatian. Kondisi hiperimun adalah keadaan ketika sistem kekebalan yang berlebihan dan hipersensitif. Oleh karenanya, upaya mencegah alergi dasar dengan efektif adalah secara primer, yaitu memastikan jangan sampai ada yang mengalaminya. Langkahnya dengan membidik target populasi berisiko dan kebutuhan data berupa identifikasi populasi berisiko.
Lebih lanjut, Prof. Anang menjelaskan dengan contoh target populasi adalah bayi berisiko dengan riwayat keluarga alergi pada first degree relative (minimal satu orang tua atau saudara kandung). Contohnya alergi seperti dermatitis atopik, alergi makanan, asma, atau rinitis alergi.
Untuk memudahkan identifikasi informasi faktor genetik, IDAI mengembangkan kartu deteksi dini UKK alergi imunologi yang berisikan keterangan risiko alergi pada anak dalam tiga nilai. Ada nilai 0 untuk risiko kecil. Lalu nilai 1-3 untuk risiko sedang, dan nilai 4-6 untuk risiko tinggi. Jika pasien terbukti memiliki alergi, maka skornya berubah sesuai nilai risikonya. Pasien pun harus mewaspadai jika mengalami alergi atau tidak dengan ikut memelajari risiko-risiko yang bisa menimbulkan alergi dari paparan sehari-hari.
Orang tua bisa mengetahui penyebab jenis alergi lewat tiga kategori, yaitu penyebab yakni; makanan, hirupan/paparan, kontak dengan hewan. Ada juga pencetus fisik berupa; udara dingin/panas, sakit flu, berlarian. Sementara pencetus psikis berupa emosi serta perubahan perasaan. Salah satu cara orang tua mendeteksi alergi adalah dengan melakukan eliminasi, pengamatan, dan provokasi.
Para dokter mendeteksi penyebab alergi dengan melakukan tes alergi. Meski begitu, tenaga medis kerap menghadapi kesulitan karena pasien datang dengan keinginan segera sembuh tanpa memahami gejala asli. Padahal upaya penegakan diagnosis alergi standar bahkan harus melalui proses wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang memerlukan biaya serta waktu.
Dalam seminar tersebut, orang tua juga wajib mengenali berbagai dampak dari alergi. Di antaranya dampak klinis dan finansial berupa rasa tidak enak pasien, kekronisan alergi, biaya yang besar, ketergantungan terhadap obat, dan juga alergi yang bermanifestasi menjadi beberapa penyakit. Alergi juga menjadi salah satu penyebab peredangan sel-sel otak yang berpotensi mengganggu perkembangan otak. Fungsi-fungsi otak yang terganggu akan berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan dan produktivitas seseorang di masa mendatang.
Prof. Anang menambahkan bahwa mengatasi alergi pada anak harus cepat. Begitupun upaya intervensi harus sesuai standar dengan evaluasi tepat sasaran. Ia menegaskan penanganan alergi pada anak harus terintegrasi dan komprehensif agar tidak mengancam masa depan anak.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post