Jakarta, Prohealth.id – Dikutip dari riset ‘Industri Rokok dan Kerusakan Lingkungan’ yang dikeluarkan oleh A Global Tobacco Industry Watchdog (2021), perusahaan rokok transnasional ditengarai sebagai salah satu penghasil polusi terburuk di dunia.
Sayangnya, fakta ini tidak banyak menjadi perbincangan karena perusahaan tersebut justru memamerkan praktik pro lingkungan, penghargaan dari komunitas bisnis, dan hasil audit rantai pasokan atau bidang-bidang yang dianggap patuh terhadap aturan.
Laporan yang sama menuliskan industri rokok menerapkan strategi humas untuk mengalihkan perhatian publik dari dampak sejati kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, mengaburkan solusi yang sebenarnya, menghambat strategi diversifikasi, menenggelamkan suara para pemangku kepentingan, dan mengalihkan kesalahan kepada konsumen serta menghindari tanggung-jawab.
“Melalui kedok kegiatan bakti sosialnya (CSR), perusahaan rokok transnasional berusaha memberi kesan bahwa mereka bekerja sama dengan komunitas bisnis untuk mendukung upaya tertentu, sehingga mengalihkan perhatian publik dari fakta bahwa produksi tembakau tidak sama dengan bisnis lain.”
Secara lebih rinci, program CSR perusahaan rokok dalam bidang lingkungan biasanya berupa; penanaman pohon, pembersihan pantai, dan lainnya. Pembersihan pantai dipilih karena mayoritas perusahaan rokok transnasional sudah mengakui puntung rokok adalah benda yang paling banyak dibuang mencapai 4-5 triliun batang setiap tahun. Akibatnya, perlu waktu sampai 15 tahun untuk terurai. Alhasil, pembersihan laut didanai oleh perusahaan sambil mengingatkan bahwa konsumenlah yang bersalah karena membuang sampah, tanpa mengakui tanggungjawab bahwa toksin yang terus dilepaskan ke lingkungan selama penguraian berasal dari produk mereka yang tidak dirancang dengan baik. Padahal puntung rokok yang diklaim “bio-degradable” alias dapat terurai secara alami tetaplah merusak biota air.
Mayoritas program pun telah terekspos, namun mereka tetap memproduksi produk berbahaya. Perusahaan rokok gagal bertanggung-jawab terhadap perbaikan siklus produk, mempertahankan harga rendah rokok, menolak memberikan daya tawar kepada pekerja dan mendorong perluasan ke lahan yang lebih subur dan penggunaan agrokimia beracun. Kondisi ini diperkuat dengan temuan produksi rokok secara akumulatif membunuh delapan juta orang setiap tahun, dan menimbulkan beban ekonomi sebesar US$1,4 triliun setiap tahun.
Publisitas terhadap kegiatan CSR, sebenarnya tak hanya melanggar larangan sponsor rokok di seluruh dunia, tetapi juga menimbulkan kesan palsu bahwa industri rokok dapat dipercaya untuk secara sukarela melaksanakan praktik-praktik taat asas di sepanjang rantai pasokannya, ketika World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) sudah mensyaratkan bahwa industri rokok harus diatur secara ketat oleh pemerintah dan tidak dapat dipercaya untuk melakukan pengaturan sendiri dalam bentuk apapun.
LUMPUHNYA REGULASI IKLAN DI INDONESIA
Dalam laporan yang berbeda, Ketua Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia, Nina Mutmainnah menjelaskan di Indonesia perlu diakui bahwa regulasi mengenai iklan, promosi, dan sponsor rokok sangat longgar. Jika berkaca dari klaim dan strategi perusahaan rokok transnasional, dapat dikatakan khusus di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah satu-satunya negara yang tidak memiliki regulasi yang melarang iklan, promosi, dansponsor rokok secara menyeluruh jika mengacu dari riset SEATCA (2019).
“Indonesia terburuk di wilayah ini dalam hal pengaturan mengenai iklan rokok,” tandasnya.
Dengan absennya Indonesia dalam proses ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) terjalinlah benang merah iklan, promosi, sponsor rokok di Indonesia yakni menjadikan rokok adalah produk normal. Tercermin dari kondisi saat ini iklan rokok di media penyiaran dibolehkan, dengan pembatasan. Pasalnya, ketentuan ketat mengenai iklan dan promosi rokok yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012, dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran/P3 dan SPS, tidak berjalan baik. Kondisi diperparah dalam UU Cipta Kerja yani Pasal 72 ayat 7 tertera ketentuan meniadakan sanksi pidana dan denda terhadap dua hal terkait zat adiktif di UU Penyiaran; promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif, dan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.
Jika mengacu pada SPS Pasal 59, iklan rokok hanya disiarkan pada 21.30 sampai 05.00 waktu setempat. Nina mengutip dari temuan Nielsen, faktanya, iklan rokok berlimpah di TV. Tercermin adanya perubahan tren belanja iklan: dari media konvensional yakni TV dan media cetak ke media digital. Namun TV tetap mendominasi yakni 85% belanja iklan. Sementara itu, iklan layanan masyarakat dari perusahaan rokok atau lembaga/yayasan afiliasi rokok pun juga muncul di TV pada sembarang jam tayang di luar pukul 21.30 sampai 05.00.
MENGEMBALIKAN KESESATAN LOGIKA
Pada akhirnya strategi pemasaran melalui iklan dan CSR berjalan seiringan untuk mendukung kenaikan konsumen rokok. Strategi CSR industri tembakau dalam mengatasi kerusakan lingkungan difokuskan pada upaya yang terang-terangan memamerkan “proyek tanam pohon.”
Laporan dari Global Tobacco Industry Watch menilai strategi ini menyiratkan bahwa perusahaan rokok telah meningkatkan kesadaran tentang sampah puntung rokok dengan menyediakan asbak dan bak sampah di area publik serta berkontribusi untuk pembersihan laut. Dengan begitu, pesan yang disampaikan industri rokok sangat jelas: “Halaman rumah kami bersih” dan “masalahnya adalah perokok yang membuang sampah sembarangan, namun kami juga membantu mengatasinya.”
Laporan ini menyebut, bahwa pesan CSR tersebut membuat kabur fakta bahwa membuang puntung rokok pada dasarnya disebabkan oleh filter rokok itu sendiri, yang dirancang oleh perusahaan rokok, dan mereka bertanggung-jawab terhadap desain yang amat buruk dari produk yang mematikan dan adiktif ini.
Produk rokok sangat adiktif dan lebih dari 70 persen perokok ingin berhenti. Namun konsumen, yang sudah dirayu dengan produk adiktif dari paparan iklan masih juga disalahkan oleh perusahaan rokok karena membuang sampah dari sisa produk mereka. Alih-alih menyalahkan konsumen, tanggung-jawab produk pada seluruh siklusnya harus dipikul oleh produsen rokok. Hal ini disebut juga Tanggung-jawab Produsen
Secara Luas atau Extended Producer Responsibility (EPR).
“Kami mengusulkan berbagai upaya untuk memungkinkan skema ganti rugi guna mendanai penegakan hukum lingkungan, dan menyarankan perusahaan tembakau membayar atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan melalui skema “polluter pays.”
Berbagai upaya meliputi serangkaian prinsip yang dimuat dalam Pasal 19 dan Pasal 5.3 WHO FCTC, seperti membebankan biaya pembersihan kepada industri rokok, proses peradilan terhadap kerugian yang ditimbulkan dan memberlakukan undang-undang untuk membebankan tanggung-jawab kepada produsen dan penjual, bukan kepada konsumen.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post