Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) merumuskan pentingnya mengesahkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan untuk mendorong kesehatan masyarakat dari ancaman obesitas.
Gita Kusnadi, Plt. Manajer Riset CISDI mengatakan pihaknya membuat dua rekomendasi untuk cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Pertama, rekomendasi penerapan cukai MBDK berdasarkan kandungan gula dengan tarif 20 persen dari harga. Kedua, komitmen politik dan publik di berbagai level untuk merealisasikan penerapan cukai MBDK di Indonesia.
Dia menyebut rekomendasi ini terbentuk karena Indonesia masih masuk peringkat ketiga konsumsi minuman berpemanis terbesar ketiga di Asia Tenggara.
“Kita tahu bahwa beban penyakit tadi kalau setengah atau 50 persen faktor penyebab disabilitas dan kematian itu karena kadar gula darah tinggi atau gaya hidup,” sambung Gita. Kondisi ini membuat prevalensi obesitas meningkat.
Hal ini tercermin pula dalam Riskesdas 2018, sebelum pandemi Covid-19 prevalensi obesitas di Indonesia mengalami peningkatan. Padahal, kondisi obesitas yang tidak ditangani dengan baik akan memberi dampak disabilitas pada penderitanya. Artinya, tidak ditangani serius, obesitas yang merupakan jenis Penyakit Tidak Menular (PTM) akan menyebabkan beban kesakitan dan kematian akibat PTM di masa depan semakin meningkat. Terbukti saat ini tujuh dari sepuluh penyebab kematian di Indonesia disebabkan karena PTM, dengan diabetes menempati posisi ketiga.
“Diabetes saat ini sudah diderita oleh 19,5 juta penduduk Indonesia, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 28,5 juta penderita pada tahun 2045. Karena itu, laju kenaikan prevalensinya perlu segera ditekan, salah satu caranya melalui implementasi cukai MBDK,” jelas Gita dalam konferensi pers yang diselenggarakan CISDI, Kamis (31/3/2022) lalu.
Gita juga menekankan bahwa upaya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait bahaya konsumsi gula berlebihan saja tidak cukup.
“Perubahan perilaku di masyarakat tidak bisa dicapai melalui usaha promotif saja, diperlukan kebijakan dan intervensi lain yang lebih kuat untuk melengkapi upaya tersebut,” tambahnya. Dia pun berharap agar tahun 2023 mendatang, cukai MBDK bisa segera disahkan oleh pemerintah.
Sementara itu, Abdillah Ahsan, peneliti Universitas Indonesia dan pakar advokasi CISDI, menyebut selama ini di Indonesia belum ada upaya preventif pencegahan obesitas dan diabetes. Dia pun turut merekomendasikan pemerintah segera menerapkan cukai MBDK pada 2023 mendatang bagi semua produk tanpa kecuali dan serentak, meliputi semua minuman berpemanis dalam bentuk gula asli maupun tambahan pangan.
“Tarif cukai terbaik adalah minimum 20 persem dari harga produk MBDK dan diterapkan secara multi-layer berdasarkan kandungan pemanisnya.”
Lebih lanjut Abdillah menerangkan bahwa rekomendasi penerapan cukai MBDK ini berakar dari meningkatnya konsumsi produk MBDK di Indonesia sebanyak 15 kali lipat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Tingginya konsumsi MBDK berkontribusi pada naiknya angka risiko obesitas dan penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, serta beberapa jenis kanker.
“Artinya, pemenuhan cukai MBDK ini bisa menjadi upaya pemenuhan hak asasi manusia untuk lingkungan yang sehat,” terangnya.
Tak hanya dari sisi pengendalian, Abdillah juga menyebut adanya potensi penambahan penerimaan cukai sekitar Rp2,7 triliun sampai Rp6,2 triliun untuk pengenaan cukai MBDK.
URGENSI UNTUK KESEHATAN
Sementara itu, dr. Ackhmad Afflazir, MKM, selaku Ketua Tim Kerja Pembiayaan Kesehatan, Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK), Kementerian Kesehatan menyebut angka PTM di Indonesia tentunya sangat mempengaruhi pembiayaan kesehatan nasional. Itulah yang menurut dr. Ackmad pentingnya penerapan cukai MBDK.
“BPJS Kesehatan ini menanggung pembiayaan PTM untuk diabetes saja per tahun naik sekitar 8 persen,” tuturnya.
Dia yakin bahwa cukai MBDK merupakan kebijakan fiskal yang akan efektif menurunkan konsumsi produk berdampak buruk dan telah diadopsi di lebih dari 40 negara di dunia. Penurunan konsumsi ini akan membantu mengendalikan angka obesitas dan diabetes serta mendukung percepatan pencapaian target Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2021-2024. Sebagian dari penerimaan cukai MBDK juga bisa digunakan untuk kepentingan publik, terutama terkait kesehatan, sehingga pemanfaatannya bisa dirasakan masyarakat luas.
“Akar masalah harus diselesaikan lebih dahulu, yaitu pengendalian konsumsi makanan dan minuman tinggi GGL. Dalam hal ini, cukai MBDK dapat dilihat sebagai cara efektif mengendalikan konsumsi minuman manis masyarakat,” ungkap dr. Ackhmad.
Dalam kondisi mengutamakan dampak terhadap kesehatan, Tulus Abadi, selaku Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menekankan pentingnya cukai MBDK diikuti dengan pengaturan pemasaran, marketing, dan iklan dari produk MBDK.
“Mudahnya marketing harus kita cek kenapa itu mudah diakses di warung-warung. Ini harus bisa lebih dikendalikan,” tuturnya.
Dia pun menerangkan harus segera ada kampanye pengendalian Garam Gula Lemak (GGL), sebab penerapan cukai di Indonesia menegaskan komitmen pemerintah dalam memenuhi hak perlindungan kesehatan masyarakat. Penerapan kebijakan ini mengurangi pemasaran MBDK yang sejalan dengan kampanye Kementerian Kesehatan terkait pengurangan konsumsi GGL.
“Selain melindungi masyarakat, penerapan cukai dapat mengendalikan defisit finansial kesehatan dari penyakit akibat pola konsumsi MBDK di tengah masyarakat. Upaya ini harus kita dorong bersama-sama sebagai instrumen untuk mewujudkan kesehatan masyarakat yang hakiki,” tegas Tulus.
Penasihat Senior bidang Gender dan Pemuda untuk Dirjen WHO dan Pendiri CISDI, Diah Satyani Saminarsih mengaku sepakat dengan semua pernyataan narasumber. Oleh karena itu, kebijakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu harmonis dengan dukungan kebijakan non-kesehatan.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post