Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), meluncurkan program advokasi penerapan cukai minuman berpemanis dengan tujuan menekan angka penderita obesitas dan diabetes.
Keberadaan minuman berpemanis disinyalir berkaitan erat dengan risiko kemunculan penyakit tidak menular di masa depan. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, konsumsi minuman berpemanis di Indonesia mencapai 780 liter pada tahun 2014, meningkat pesat dari 253 juta liter pada tahun 2005. Sejalan dengan itu, temuan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebut prevalensi penyakit tidak menular (PTM) Indonesia meningkat ke angka 34 persen dan menjadi penyebab kematian tertinggi.

Artinya, terjadi linieritas antara konsumsi minuman berpemanis dengan jumlah masyarakat yang alami PTM. Penerapan cukai diharapkan akan menurunkan konsumsi minuman berpemanis sehingga meringankan beban pembiayaan kesehatan negara akibat PTM. Keberadaan PTM sendiri menyerap porsi terbesar pembiayaan dalam Jaminan Kesehatan Negara (JKN).
Oleh sebab itu, program advokasi cukai untuk minuman berpemanis direncanakan berjalan hingga September 2022. Dengan begitu maka upaya ini bisa mendorong pemerintah untuk mengekstensifikasi minuman berpemanis sebagai barang kena cukai.
CUKAI MINUMAN BERPEMANIS, MENGAPA TIDAK?
Pada Februari 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan ide tersebut dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada setidaknya tiga alasan Indonesia perlu menerapkan cukai minuman berpemanis.
Pertama, pemerintah dapat mengontrol konsumsi minuman berpemanis masyarakat agar tidak berlebihan mengkonsumsinya. Inggris, Mexico, dan Chile sukses menurunkan sekitar 20 persen konsumsi minuman berpemanis ketika pertama kali menerapkan cukai.
Kedua, Indonesia hanya memiliki 3 barang kena cukai (BKC) yakni produk hasil tembakau, etil alkohol, dan minuman mengandung etil alkohol. Di negara Asia Tenggara lainnya, Thailand dan Kamboja memiliki 11 jenis BKC, Laos memiliki 10 jenis BKC, dan Myanmar memiliki 9 jenis BKC. Artinya, jenis cukai Indonesia masih sangat sedikit. Selain itu, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Brunei juga telah menerapkan cukai minuman berpemanis.
Ketiga, ekstensifikasi cukai akan menguntungkan negara terutama dalam kondisi defisit anggaran karena penanganan COVID-19. Dibandingkan dengan opsi lain seperti mengenakan pajak pada sembako atau menaikkan nilai PPN, ekstensifikasi cukai menjadi opsi yang lebih dapat diterima.
Abdillah Ahsan, Peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengatakan pengenaan cukai ini akan meningkatkan harga dan diharapkan terjadi perubahan perilaku dari sisi konsumen yaitu penurunan konsumsi dan dari sisi produsen dengan mengurangi kandungan gula. Menurut dia, perubahan perilaku tersebut akan mendorong perbaikan kualitas kesehatan masyarakat.
“Seharusnya tidak terlalu sulit menerapkan cukai ini karena industri masih bisa melakukan penyesuaian kandungan gulanya ke level konsumsi yang diperbolehkan,” ujar Abdillah Ahsan melalui siaran pers yang diterima Prohealth, Jumat (30/7/2021).
Hal senada disampaikan Ayu Ariyanti, Project Lead Food Policy CISDI yang menyatakan prevalensi obesitas dan diabetes yang meningkat di Indonesia salah satunya disebabkan oleh konsumsi minuman berpemanis yang juga meningkat. Penerapan cukai diharapkan dapat menurunkan konsumsi masyarakat, sehingga angka obesitas dan diabetes ikut menurun. Menerapkan cukai baru merupakan suatu proses yang banyak rintangan.
“Dari sisi masyarakat, cukai perlu dikomunikasikan dengan baik agar mendapat public support. Namun, saya dan CISDI optimis bahwa cukai ini akan terealisasikan dan akan memberikan manfaat yang banyak bagi kesehatan masyarakat,” ujar dia.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post