Ada dugaan, kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok tidak akan efektif menekan konsumsi rokok. Khususnya pada anak dan remaja jika tanpa kenaikan cukai hasil tembakau (CHT).
Senior advisor CHED ITB-AD Mukhaer Pakkanna menilai pemerintah setengah hati menyelesaikan permasalahan rokok lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris. Pasalnya, PMK tersebut hanya mengatur kenaikan HJE mulai 1 Januari 2025.
Oleh karenanya, penting mempertanyakan alasan pemerintah menaikan HJE. Mulai dari alasan untuk mengendalikan konsumsi tembakau, terutama dampak bagi kesehatan. Kemudian, melindungi industri tembakau padat karya dan meningkatkan penerimaan negara.
“Saya kira itu alasan yang perlu kita kritisi,” kata Mukhaer dalam diskusi bertajuk ‘Kebijakan HJE Rokok 2025: Dilematisasi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia’ pada 20 Desember 2024.
Dia menduga kenaikan HJE hanya akan membuat down trading, perokok mencari rokok yang lebih murah. Ini akan memantik industri rokok raksasa untuk menurunkan harga dan meraup keuntungan sebesar-besarnya.
“Artinya dengan regulasi ini memberi karpet merah kepada industri rokok pemodal kakap,” ujarnya.
Di sisi lain, industri rokok kecil juga berpotensi semakin bermunculan. Terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Mukhaer pun berkesimpulan PMK 97/2024 ini tidak akan memberikan penurunan prevalensi perokok yang signifikan. Menurutnya, Indonesia masih akan menjadi surga bagi para perokok.
Padahal, kondisi Indonesia saat ini sudah darurat rokok. Perwakilan Vital Strategies, Lily S. Sulistyowati mengungkapkan sebanyak 70,2 juta penduduk Indonesia merokok. Sebanyak 6 dari 10 anak terpapar rokok di dalam rumah. Kemudian, 7 dari 10 anak terpapar di tempat umum.
Bukan hanya orang dewasa saja yang merokok, anak-anak dan remaja pun prevalensinya masih tinggi. Hal ini akibat pengendalian tembakau di Indonesia masih rendah.
Dia mengungkapkan Indonesia mendapat skor pengendalian terburuk di antara 10 negara ASEAN. Sebanyak 7 dari 10 pelajar perokok usia 13-15 tahun membeli rokok secara batangan/ketengan. Lalu, 3 dari 5 pelajar perokok usia 13-15 tahun tidak dicegah untuk membeli rokok meskipun di bawah umur.
Dia berharap kenaikan HJE bisa menekan prevalensi perokok. Namun, dia juga berharap lebih jauh lagi agar cukai juga turut dinaikan.
Refleksi Pengendalian Tembakau
Kepala Pusat Studi CHED ITB AD Jakarta, Roosita Meilani Dewi mengungkapkan pengendalian tembakau sepanjang tahun 2020 hingga 2024, yang terlihat dampaknya yaitu pada 2020.
Pada tahun tersebut, ada kenaikan tarif CHT 23 persen dan HJE 35 persen. Dia melihat kenaikan CHT dan HJE ini secara tidak langsung berkorelasi terhadap penurunan prevalensi perokok.
Pada 2019, prevalensi perokok anak 9,9 persen. Kemudian setelah CHT dan HJE naik pada 2020, prevalensinya menjadi 9 persen.
“Ternyata ada impact yang kita lihat itu turun. Artinya, kalau kita bisa memberikan suggest kepada pengambil kebijakan harusnya itu yang diambil harusnya dua-duanya naik,” tuturnya.
Lily berpandangan menaikan CHT dan HJE bukan hanya akan menekan prevalensi, melainkan juga menambah pendapatan negara. Pendapatan itu bisa disalurkan untuk pendanaan program kesehatan seperti membuat kampanye edukasi bahaya rokok.
“Kita dapat mempercepat penanganan penyakit terkait rokok, seperti kanker, TB, dan penyakit paru lainnya. Serta meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia,” ujar dia.
Pendiri dan Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi menilai PMK 97/2024 tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam PP tersebut memuat sejumlah aturan terkait rokok.
“Presiden Jokowi mengesahkan PP 28/2024 yang sangat positif dan kita apresiasi untuk itu ya tapi kemudian di sisi lain di akhir tahun barternya adalah pemerintah memberikan statement bahwa atau kebijakan bahwa tidak menaikkan cukai rokok,” ucapnya dalam Konferensi Pers: Sikap Masyarakat Sipil Atas Tidak Naiknya Cukai Rokok Tahun 2025.
Dengan PMK 97/2024, dia menilai secara tidak langsung pemerintah memperlihatkan tunduk pada intervensi industri rokok.
“Ketika pemerintah tidak menaikkan cukai, saya menduga ini karena intervensi industri rokok,” ucapnya.
Menurutnya, pemerintah harusnya lebih bersikap tegas dan juga pro pada kesehatan publik untuk melindungi masyarakat. Khususnya remaja dan anak-anak dari ancaman bahaya rokok.
“Kesehatan publik saat ini sudah benar-benar terancam,” ujar dia.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post