Jakarta, Prohealth.id – Kementerian Kesehatan mengakui jika cukai rokok tidak dinaikkan tahun ini, ada beban kesehatan masyarakat yang makin berat di masa depan.
Plt. Direktur Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, drg. Kartini Rustandi, M.Kes mengakui harga rokok yang murah dan terjangkau memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Dia tak menampik, Kemenkes memiliki indikator kesuksesan salah satunya adalah pengendalikan prevalensi perokok anak dan remaja, demi mendukung perbaikan sumber daya manusia.
“Kalau kita terdampak iya, [Kemenkes adalah] salah satu kementerian yang terdampak, kalau hanya mau dilihat dari sisi indikator yang kita harus capai. Tapi kita juga terdampak dari sisi konseptual framework di mana tugas kami adalah mengawal masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang sehat,” ungkap drg. Kartini dalam peluncuran CISDI Magazine beberapa waktu yang lalu.
Secara rinci, indikator pencapaian yang dimaksud dia adalah pencapaian sasaran Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan 2015-2019, yakni prevalensi merokok penduduk usia kurang dari 18 tahun yang awalnya sebesar 7,2 persen pada tahun 2014 ditargetkan menurun ke angka 5,4 persen pada tahun 2019. Namun faktanya, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 malah menunjukkan prevalensi perokok anak malah meningkat ke angka 9,1 persen.
Tak hanya Kemenkes, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (KPPPA), Agustina Erni, mengeluhkan bahwa KPPPA juga terdampak dengan terjangkaunya rokok di tengah masyarakat.
“Kalau kami terdampak itu pasti, karena kami mempunyai berkewajiban melakukan koordinasi untuk melindungi anak-anak. Sehingga kenaikan prevalensi perokok anak menjadi tantangan bagi kami, terutama karena berbanding terbalik dengan target yang tercantum dalam RPJMN,” jelas Agustina.
Namun karena tidak memiliki kewajiban langsung terhadap kebijakan harga rokok, KPPPA mengupayakan pelarangan iklan dan promosi rokok. Salah satunya melalui penetapan pelarangan iklan rokok sebagai salah satu indikator pemberian penghargaan Kota Layak Anak.
“Kami mendorong komitmen kepala daerah, bupati, dan walikota untuk mengurangi bahkan melarang iklan rokok,” tambah Agustina.
Adapun dampak negatif yang dirasakan Kemenkes dan KPPPA sebenarnya sudah banyak dibicarakan di ranah global, salah satunya dalam kajian tobacco tax scorecard yang diproduksi University of Illinois. Scorecard atau kartu penilaian merupakan indeks penilaian sistematika cukai tembakau negara-negara dunia.
Penilaian ini didasarkan pada komponen harga rokok, keterjangkauan rokok, persentase cukai, dan struktur cukai yang berlaku. Dari skala satu hingga lima yakni dari paling buruk ke paling baik, Indonesia memiliki nilai yang sangat buruk, yakni tiga untuk harga rokok, nol untuk keterjangkauan rokok, dua koma lima untuk persentase cukai, dan satu untuk struktur cukai.
Menanggapi situasi tersebut, Project Lead CISDI untuk Upaya Pengendalian Tembakau, Lara Rizka mengatakan penyebab belum optimalnya pengendalian tembakau di Indonesia adalah regulasi. Lara menilai pemerintah memberi peluang industri rokok tumbuh, seperti melalui pemberian cukai, namun tanpa pengaturan detail penjualan. Dia menyebut, regulasi yang lemah membuat rokok bisa dibeli di mana saja. Berbeda dengan alkohol, barang kena cukai lain, rokok bisa dibeli satuan dan ditemukan di warung-warung.
“Apalagi, jenis-jenis rokok di Indonesia beragam dan tidak semuanya dikenai aturan penjualan yang ketat,” jelas Lara.
Pernyataan Lara menegaskan beberapa hal untuk menuntaskan masalah tersebut. Pertama, memperbaiki koordinasi antara Kementerian Keuangan dengan kementerian lain mengenai cukai tembakau. Kedua, menaikkan tarif cukai tembakau dengan signifikan. Ketiga, menerapkan peta jalan penyederhanaan golongan tarif cukai.
Tak hanya mengintervensi penyusunan regulasi, drg. Kartini kembali menambahkan pentingnya edukasi masyarakat terkait bahaya rokok. Dia menegaskan agar edukasi juga perlu ditingkatkan.
“Ayo kita bergandeng tangan, rekan-rekan muda dengan kreativitas, sementara kami (Kementerian Kesehatan) mengupayakan dari sisi regulasi,” ajaknya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post