Jakarta, Prohealth.id – Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Komnas Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo setuju jika PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan segera direvisi tahun ini.
Jika merujuk pada RPJMN 2020-2024, sesuai Perpres No 8 Tahun 2020 yang merupakan titik tolak visi Indonesia 2045 atau Indonesia maju, hal itu berhubungan secara khusus dengan pembangunan sumberdaya manusia.
“Dibawahnya ada arah kebijakan untuk meningkatkan layanan kesehatan (yankes) dan cakupan kesehatan semesta, serta pembudayaan perilaku hidup sehat melalui Germas,” kata Widyastuti pada sesi diskusi daring bertema “Kebijakan Pengendalian Tembakau dan Pengaruhnya pada Industri Tembakau” di Jakarta, (26/7/2021) lalu.
Di bagian tengah RPJMN, menurut Widyastuti terselip aturan tentang pembesaran gambar peringatan kesehatan (bagian IV.27) dan pelarangan total iklan dan promosi (bagian IX.9) yang dimandatkan pada revisi PP Nomor 109 Tahun 2012.
“Walaupun terselip ditengah, kita angkat itu dan kita kaitkan dengan kegagalan untuk mencapai target yang lalu. Maka ini menjadi penting untuk diperhatikan,” katanya.
Widyastuti menekankan, bahwa kita harus berangkat dari kondisi dimana Indonesia telah gagal. Dia mengingatkan, ini adalah ujaran Kementerian Kesehatan yang disampaikan dalam rapat terbatas dengan presiden, bahwa Indonesia sudah gagal mencapai target RPJMN 7,2 persen menjadi 5,4 persen pada 2019.
“Bahkan sudah meningkat menjadi 9,1% sebelum waktunya,” ujarnya.
Selain itu, Widyastuti mengeluhkan soal pengawasan pelaksanaan PP109/2012 yang dinilai tidak efektif, karena tumpang tindih antara tugas dan fungsi, sehingga perlu kejelasan soal itu.
“Ini yang akan diatur di dalam revisi PP 109/2012,” terangnya
Hal lainnnya terkait perkembangan teknologi. Menurut Widyastuti, pemerintah pasti telah mengikuti perkembangan tentang munculnya tren produk terbaru yang sebenarnya telah dicukai, namun belum diikat melalui regulasi terkait pengendaliannya.
Sementara itu, lonjakan promosi menggunakan teknologi digital terus dilakukan agar produk nikotin rokok konvensional maupun produk rokok baru bisa diterima oleh masyarakat.
“Mengapa ini mengkhawatirkan, karena sekarang ada pembelajaran jarak jauh, sehingga akses ke internet dimiliki oleh semua anak remaja. Mereka menggunakan hape selama 24 jam sehingga bisa mengakses iklan dan promosi secara online,” papar Widyastuti.
Kemudian apa ruginya? Ruginya, menurut Widyastuti karena publik seringkali tidak menyadari dampak buruk nikotin pada remaja.
“Tahunya kalo rokok, ya penyakit. Ya sakit jantung, sakit paru, tapi kita tidak pernah menyadari, meskipun sudah berulang kali disebutkan oleh pemerintah Singapura, negara bagian di AS, menggunakan istilah bahwa bahaya sekali perokok baru ini akan menimbulkan gangguan pada prefrontal contex atau merusak otak bagian depan,” katanya.
Secara normal, perkembangan otak terjadi paling lambat pada umur 20 tahun. Prefrontal contex berfungsi untuk daya analitik, pengetahuan, stabilitas emosi, pengambilan keputusan. ”
REVISI PP 109 DIANGGAP TAK PRIORITAS KARENA PANDEMI COVID-19
Widyastuti mengatakan penolakan revisi PP 109 tahun 2012 mengakibatkan berhentinya draf revisi di istana presiden sekalipun sebenarnya sudah sampai di sekretariat kabinet. Penolakan yang pertama karena situasi darurat pandemi Covid-19, sehingga revisi PP 109/ 212 dianggap tidak prioritas.
Padahal menurut Widyastuti, yang kita hadapi saat ini sangat urgen, karena pemerintah harus mampu menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja yang terus meningkat. Hal yang sama, ketika kita tidak bisa menegasikan situasi pandemi Covid-19.
“Seluruh sumberdaya difokuskan bukan pada revisi PP 109 tetapi kepada pandemi Covid, itu betul. Tetapi menuntaskan revisi PP 109 akan mengurangi beban pemikiran pemerintah. Karena revisi isinya hanya penyempurnaan,” terang Widyastuti.
Secara umum, menurut Widyastuti, “Tidak ada hal baru. Ada 1-2 pasal, tapi tidak signifikan”.
Penyempurnaan itu meliputi luas pictorial health warning (PHW) pada bungkus rokok dari 40 persen menjadi 90 persen. Ini penting agar publik semakin paham dampak buruk produk tembakau.
“Ini lucu, pemerintah di luar negeri oke dan mengapa pemerintah Indonesia justru tidak mau dengan gambar 90 persen?” tanya Widyastuti.
Kemudian terkait larangan iklan di media luar ruang. Ini, kata Widyastuti, sudah dilakukan di 16 provinsi dan tinggal diangkat ke tingkat nasional. “Satu lagi, yang iklan di media online, ini mungkin agak baru, dan perlu pembahasan serius,” ujarnya.
Kemudian tentang Hasil Produk Tembakau Lain (HPTL) yang sebetulnya telah ada di PP 109/2012, hanya perlu redefinisi atau definisi ulang, dengan memasukkan produk nikotin dan tembakau baru yang dipanaskan.
Khusus terkait pemyempurnaan pengawasan PP 109/2012, menurut Widyastuti, “Apa bahayanya dan dimana letak petani tembakau dan dimana peran buruh rokok disini. Gak ada”.
“Saya katakan, ini menyelesaikan satu agenda RPJMN sehingga perhatian pemerintah sepenuhnya bisa diarahkan pada penanganan pandemi dan dampaknya sejauh dapat dibuktikan, bahwa perubahan PP tidak merugikan sektor ekonomi,” ujar Widyastuti kemudian.
Selain rokok sebagai produk adiktif, industri rokok merupakan industri yang paling kuat.
“Itu disampaikan oleh Menko Perekonomian, dimana industri rokok adalah satu dari 5 industri yang tahan banting. Ini juga dibuktikan pada saat resesi, baik pandemi, industri rokok tetap berjaya, karena dia produk adiktif,” katanya.
Saat ini, lebih dari 65 juta warga mengalami kecanduan nikotin, sehingga mereka akan tetap merokok. Pasalnya, mereka tidak berdaya mengatasi dirinya sendiri. Termasuk ketika harus beralih ke rokok yang lebih murah.
“Apakah ini merupakan peluang bisnis untuk sigaret kretek tangan (SKT) untuk saat pandemi?” tanya Widyastuti
Widyastuti mengajak untuk melihat sisi peluang bisnis. Secara bisnis, industri rokok tidak akan mati, namun dari sisi ekonomi rakyat kecil juga akan berdampak, sehingga perlu dikendalikan.
“Pengesahan revisi PP 109/2012 yang isi pokoknya adalah penyempurnaan tidak ada hubungannya dengan masalah ekonomi,” tegasnya.
BENARKAH REVISI PP 109 TIMBULKAN KONTRAKSI EKONOMI?
Penolakan revisi PP 109/ 2012 salah satunya dianggap akan menimbulkan kontraksi ekonomi. Industri besar kabarnya akan bertumbangan.
“Kalimat itu bukan kalimat saya. Itu dari Kementerian Pertanian, pandemi Covid-19 telah menimbulkan kontraksi ekonomi,” kata Widyastuti.
Revisi PP 109/2012 ditengarai akan berdampak pada penurunan penerimaan dari cukai rokok, karena turunnya produksi selama pandemi, seperti keterangan Kementerian Perindustrian.
Menurut Widyastuti, bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) sedang turun patut dipertanyakan. Pasalnya, kecenderungan IHT terus naik. Dan kaitannya dengan pemulihan ekononomi justru akan kontradiksi, jika IHT menurun.
“Maksudnya apa? Bukankah IHT itu seharunya menaik terus? Ini pertanda baik atau pertanda tidak baik?” tanya Widyastuti.
Lalu ketika Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meyurati Presiden Jokowi dan ini merupakan surat kedua, yang menyebut revisi PP 109/ 2012 akan menyebabkan pabrik rokok gulung tikar.
“Hebat sekali, luar biasa. Jika itu sampai terjadi maka petani dan pekerja akan menjadi korban,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Widyastuti mengajak untuk melihat seperti apa data yang benar. Ketika tahun 2018 dan 2019 tidak terjadi peningkatan cukai, industri rokok akan berusaha menggenjot produksimya.
Alasannya, meskipun tidak ada kenaikan cukai, pemerintah telah menerapkan target penerimaan pada 2019 lebih tinggi dari 2018.
“Selalu begitu, setiap tahun target harus ditingkatkan. Tidak mungkin target tetap atau turun. Tidak mungkin,” katanya.
Dengan demikian, industri rokok akan meningkatkan produksinya. Produksinya saat itu naik hingga 356.5 miliar batang. Kemudian pada tahun 2020, terjadi penurunan menjadi 298.4 miliar batang.
“Berarti situasi IHT memang turun. Tapi siapa sebetulnya penyumbang cukai ini? Mereka adalah industri besar, yaitu industri Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM),” terang Widyastuti.
Menurut Widyastuti, IHT turun bukan karena Covid, namun karena peningkatan cukai sebesar 23 persen. “Dan itu mendekati ideal, karena menurut WHO yang ideal adalah 25 persen,” katanya.
Apakah penerimaan juga menurun? Untuk mengetahui hal itu, Widyastuti mengatakan pada tahun 2020 telah terjadi beberapa kali penyesuaian target penerimaan cukai.
Semula targetnya Rp173,24 triliun, kemudian ada penyesuaian menjadi Rp165 triliun di awal 2020. Lalu berubah menjadi Rp164,9 triliun sesuai Perpres 72/2020. Angka itu tetap lebih tinggi dari tahun 2019.
“Jadi targetnya ini lebih tinggi, dan pencapaiannya Rp170 triliun. Ini adalah situasi yang sangat ideal,” katanya.
Menurut Widyastuti, target itu sesuai dengan peningkatan tarif cukai yang mendekati ideal sebesar 23 persen, sehingga berhasil meningkatkan penerimaan pemerintah dan menurunkan produksi rokok.
“Bagus sekali ya? Ini bagus sekali,” ujarnya.
Lalu, apakah industri kecil mati? Ternyata tidak. Ketika perokok telah teradiksi, mereka akan tetap mencari cara agar bisa merokok. Menurut Widyastuti, hal itu menjadi peluang bisnis baru bagi industri rumahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu membeli rokok, karena harganya mahal.
“Jadi disini jelas, turunnya produksi tidak ada hubungannya dengan PHW dan seluruh isi PP 109/ 2012 sekarang maupun dimasa mendatang,” terang Widyastuti.
Widyastuti menambahkan, “Tidak ada hubungan sama sekali. Hubungannya hanya dengan ekonomi dan cukai. Tidak ada hubungan dengan revisi PP 109/2012”.
REVISI PP BERDAMPAK PADA PENGANGGURAN?
Sebelumnya marak dugaan bahwa pekerja dan buruh rokok akan terdampak pengangguran jika revisi PP 109/2012 dilakukan. Revisi PP dianggap merugikan industri Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan diyakini memicu PHK.
“Sebetulnya kita harus memahami dinamika PHK di industri rokok yang berbeda dengan di industri pada umumnya,” kata Widyastuti.
Jika di industri secara umum, pekerja akan dibayar saat mereka mengahasilkan produk. Jika tidak menghasilkan maka tidak dibayar. Oleh karena itu sifatnya putus hubungan kerja. Sementara di industri rokok sangat berbeda.
Industri pada umumnya memiliki sifat padat modal, sementara industri rokok adalah padat karya. “Beda antara padat karya dan padat modal,” katanya.
Industri rokok juga memiliki konsumen yang berbeda. Mereka adalah konsumen yang telah teradiksi. “Jadi tidak akan ada matinya industri rokok,” ujar Widyastuti.
Lalu apa yang menyebabkan PHK di industri rokok? Menjawab hal itu, Widyastuti menjelaskan tentang perbedaan antara Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Menurutnya, sejak tahun 2011 hingga 2019 telah terjadi pergeseran preferensi masyarakat dari yang semula menggemari SKT beralih ke SKM.
“Penurunan SKT itu besarnya 64 persen. Ini terjadi karena mekanisasi untuk memenuhi permintaan masyarakat akan rokok mesin,” kata Widyastuti. Industri rokok kemudian membeli mesin-mesin untuk meningkatkan efisiensi.
Sementara itu, pada tahun 2013-2015 terjadi PHK di industri rokok yang memang memiliki buruh banyak. Saat itu (2013) terjadi PHK terhadap 17.288 buruh, dan pada 2015 PHK bertambah menjadi 20.014 orang.
“Dengan penurunan sebesar 54 persen, ternyata tidak berpengaruh terhadap industri. Tidak ada goncangan. Mengapa? Karena jumlah produksinya tetap naik dan cukainya tidak bergeming,” papar Widyastuti.
Oleh karena itu, Widyastuti mengusulkan, pengaturan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia sebaiknya diarahkan terhadap industri besar. Dia beralasan karena yang berperan adalah industri besar.
Di sisi lain, khususnya pandemi Covid-19 telah terjadi pergeseran preferensi masyarakat dari yang awalnya menggemari rokok SKM kini beralih ke SKT. Akibatnya, jumlah pabrik rokok SKT terus naik.
“Misalnya di Kudus dari 88 industri pada 2020 menjadi 114 pada Juni 2021”, kata Widyastuti.
Kemudian ada kawasan IHT terpadu yang memberikan kemudahan bagi industri SKT. “SKT akan diarahkan ke sana tampaknya. Kemudian Sampoerna juga melirik ini, sehingga akan menggenjot segmen SKT pada tahun 2021,” ungkapnya
Itulah alasan mengapa tidak ada hubungan antara revisi PP 109/2012 dengan pergeseran preferensi masyarakat. Juga kaitannya dengan PHK, sangat debatable.
REVISI PP DAN DAMPAKNYA PADA PETANI TEMBAKAU
Beberapa waktu lalu muncul argumen yang menyatakan, jika revisi PP diberlakukan, akan menekan penyerapan produksi tembakau dan berdampak pada hampir 500 ribu keluarga petani.
Untuk membantah argumen itu, Widyastuti berpedoman pada Buku Statistik Perkebuan Tembakau 2017-2019: Tembakau, yang dikeluarkan Kementerian Pertanian pada tahun 2019. “Buku itu cukup lengkap. Artinya dari tahun ke tahun, bahkan dari tahun 1975 sudah ada data disana,” kata Widyastuti.
Dari buku itu, ternyata selama 40 tahun perkebunan tembakau di Indonesia tidak berubah. Sejak 1975 – 2017, luas lahan tembakau hanya sekitar 200.00 hektare.
Lalu jika mengambil data dari tahun 1990 sampai 2017, terlihat bahwa produksi daun tembakau tidak mencukupi kebutuhan industri rokok. “Tidak mencukupi,” katanya.
Widyastuti menambahkan, “Jadi harus ditutup dengan impor. Berapa impornya? Kita lihat saja trennya. Persentase impor terhadap produksinya saja, naik 17 persen – 66.1 persen pada tahun 2017”.
Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan rokok seluruhnya, ternyata masih kurang sebesar 2/3 nya dari total produksi di dalam negeri. Hal itu berkaitan dengan konsumsi di dalam negeri yang merupakan produksi ditambah impor, dikurangi ekspor.
Selanjutnya, kebutuhan konsumsi sebesar 44 persen dipenuhi dengan impor tembakau. “Jika untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri saja masih impor, masa ya, lantas gara-gara PP produk tembakau lokal tidak terserap?” tanya Widyastuti.
Tidak terserapnya tembakau lokal, menurut Widyastuti bukan karena revisi PP 109/2012. Sementara industri rokok melakukan impor tembakau karena beberapa faktor, mulai dari jumlah yang terbatas, alasan kualitas tembakau, faktor cuaca, gagal panen karena hama, hingga jenis tembakau yang tidak tersedia di pasaran.
“Jenis yang tidak tersedia, terutama yang dibutuhkan untuk rokok putih dan rokok kretek, seperti tembakau Virginia, Burley, dan Oriental,” katanya.
Selama ini ada aturan tentang kegiatan impor tembakau, sesuai Permentan No. 23 tahun 2019 tentang Rekomtek Impor Tembakau. Pada pasal 5 dinyatakan: importir harus melakukan penyerapan tembakau dalam negeri (DN) sebagai bahan baku rokok kretek dan rokok putih. Untuk membuktikan penyerapan tembakau harus menyampaikan bukti serap tembakau petani paling sedikit 2 kali jumlah yang diimpor
“Ada instruksi seperti itu, seharusnya importir takut, karena mereka harus menyerap sepenuhnya. Enak saja impor, karena untuk impor dibutuhkan sejumlah persyaratan; ada bukti serap petani paling sedikit 2 kali dari jumlah yang diimpor,” katanya.
Sehingga jika memahami aturan tersebut, maka secara logika, revisi PP 109/2012 tidak berpengaruh terhadap penyerapan daun tembakau petani. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mewajibkan industri untuk menyerap terlebih dahulu tembakau masyarakat, dan diwaktu yang bersamaan, kebutuhannya terbatas.
Oleh karena itu, Widyastuti mengingatkan pemerintah untuk melindungi petani tembakau dan buruh industri rokok melalui kerjasama sistematis dan terarah diantara sektor terkait.
“Jadi jangan kira bahwa kita ini musuh petani. Justru kita minta agar petani dan buruh industri tembakau ini dilindungi,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post