Ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri disela waktu luangnya urun pandangan dengan tim redaksi Prohealth.id, pada Sabtu (28/8/2021). Sesi wawancara melalui telekonferensi video Zoom itu Faisal tak sekadar menjawab pertanyaan. Dia juga menyajikan presentasi data sambil sesekali menyinggung peran pemerintah dan manuver niaga industri rokok. Beberapa pertanyaan yang diajukan tim Prohealth.id, Bram Setiawan dan Gloria Fransisca Katharina Lawi pun ikut berkembang selama satu jam wawancara. Secuil sudut pandang tentang cukai terkait rokok elektronik juga muncul dalam bincang virtual ini.
Apakah kasus rokok ilegal itu selalu terkait kenaikan tarif cukai?
Ilegal itu selalu dijadikan salah satu alasan untuk tidak menaikkan cukai, harga rokok. Memang selalu ada celah apa pun itu. Kalau harga naik terus akan terjadi insentif bagi orang untuk menjual harga yang lebih rendah. Caranya ya enggak bayar cukai, palsu. Barang mewah seperti Louis Vuitton pun ada yang ilegal.
Bagaimana cara menuntaskannya?
Makanya kita punya polisi, aparat penegak hukum, dalam segala hal ilegal itu ada. Jadi, (rokok ilegal) bukan isu menurut saya, sama saja uang palsu juga ada. Kalau harga dipandang oleh produsen terlalu mahal, segala celah tidak bayar pajak. Kalau ilegal enggak ada standardisasi, enggak ada perlindungan kesehatan, buat apa? Rokok itu bukan barang normal. Menurut saya ilegal jangan jadi alasan untuk menunda kenaikan harga. Ilegal juga bisa dari penyelundupan, kan enggak bayar apa-apa. Memang lebih marak persoalan rokok ilegal ini mengingat konsumen rokok sebagian kelas menengah ke bawah.
Konsumen kebanyakan dari kelas menengah ke bawah. Apakah itu yang membuat kasus rokok ilegal terkesan isu yang besar?
Ketika harga (rokok) makin tidak terjangkau, kelas menengah bawah tetap ingin merokok. Tapi, kalau harga rokok sebegitu tinggi, merokoknya bisa berkurang. Rokok ini bagi orang miskin pengeluaran terbesar kedua setelah beras. Di Indonesia ini surga buat produsen rokok, ruang bermanuvernya banyak. Ketika (tarif) cukai naik, (bisa) seolah-olah dibuat harga rokok itu tidak meninggi. Bahkan, harga per-bungkusnya bisa turun, kenapa? Jumlah batang dikurangi (per-bungkus). Di seluruh dunia standar (rokok) 20 batang per-bungkus. Kalau tarif cukai naik, kan harganya meninggi. Nah, dibikinlah per-bungkus ada yang 16 batang, 12 batang. Bahkan, lebih parah lagi ketengan juga bisa di Indonesia.
Apakah ini yang membuat konsumen rentan tetap merokok?
Jadi, ada ilusi untuk konsumen seolah-olah enggak (mahal), padahal harga per-batang sudah naik. Namun, di mata konsumen yang penting beli keluarkan uang lebih sedikit untuk per-bungkus. Jadi tetap membuat rokok itu terjangkau oleh konsumen, walaupun cukainya dinaikkan. Produsen punya kemewahan untuk bermanuver.
Persoalan yang sering muncul kenaikan tarif cukai ini selalu dibarengi dengan mendadak marak ditemukan kasus peredaran rokok ilegal. Apakah Anda punya kecurigaan terkait hal tersebut?
Ya, itu kan buat menakuti pemerintah. Seharusnya diantisipasi, apa susahnya sih mencari tempat produksinya. Kemudian, dicek, ilegal itu kan bisa enggak pakai cukai, ada yang (pita) cukainya palsu. Jadi, law enforcement (penegakan hukum) harus jalan. Sekali lagi, jangan rokok ilegal menjadi alasan menunda kenaikan harga. Semua terjadi untuk berbagai jenis barang, makanya ada yang namanya original dan fake.
Misalnya terbukti, kenaikan tarif cukai memicu peredaran rokok ilegal. Upaya apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
Ini ranah pelanggaran hukum, bukan urusan bea cukai lagi semata-mata. Ya, (polisi) tindak sebagaimana ada yang memalsukan barang. Menurut saya sih (marak peredaran rokok ilegal, karena kenaikan tarif cukai) itu mengada-ada. Bisa jadi ada yang melindungi (peredaran rokok ilegal). Lagi-lagi penegakan hukum. Untuk barang lain juga selalu ada (yang ilegal). Apa bedanya sih rokok ilegal dengan bensin palsu, air mineral palsu, dulu juga pernah ada beras palsu. Sepanjang ada celah untuk mendapat keuntungan melimpah, ya jalan. Jadi apa urusannya (kenaikan cukai dengan peredaran rokok ilegal). Anda bisa telusuri, siapa yang menggembar-gemborkan itu, coba dicek deh.
Skema ideal kenaikan tarif cukai sebaiknya digenjot langsung tinggi atau sedikit tapi rutin tiap tahun?
Setidaknya sesuai apa yang ditetapkan pemerintah, kenaikan 10 persen setahun, kemudian penyederhanaan golongan produsen. Sekarang kebanyakan ada 12 kelompok. Ini terlalu banyak. Kenaikan tarif cukai itu tidak bisa berdiri sendiri, karena harus diimbangi dengan kenaikan harga jual rokok. Ada harga jual ditentukan oleh pemerintah. Harga jual juga harus disesuaikan, jangan tarif cukai saja. Harga jual juga harus naik, supaya efektif. Pabrik rokok masih menikmati celah yang sedemikian besar agar bisa menjangkau lapisan terendah di masyarakat.
Seumpama cukai rokok tidak naik, apakah berpengaruh signifikan terhadap penerimaan negara?
Rokok itu tidak bisa digunakan sebagai alat untuk penerimaan negara. Cukai rokok itu untuk mengendalikan konsumsi. Semua barang-barang yang tidak normal itu dikendalikan konsumsinya, rokok, minuman keras. Di beberapa negara minuman mengandung gula juga (dikendalikan konsumsinya). Kok (rokok) diseret-seret ke penerimaan negara, apa urusannya?
Kalau cukai rokok dianggap sebagai penerimaan negara, apakah berarti itu cuma ekses?
Persoalannya adalah selama ini pemerintah dimanja. Semasa pandemi ini penerimaan negara anjlok, tapi pendapatan cukai (hasil tembakau) naik, sementara pendapatan pajak turun. Pragmatisme, tidak boleh mengharapkan penerimaan negara dari cukai rokok. Tapi, kalau pemerintah menaikkan cukai rokok menambah penerimaan negara kan juga jadi bagus. Bagi aktivis (pengendalian tembakau) pokoknya makin sedikit rakyat yang merokok. Caranya menaikkan harga lewat tarif cukai, ihwal pendapatan negara naik atau turun itu nomor dua. Isu penerimaan negara itu ekses (akibat). Bukan tujuan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan negara.
Pernyataan industri rokok mengusulkan kenaikan tarif cukai tembakau harus berbasis angka inflasi atau pertumbuhan ekonomi?
Mereka ingin dagang, jadi cukai itu sebesar inflasi 1,5 persen. Argumen mereka supaya tidak terjadi kenaikan harga yang relatif tinggi, agar bisa jualan terus. Tujuan tarif cukai rokok nomor satu kesehatan. Inflasi 1,5 persen pertumbuhan ekonomi minus, jadi harga rokok harus diturunkan.
Rokok elektronik (vape) termasuk barang kena cukai. Bisakah industri ini berkontribusi untuk penerimaan negara?
Di Indonesia gimmick (muslihat) yang dibuat rokok elektronik transisi untuk tidak merokok (tembakau). Pemerintah dengan suka cita membuka peluang investasi untuk pabrik rokok elektrik. Waduh! Pada saat yang sama mereka (industri rokok elektronik) penetrasi terus. Keleluasaan ini yang terus dimiliki mereka melobi pemerintah terus, supaya terus mendapatkan kemewahan ini, sehingga Indonesia menjadi surga yang jumlah perokoknya naik terus.
Selain cukai adakah instrument lain mengendalikan konsumsi rokok?
Intinya dikendalikan lewat cukai, menurut saya jangan diberikan peluang untuk pabrik rokok baru dong. Pokoknya dua-duanya dikenakan instrumen untuk membuat apa pun bentuknya makin tidak terjangkau, lagi-lagi apa urusannya sama penerimaan negara. Ingat, Indonesia sampai sekarang belum meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Kalau sudah meratifikasi itu, ketika pemerintah mau menyusun kebijakan tidak boleh duduk satu meja dengan pabrik rokok. Jadi, tegas garis pemisahnya.
Kalau belum meneken FCTC, seperti apa rujukannya?
Rokok dianggap pemerintah (Indonesia) sebagai barang biasa. Di ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara) ada perdagangan bebas, semua barang dan jasa yang diperdagangkan bebas masuk. Tapi, hampir semua negara ASEAN tidak memasukkan rokok di dalam kerja sama perdagangan bebas. Di Myanmar (rokok) dikenakan bea masuk 120 persen harga CIF (cost, insurance, freight), lihat rata-rata negara ASEAN ada. Di Indonesia bebas, 0 persen. Jadi rokok ini (masuk) mirip kayak barang normal.
Pewawancara: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post