Jakarta, Prohealth.id – Gig economy menjadi fenomena yang sedang booming saat ini. Hal ini memberikan pandangan yang berbeda terkait jenis pekerjaan dan eksplorasi atas nilai keterampilan individu
Jenis pilihan pekerjaan ini mempunyai kelebihan dan tantangan tersendiri baik bagi kesehatan mental dan kesejahteraan ekonomi.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII) Dewi Rahmawati menyebutkan pekerja gig juga menghadapi tantangan kesehatan mental yang lebih berat dibandingkan masyarakat yang bekerja dengan status terikat. Ia menyatakan, hasil riset dari 477 pekerja swasta di Belanda menemukan sebanyak 82 persen mengalami kesehatan mental karena isolasi sosial dan depresi mudah menyerang mereka yang bekerja sebagai pekerja gig.
“Ini akibat kurangnya kontak dan interaksi antar manusia,” ujarnya dalam Ngobrol Kebijakan (Ngobi) by The Indonesian Institute Episode 4 “Gig Economy: Mental Health vs Kesejahteraan Ekonomi, Mana Yang Lebih Penting?” di Jakarta pada Kamis, 2 November 2023 lalu.
Ia menjelaskan, masyarakat perlu berpikir matang akan setiap jenis pekerjaan yang dipilih karena masing-masing memiliki kelebihan dan tantangannya tersendiri.
“Kita perlu berpikir secara matang terhadap jenis pilihan pekerjaan yang akan kita jalani. Karena setiap jenis pekerjaan pasti akan memiliki beban psikologis tersendiri. Apabila kita mampu untuk meregulasi beragam beban psikologis tersebut, tentunya kita akan senang untuk bekerja dalam jenis pekerjaan apapun,” paparnya.
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute (TII) Putu Rusta Adijaya senada dengan pernyataan tersebut. Ia memandang ada keterkaitan antara hal tersebut dengan kesejahteraan ekonomi pekerja gig, seperti pekerja lepas (freelancer). Menurutnya, problem kesehatan mental tersebut muncul akibat jaminan sosial yang tidak dimiliki pekerja lepas. Selain itu, jika berbicara pendapatan, survei Statista mengatakan 24 persen pekerja gig di Amerika Serikat sendiri itu tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam satu bulan karena kecilnya pendapatan.
“Oleh karena itu adanya jaminan sosial dan kesehatan itu akan sangat membantu para pekerja gig,” katanya.
Dewi menjabarkan rekomendasi bagi pemerintah terkait jaminan kesehatan bertautan dengan hal tersebut. Seperti memperkuat regulasi ketenagakerjaan dan mendorong jam kerja produktif.
“Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dapat mendorong dan memperkuat peraturan jaminan kesejahteraan pekerja lepas melalui peraturan ketenagakerjaan,” ucapnya.
Dewi melanjutkan, selain itu Pemerintah dapat mendorong untuk mengatur kembali jam kerja produktif yang proporsional.
“Dengan jam kerja produktif proposional tersebut maka masyarakat akan memiliki cukup waktu untuk memulihkan energi yang terkuras melalui sejumlah aktivitas rekreasi bersama keluarga.”
Putu juga berharap Pemerintah dapat memperkuat infrastruktur digital, meningkatkan inklusi keuangan, serta mendorong kewirausahaan para pekerja gig. Ia menilai Gig economy adalah ekonomi masa depan. Boomingnya ini juga terjadi karena bertumbuhnya generasi muda yang sekarang didominasi generasi Z dan Milenial serta ada korelasi dengan ekonomi digital.
“Saya berharap Pemerintah dapat memperkuat infrastruktur digital dan konektivitas digital bagi wilayah 3T agar pekerja gig di sana dapat lebih mudah dalam bekerja.”
Putu menambahkan, Pemerintah dapat meningkatkan inklusi keuangan dengan memberikan akses layanan jasa keuangan kepada pekerja gig agar mereka dapat semakin mengelola pendapatan mereka. Terakhir, Pemerintah dapat mendukung kewirausahaan pekerja gig dengan menawarkan dukungan berupa akses permodalan, pendampingan, dan kemudahan peraturan untuk memulai usaha kecil.
“Hal ini sesuai dengan prinsip kebebasan ekonomi yang memerdekakan pilihan pribadi dalam beraktivitas ekonomi sehingga berkontribusi bagi kesejahteraan,” pungkas Putu.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post