Financial Intermediary Fund (FIF) untuk pandemic pandemic prevention, preparedness, and response (PPR) secara resmi dirilis oleh FIF Governing Board di Washington, Amerika Serikat.
Melalui rilis resminya, WHO menjelaskan akan menjamin FIF sebagai sumber pendanaan jangka panjang untuk mengantisipasi pandemi khususnya bagi negara berpendapatan rendah dan menengah. FIF juga akan berperan sebagai pendukung untuk menyalurkan investasi skala nasional, regional, sampai global. Pendanaan ini akan memperkuat dan menjadi perangkat pembanding dan pendukung yang meningkatkan koordinasi, insentif atas investasi antar negara. Bahkan, FIF juga bermanfaat untuk mendukung program advokasi dan keberlanjutan untuk memperkuat sistem kesehatan. Oleh karena itu, permohonan pendanaan dari FIF akan mulai dibuka pada November 2022 mendatang.
Presiden Bank Dunia, David Malpass menyatakan selama Covid-19 menerjang dua tahun terakhir, para pemimpin dunia menyadari pentingnya mempersiapkan kebutuhan untuk meningkatkan ketahanan sistem kesehatan.
“Menanam investasi akan menjamin dan menjaga kehidupan untuk tahun-tahun yang akan datang. Kami menyambut lebih banyak dukungan internasional untuk FIF di Bank Dunia yang akan membantu negara berpendapatan rendah dan menengah untuk menjadi lebih kuat menghadapi krisis kesehatan global. Oleh karena itu kami sangat bangga bisa memproses program ini dalam waktu dekat,” tuturnya.
Program FIF memang sudah mendapatkan persetujuan penuh dari Bank Dunia pada 30 Juni 2022 lalu. Oleh karena itu, Bank Dunia akan bertugas sebagai kantor secretariat pusat FIF, yang dibantung dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pandemi Covid-19 telah menjadi goncangan terbesar di dunia. Namun, kondisi ini tak lantas menandakan dunia bebas dari pandemi di masa depan.
“Kedukaan dan kehilangan yang kita lalui sepanjang pandemi perlu menjadi pelajaran yang menyakitkan dari Covid-19, dan pentingnya menjamin kesenjangan yang terjadi akibat pandemi dan epidemi,” sambungnya.
Tedros menjamin, FIF adalah solusi dimana WHO berperan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan ketahanan sistem kesehatan dari sisi kebijakan kepemimpinan. Utamanya, dalam memberikan nasehat dan panduan bagi pimpinan FIF terkait langkah efektif dan efisien berinvestasi untuk menjaga kesehatan khususnya di negara berpendapatan rendah dan menengah.
Oleh karena itu, pimpinan FIF membuka peluang tidak hanya bagi pemerintah negara untuk terlibat, tetapi juga organisasi masyarakat sipil (CSO) untuk meningkatkan dan menyusun program penggunaan FIF. Misalnya saja; FIF bisa membantu untuk meningkatkan kapasitas preventif terutama untuk penyakit zoonotic, laboratorium, komunikasi risiko dan darurat, manajemen dan koordinasi sektor kesehatan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) sektor kesehatan, dan peningkatan kapasitas ruang kerja.
FIF yang mendapat dukungan anggota G20 ini sudah memiliki total pendanaan awal lebih dari US$1,4 miliar bentuk komitmen yang sudah disosialisasikan untuk masyarakat dunia. Sejumlah negara yang sudah berkomitmen dalam FIF antara lain; Indonesia, Australia, Kanada, China, Uni Eropa, Prancis, Jerman, India, Italia, Jepang, Korea Selatan, New Zealand, Norwegia, Singapura, Afrika Selatan, Spanyol, Arab Saudi, Inggris Raya, Amerika Serikat, Bill & Melinda Gates Foundation, the Rockefeller Foundation, dan Wellcome Trust.
Usulan dari Indonesia
Senada dengan WHO, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menegaskan pentingnya peran organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organisations/CSO) dalam pengelolaan dana pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi untuk menghapus akses kesehatan yang timpang antar negara.
Diah Saminarsih, Pendiri CISDI menjelaskan, penguatan arsitektur kesehatan global menjadi salah satu isu prioritas di G20 untuk membangun sistem yang lebih siap menghadapi ancaman di bidang kesehatan. Oleh karena itu, negara G20 telah setuju membangun mekanisme pendanaan perantara atau financial intermediary fund (FIF) untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi. Inisiatif ini diarahkan menutupi ketimpangan pembiayaan pendanaan internasional sebesar US$10,5 miliar atau setara Rp10,6 triliun setiap tahun dalam 5 tahun ke depan.
“Indonesia menyumbang US$50 juta atau setara Rp740M, menjadikannya sebagai salah satu penyumbang utama dalam FIF,” tutur Diah awal September lalu.
Sumber pendanaan Indonesia dalam FIF diproyeksikan berasal dari APBN 2023. Alhasil, peran vital media dan CSO sangat dibutuhkan sebagai pengawas untuk memastikan pengelolaan pembiayaan yang bertanggung jawab, berkeadilan, dan menghasilkan dampak optimal serta berkelanjutan.
Tak lupa Dian menyampaikan ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian khusus mekanisme FIF yang dikelola Bank Dunia.
Pertama dari sisi keberlanjutan, pembayaran FIF menggunakan sistem sukarela dari negara pendonor serta belum mengikat komitmen negara dalam jangka panjang. Untuk itu, ketersediaan pembiayaan akan tergantung dari keputusan negara pendonor untuk terlibat atau tidak, pun tidak ada kepastian besaran setiap tahunnya.
“Untuk membentuk tanggung jawab bersama, dibutuhkan komitmen dan solidaritas multilateral agar semua negara bisa terlibat dalam respons pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi,” tutur Diah.
Kedua dari sisi inklusivitas, CSO belum pasti dilibatkan secara bermakna dalam pengambilan keputusan. Kondisi ini terjadi awalnya karena belum tercapainya konsensus antar kontributor FIF atas hak suara atau voting bagi CSO.
“Pelibatan bermakna CSO sangatlah krusial. Mulai dari desain tata kelola FIF di tingkat global melalui penyediaan kursi dan kapasitas hak suara, hingga di tingkat nasional dan lokal guna memperluas jangkauan dampak dan keberlanjutan dari program yang didanai,” ungkap Diah.
Belajar dari pembiayaan kesehatan global yang dibatasi kepentingan dan prioritas donor serta tidak partisipatif, Diah menilai dalam proses implementasi, penerjemahan pembiayaan sering kali tidak merepresentasikan kebutuhan negara penerima manfaat. Sebaliknya, pelibatan CSO memungkinkan check and balances mulai dari proses perencanaan, implementasi, hingga perluasan jangkauan program. CSO juga berperan memastikan program tepat sasaran melalui pemantauan dan evaluasi di negara penerima manfaat.
Oleh karena itu, CISDI menegaskan pentingnya pelibatan CSO dalam struktur tata kelola FIF. Mekanisme ini sebelumnya telah diterapkan secara efektif dalam struktur Global Fund for AIDS, TB, dan Malaria dengan ketentuan 1 organisasi negara maju, 1 organisasi negara berkembang, dan 1 komunitas negara paling terdampak.
Pada contoh kasus lainnya, Studi UHC 2030 (2016) di tingkat global dan Bank Dunia (2019) di Indonesia, mekanisme pelibatan CSO terbukti efektif meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta memperkuat proses perencanaan program dan pembiayaan.
“Oleh karena itu, kita perlu mengawal dan mendorong terjaminnya kursi dan hak suara CSO dalam struktur tata kelola FIF,” tutup Diah.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post