Jakarta, Prohealth.id – Hal yang menjadi masalah kesejahteraan petani tembakau yang masih terjadi sampai saat ini adalah tata niaga dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang tidak menguntungkan petani.
Komisi IV DPR Anggia Erna Rini mengatakan ada sejumlah masalah terkait kesejahteraan petani tembakau. Persoalan itu terkait dengan persepsi umum bahwa merokok merugikan kesehatan masyarakat. Sementara fakta membuktikan masih petani tembakau yang belum mendapatkan kesejahteraan yang memadai.
“Bagi saya ini sangat penting dan bagus, karena jika kita bisa mengendalikan rokok, masyarakat kita jadi lebih sehat,” kata Erna dalam diskusi daring bertema Benarkah Nasib Petani Tembakau dan Buruh Rokok Sejahtera di Tangan Industri Rokok, Jumat (25/6/2021).
Menurut Erna, lingkaran jaringan Industri Hasil Tembakau (IHT) – Tengkulak – Petani Tembakau tidak menguntungkan sektor hilir, yakni petani tembakau sebagai penyuplai bahan ke industri.
“Ini sangat gamblang dan saya sepakat dalam konteks industri, petani tembakau belum mendapatkan keuntungan dan kesejahteraan yang memadai,” kata Erna.
Praktik tersebut, menurut Erna telah menguntungkan industri besar. “Sementara petani tetap dalam konsep tidak sejahtera,” katanya.
Selama ini, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tidak berpihak kepada petani tembakau. Oleh karena itu, Erna mengusulkan agar cukai dinaikkan, namun hasilnya harusnya dikembalikan kepada petani sebagai pihak yang membutuhkan.
“Cukai dinaikkan untuk apa? Kita belum tahu kemana, untuk kesehatan petani, kesejahteraannya, pendidikannya. Ini yang jadi poin krusial saya,” terang Erna yang berasal dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.
Selain itu, petani juga mengalami Negative Investment oleh perbankan karena produk tembakau dianggap berdampak buruk terhadap kesehatan.
“Ini ada bagusnya, tetapi bagi petani yang butuh tambahan modal, ini jadi terkendala. Ini jadi bukti bahwa tidak menguntungkan untuk menanam tembakau,” ungkap Erna.
Sebelumnya, Erna sempat mendapatkan informasi dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) tentang bagaimana petani tembakau boleh memiliki pendapatan lebih, ketika memutuskan berpindah ke komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Hal itu terjadi, mengingat pengelolaan pertanian tembakau masih dilakukan secara tradisional-konvensional. Erna menyebutnya, belum mengadopsi teknologi modern yang lebih menguntungkan.
“Akibatnya industri lebih mengutamakan tembakau impor,” jelasnya.
Fakta lain, Industri Hasil Tembakau (IHT) ternyata lebih menguntungkan kelompok industri besar daripada mengutamakan kesejahteraan petani dan buruh tembakau. Kondisi itu menurut Erna diperparah dengan permainan harga oleh tengkulak dan kelompok menengah yang membeli tembakau dari petani sebagai kelompok yang dirugikan.
“Petani mendapatkan harga yang paling rendah dengan risiko paling tinggi pastinya. Bahkan penelitian membuktikan pertanian tembakau turut andil dalam stunting di Indonesia,” ujar Erna yang sebelumnya duduk di Komisi IX DPR.
DANA BAGI HASIL BUKAN UNTUK PETANI
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang seharusnya untuk petani tembakau sesuai Peraturan Menteri Keuangan/PMK No.222/PMK.07/2017 ternyata berdampak sebaliknya.
Itu sebabnya, Erna mengusulkan revisi sejumlah pasal dari PMK tersebut. Misalnya di pasal 2 terkait prinsip penggunaan, diketahui DBH CHT ternyata digunakan untuk mendanai sejumlah hal, mulai dari peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial hingga sosialisasi.
“Ini secara umum belum menjawab apakah secara umum akan menguntungkan bagi petani,” kata Erna.
Lalu ada ketentuan di bidang cukai dan/atau pemberantasan barang kenai cukai ilegal yang menurut Erna, sosialisasinya memang diarahkan pada industri besar. “Adanya pemberantasan barang kena cukai ilegal, lagi-lagi bicara tentang the big one,” terangnya.
Dari pasal itu, Erna berkesimpulan bahwa tidak ada yang membicarakan dana bagi hasil untuk kesejahteraan petani atau buruh industri rokok.
“Karena itu, perlu revisi. Perlu kerja yang lebih berat lagi, karena bicara tentang pasal-pasal yang memang berkaitan dengan kebijakan atau regulasi,” katanya.
Pasal 3 yang menyebut kepala daerah bertanggungjawab atas penggunaan DBH CHT juga perlu dikritisi. Pasalnya, tidak semua kepala daerah paham tentang bagaimana mengalokasikan dana tersebut. Sangat sedikit sekali kepala daerah yang sensitif terhadap isu ini.
“Bagaimana membangun kesehatan masyarakat secara maksimal dengan menggunakan dana DBH CHT itu, tantangannya luar biasa,” kata Erna.
Lalu Bab III tentang pemantauan dan evaluasi penggunaan DBH CHT, pada Pasal 11 – Pasal 20 menjelaskan, seyogianya dana tersebut dilakukan proporsional-seimbang dan berorientasi pada kesejahteraan petani dan buruh tembakau. Namun faktanya, Erna menemukan, segala kebijakan dan intervensi yang dilakukan belum berpihak terhadap kesehatan masyarakat, apalagi melindungi petani tembakau.
“Apakah selama ini petani diuntungkan dengan segala kebijakan itu? Jika bicara tentang kondisi saat ini, maka industri besar tetap diuntungkan,” jelas Erna.
Sementara terkait upaya mendorong koordinasi dan sinergi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kemnaker, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan, menurut Erna tidaklah mudah.
“Koordinasi itu mudah diomongkan, tapi pelaksanaannya sulit,” papar Erna.
REKOMENDASI TERHADAP ISU DAN KEBIJAKAN
Saat ini, menurut Erna hal-hal terkait pengendalian konsumsi tembakau menjadi penting dan ada kaitannya dengan kebijakan pemerintah. Karena itu, dia mengusulkan untuk mendukung kebijakan pengendalian konsumsi tembakau secara proporsional.
“Terus terang kita tidak bisa berdiri sendiri. Kita mendukung kebijakan pengendalian konsumsi secara proporsional pada usia anak sekolah,” tegasnya.
Kemudian rokok pada perempuan dan ibu hami juga perlu diperhatikan. Dalam isu kesehatan seperti stunting, menurut Erna, ada kaitanya sehingga tidak boleh diabaikan.
Lalu terkait merokok di area publik, angkutan umum, Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan jawabannya.
“KTR yang kita sudah paham betul, mestinya menjadi pengetahuan dari masyarakat secara umum dan pemerintah atau pihak berwenang punya kesadaran ini,” pintanya.
Hal lain adalah tentang kesejahteraan petani tembakau, dimana kebijakan seharusnya mendukung kesejahteraan petani dan buruh tembakau lokal. Ketika kesejahteraan petani tembakau tak juga membaik, Erna mengusulkan agar DBH CHT seharusnya berorientasi terhadap petani tembakau, termasuk pembinaan industri kecil menengah (IKM) petani tembakau juga jadi prioritas .
“Ketika menanam komoditas lain diluar tembakau ternyata lebih menguntungkan, pemerintah harus mem-provide dan memberikan pendampingan kepada masyarakat, bahwa industri tembakau bukan satu-satunya,” terang Erna.
Hanya saja, tidak bisa dipungkiri bahwa ada petani yang melakukannya karena alasan ideologis, dan hal itu tetap dilihat apakah ada potensi lain yang bisa dilakukan. Pasalnya, menurut Erni, tembakau terkait erat dengan tenaga kerja, persaingan usaha, kebijakan cukai, dan simplifikasi tarif.
“Disisi lain, petani didaulat jadi sentral kebijakan dan prioritas utama industri tembakau,” katanya.
Erna juga mengingatkan soal keberpihakan dan keseimbangan antar stakeholder. Hal itu penting mengingat petani seharusnya mendapat informasi yang lebih banyak.
“Karena mereka dianggap satu-satunya yang menjadi tulang punggung industri tembakau,”katanya.
Terkait isu kesehatan, dimana peran pemerintah dan WHO sangat dominan, Erna mengusulkan perlunya dukungan pengendalian penyakit tidak menular (PTM) dan menghindari arus persaingan global antara industri farmasi dan industri tembakau.
“Ini tidak mudah tapi penting bagi kita untuk berbenah, termasuk memberikan masukan,” katanya.
Dan jangan lupa bahwa dukungan terhadap gerakan masyarakat sehat dan pola hidup bersih dan sehat (GERMAS, PHBS), Erna mengingatkan.
“Bahkan, kaitannya dengan industri tembakau. Kita harus mengatur kawasan tanpa asap rokok. Tidak hanya oleh pemerintah, namun juga bagi rumah tangga,” pungkasnya.
Berdasarkan UU No. 39/2007 tentang Cukai, 2 persen penghasilan cukai dialokasikan sebagai DBH CHT dengan ketentuan; 30 persen Provinsi penghasil, 30 persen kabupaten atau kota penghasil, dan 30 persen kabupaten atau kota sekitar, berdasarkan kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post