Jakarta, Prohealth.id – Penelitian tentang dampak Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau memberantas rokok ilegal ternyata belum optimal.
Menurut Krisna Puji Rahmayanti, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, dalam penelitian ini dia menemukan masyarakat sebenarnya sudah memiliki pengetahuan yang mendekati definisi dari rokok ilegal. Meski beberapa dari kelompok masyarakat masih mengangap rokok ilegal adalah industri rumahan saja. Nyatanya juga terdapat industri yang cukup besar dalam rokok ilegal ini.
Dia menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti di Kabupaten Jepara, Kudus, Malang, dan Pasuruan ini bahwa pada dasarnya definisi rokok ilegal yang dipahami oleh masyarakat sudah sejalan dengan apa yang tercantum dalam peraturan, mulai dari rokok tanpa pita cukai, pita cukai yang salah peruntukkannya, pita cukai bekas, pita cukai yang salah personalisasi, dan pita cukai palsu.
“Kendati demikian, masyarakat tetap mengonsumsi rokok ilegal dikarenakan harganya yang murah dengan rasa yang sama dengan rokok legal serta kemudahan akses untuk memperolehnya”, tutur Krisna dalam webinar bertajuk “Peningkatan Tarif Cukai dan Tantangan Pemberantasan Rokok Ilegal” sebagai diseminasi penelitian Evaluasi Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan Pajak Rokok Daerah untuk Pemberantasan Rokok Ilegal.
Tak hanya itu, Krisna menemukan ada beberapa motif dalam konsumsi rokok ilegal yang marak di Indonesia. Dia menyebut, motivasi masyarakat dalam penelitian ini menunjukkan alasan mereka untuk membeli rokok ilegal adalah karena harganya yang murah, pertimbangan rasa dan kemudahan diperolehnya.
Oleh karena itu, dengan kebijakan yang ada saat ini menurut Krisna menyebut hal itu sudah ideal. Misalnya, kebijakan melalui penindakan dan pendisiplinan di lapangan yang telah dikerjakan cukup baik oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Krisna menyebut, seharusnya pendanaan untuk tugas ini juga dapat ditopang okeh DBHCHT.
“Maka kenaikan cukai dan peningkatan DBHCHT juga dapat membantu upaya penindakan rokok ilegal ini,” terangnya.
Terkait dengan evaluasi DBHCHT untuk penanganan rokok ilegal sendiri, Krisna menyampaikan analisis kekuatan dan kelemahan, dimana kelebihan DBHCHT adalah persentase penegakan hukum yang meningkat pada PMK terbaru, adanya dukungan berbagai instransi dalam penegakan hukum dan sosialisasi rokok ilegal, serta perluasan kawasan industri hasil tembakau (KIHT) yang terbukti telah menekan peredaran rokok ilegal di Kabupaten Kudus.
Adapun beberapa kelemahannya adalah terkait sosialiasi, dimana jumlah sosialisasi masih terbatas dan belum efektif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama pada masa pandemi Covid-19 yang mengharuskan sosialisasi secara daring. Selain itu, kelemahan lainnya terkait dengan perpindahan kewenangan dari Satpol PP ke Bagian Berekonomian, dimana Bagian Perekonomian memiliki personil yang terbatas untuk penindakan.
Menanggapi hal tersebut, Edy Sutopo selaku Direktur Industri Hasil Minuman, Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian mengaku pihaknya mendukung upaya pemberatasan rokok ilegal, karena membuat pemerintah tidak ada pemasukan negara dan juga menambah masalah kesehatan akibat rokok.
Namun dia menyarankan untuk tidak melakukan penyederhanaan struktur cukai karena dikhawatirkan akan memberatkan industri dan berdampak pada peredaran rokok ilegal yang meningkat.Dia mengklaim, pendapatan APBN pada 2020 sebesar 14 persen diperoleh dari cukai dan pajak rokok. Simplifikasi tarif cukai sudah lama dilakukan, pada 2013 ada 13 layer, dan pada 2018 menjadi 10 layer.
“Hal ini dirasa sudah cukup, sehingga harus dipikirkan dengan matang mengenai simplifikasi tarif cukai,” tutur Edy.
Tak hanya itu, Edy juga turut merekomendasikan pemanfaatan DBHCHT untuk pembuatan sistem resi gudang tembakau dan mendorong ekspor tembakau.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post