Jakarta, Prohealth.id – Asupan makanan tidak berimbang ditambah kurangnya aktivitas tubuh akibat pembatasan mobilitas selama pandemi Covid-19 bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) menemukan sedikitnya 2 juta kematian manusia di dunia setiap tahunnya disebabkan karena minimnya aktivitas tubuh. WHO pun mengingatkan, gaya hidup sedentari bisa jadi salah satu dari 10 penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia.
Oleh karena itu, konsumsi karbohidrat yang berlebihan ditambah gaya hidup sedentari alias ‘gerak minimal, makan maksimal’, bakal memicu obesitas yang berpotensi menjadi penyakit serius seperti diabetes, penyakit jantung, hingga kanker.
Menurut dr. Alvi Muldani, dokter dan relawan di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) mengatakan faktor penyebab penyakit diabetes di Indonesia, di antaranya konsumsi kalori lebih besar dibandingkan kebutuhan dan kurangnya aktivitas tubuh seperti mengkonsumsi nasi berlebih namun tidak diiringi aktivitas fisik yang cukup.
Alvi mengingatkan selain memaksakan tubuh untuk bergerak minimal 30 menit sehari, penting unyuk mengurangi konsumsi karbohidrat juga dianjurkan oleh para pakar kesehatan.
“Bila dikonsumsi secara berlebihan, nasi bisa menaikkan kadar gula dalam tubuh yang kemudian memicu tubuh menjadi lebih cepat lelah dan terus merasa lapar,” jelasnya.
“Mengkonsumsi nasi berlebih bisa berkontribusi pada risiko diabetes. Selain itu, faktor lain yang juga berkontribusi pada diabetes seperti gaya hidup sedentari dan kegemukan,” terangnya melalui siaran pers, Selasa (21/12/2021).
Bukan hanya masalah kesehatan, konsumsi nasi yang berlebihan juga berarti mendorong produksi tanaman padi semakin besar. Akibatnya, bisa semakin banyak alih fungsi lahan dari hutan menjadi sawah, yang
dampaknya juga buruk bagi lingkungan hidup.
Dari segi nutrisi, Alvi mengingat nasi putih adalah sumber karbohidrat yang juga mengandung zat gizi mikro dan protein. Namun, ketika asupannya berlebih bisa meningkatkan risiko penyakit seperti obesitas dan resistensi insulin atau diabetes. Data International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-7 dunia sebagai negara dengan kasus diabetes terbanyak.
Berdasarkan data yang didapatkan orang yang mengonsumsi nasi 450g sehari di Bandung dibandingkan dengan yang mengkonsumsi 150g memiliki risiko 20 persen lebih besar untuk terkena diabetes. Indeks glikemik tinggi pada nasi menyebabkan kenaikan gula dalam darah lebih cepat sehingga memicu pengeluaran insulin, terlalu seringnya kadar insulin tubuh yang tinggi menyebabkan tubuh resisten terhadap insulin yang berakibat naiknya kadar gula dalam darah dikarenakan gula tidak diserap tubuh.
“Kebutuhan insulin yang semakin tinggi juga bisa membuat pancreas kelelahan sehingga lebih sedikit memproduksi insulin dan berakibat bertambah tingginya kadar gula dalam darah,” kata dr. Alvi.
Selain itu, dr. Alvi Muldani juga mengatakan pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi membuat aktivitas fisik masyarakat menurun sehingga bisa meningkatkan risiko obesitas dan akhirnya meningkatkan risiko diabetes.
“Ada data yang menunjukkan bahwa makanan-makanan yang indeks glikemiknya tinggi cenderung lebih mudah cepat lelah karena gula dalam darah cepat naik tinggi. kemudian cepat turun lagi,” jelasnya.
Sebaliknya, kalau Anda mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik lebih rendah atau sedang, justru tubuh tidak mudah lelah karena gula diedarkan ke pembuluh darah secara perlahan dan dipakai dengan lebih efisien.
Dia pun berpandangan Indonesia memiliki ragam karbohidrat yang lebih minim risiko terhadap diabetes selain nasi putih, yang umumnya dikonsumsi kebanyakan orang Indonesia. Konsumsi nasi putih sebenarnya bagus saja selama dibatasi dan diselingi dengan jenis karbohidrat lain.
Seperti misalnya nasi merah dengan serat lebih baik, memiliki indeks glikemik lebih rendah dari nasi putih. Selain jenis beras, beberapa sumber karbohidrat dengan indeks glikemik rendah dan mengandung banyak serat antara lain sagu, kentang utuh, kacang-kacangan, dan sayurmayur.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post