Diskriminasi terhadap orang asli Papua yang dilakukan pemerintah daerah dan pusat. Daerah hunian orang asli Papua memiliki lebih sedikit pusat kesehatan masyarakat dan sekolah.
Peneliti Senior HRW Andreas Harsono, Human Rights Watch (HRW) menyatakan rasisme ini tak terselesaikan di Indonesia. Pemerintah lebih menyukai pendatang untuk mengisi pekerjaan di pemerintahan. Baik sebagai guru, perawat, di kepolisian, atau militer. Sementara orang asli Papua yang tinggal di daerah lain di Indonesia menghadapi diskriminasi dan rasisme. Terutama dalam memperoleh akses ke pekerjaan, pendidikan, atau perumahan.
“Rasisme dan diskriminasi terhadap orang Papua selama puluhan tahun baru mendapat perhatian pihak berwenang Indonesia setelah unjuk rasa meluas tahun 2019,” ucapnya di Jakarta pada Kamis, 19 September 2024 lalu.
Dalam laporan “Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?”: Diskriminasi dan Pelanggaran terhadap Orang Asli Papua di Indonesia” HRW menemukan unjuk rasa dengan hashtag #PapuanLivesMatter berpusat pada pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua. Seperti pengingkaran hak atas kesehatan dan pendidikan serta seruan damai untuk kedaulatan bagi Papua Barat. Sebab itu merupakan tempat tinggal sebagian besar orang asli Papua. Laporan ini juga memuat kasus-kasus aktivis Papua yang mendapat hukuman karena peran mereka dalam unjuk rasa dan tuduhan tak berdasar terhadap mereka.
Andreas menambahkan bahwa pemerintah semestinya menindaklanjuti berbagai rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan mengizinkan pemantau internasional dan wartawan asing untuk mengunjungi wilayah tersebut.
HRW melakukan 49 wawancara mendalam antara bulan Juni 2023 hingga Mei 2024 dengan aktivis Papua yang ditangkap dan dituntut setelah gerakan Papuan Lives Matter. Selain itu mewawancarai sejumlah pengacara, akademisi, pejabat, dan pemimpin gereja.
Gerakan Papuan Lives Matter terinspirasi protes Black Lives Matter di Amerika Serikat. Hal ini akibat penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 17 Agustus 2019 yang dilakukan beberapa tentara Indonesia dan gerombolan ultranasionalis. Cuplikan rekaman video penyerangan tersebut memuat hinaan rasial dibagikan secara luas di media sosial.
Unjuk rasa pecah setidaknya 33 kota di Indonesia. Sebagian besar berlangsung damai meskipun di beberapa tempat terjadi bentrokan antarwarga, pembakaran, dan bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Polisi dan militer Indonesia menggunakan kekerasan yang berlebihan dan menangkap banyak pengunjuk rasa. Terutama aparat mengincar siapa pun yang mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan Papua sebagai kegiatan ilegal di Indonesia.
Papuans Behind Bars, situs web yang memantau penangkapan dengan motivasi politik di Papua Barat, mencatat lebih dari 1.000 penangkapan pada tahun 2019, dan 418 penangkapan antara Oktober 2020 hingga September 2021. Setidaknya 245 orang mendapat hukuman atas berbagai tuduhan kejahatan, termasuk 109 orang karena pasal makar.
Dewan Perwakilan Rakyat pada Juni 2022 mengesahkan undang-undang kontroversial yang memekarkan wilayah dua provinsi, Papua dan Papua Barat, menjadi enam provinsi. Ada dugaan pembentukan provinsi baru ini akan mendatangkan lebih banyak warga non Papua. Akibatnya mengurangi proporsi orang asli Papua yang tinggal di tanah mereka sendiri. Pihak berwenang Indonesia telah mendorong dan mensubsidi puluhan ribu keluarga non Papua, alias pendatang, untuk pindah ke Papua Barat melalui program transmigrasi selama puluhan tahun. Sering kali ini mengusir orang asli Papua dan merampas tanah milik mereka untuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Dosen Universitas Papua di Manokwari yang memimpin penelitian tentang pendidikan di Papua Barat, Agus Sumule, mencatat tingkat kehadiran orang asli Papua di sekolah yang jauh lebih rendah di daerah pegunungan. Tidak ada satu pun perguruan tinggi keguruan di Pegunungan Tengah di mana hampir semua penduduknya adalah orang asli Papua.
“Kalau bukan rasisme, saya harus menyebutnya apa?”
Sementara dokter di Rumah Sakit Umum Wamena sejak 2009, Maria Louisa Rumateray, menyebutkan para pendatang lebih bisa mendapatkan pekerjaan ketimbang orang asli Papua.
Ia menyatakan bahwa tenaga medis lokal yang telah menempuh pendidikan sebagai perawat mengalami kesulitan untuk melamar pekerjaan di Wamena. Ini karena mereka harus mengambil sertifikasi standar baik di Jayapura atau Makassar.
“Mereka tidak punya uang untuk terbang ke kota-kota tersebut. Oleh karena itu, pekerjaan tersebut jatuh ke tangan para pendatang. Sebelum ada sertifikasi, rumah sakit saya punya lebih banyak tenaga kerja orang asli Papua daripada pendatang. Namun, sekarang justru sebaliknya.”
Human Rights Watch juga menemukan polisi dan tentara sering menyiksa dan menganiaya aktivis Papua dengan makian rasis. Video yang tersebar pada awal 2024 di media sosial menunjukkan tiga tentara memukuli pemuda Papua, Definus Kogoya. Tangannya diikat di belakang dan memasukkan Definus ke dalam drum berisi air sambil melontarkan makian rasis. Kekerasan antara militan pro kemerdekaan Papua dan pasukan keamanan Indonesia juga menjadi penyebab memburuknya situasi HAM di Papua Barat.
Banyak orang yang menaruh harapan akan adanya reformasi HAM di Papua Barat ketika Joko Widodo terpilih sebagai presiden pada tahun 2014. Namun tak banyak yang berubah di Papua ketika sepuluh tahun menjabat. Sementara pemerintahan baru Prabowo Subianto Djojohadikusumo mulai Oktober 2024.
Menurut Human Rights Watch, semestinya pemerintah segera meninjau sejumlah kebijakan yang berlaku di Papua Barat. Misalnya mengakui dan mengakhiri sejarah rasisme sistematis pemerintah terhadap orang asli Papua. Selain itu juga meminta pertanggungjawaban dari mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak-hak orang Papua.
Indonesia ikut terlibat dalam perjanjian hak asasi manusia internasional yang penting, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD). Semua perjanjian ini melarang diskriminasi berdasarkan antara lain rasial, etnis, dan agama. Di antara standar-standar utama adalah Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang mengakui hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk otonomi atau pemerintahan sendiri dalam urusan internal atau lokal mereka.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post