Jakarta, Prohealth.id – Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad dalam pengantar buku “Fikih Tembakau, Kebijakan Produk Tembakau Alternatif di Indonesia” mengatakan kehidupan warga Nahdlatul Ulama sangat akrab dengan tembakau.
Bukan saja karena banyak warga NU yang merokok, namun tidak sedikit yang kehidupan ekonominya bergantung pada tembakau, baik pada sektor pertanian tembakau maupun tenaga kerja yang bekerja di pabrik-pabrik tembakau.
“Singkatnya, jutaan orang NU hidupnya bergantung dengan tembakau. Karena itu, kebijakan apapun yang dilakukan pemerintah terhadap persoalan tembakau, baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada kehidupan warga NU,” katanya.
Laporan yang dihasilkan Lakpesdam PBNU itu, menurut Rumadi, dilakukan berbasis riset dan penting untuk dibaca, terutama bagi mereka yang memiliki perhatian terhadap tembakau dan produk turunannya.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dalam pengantarnya mengingatkan tentang masifnya perkembangan teknologi di berbagai sektor kehidupan. Tidak terkecuali inovasi dalam produk tembakau.
Itu sebabnya, dia menilai perkembangan produk tembakau alternatif dari perspektif fikih sangat diperlukan karena memiliki dampak besar terhadap bangsa Indonesia dan kaum muslimin.
“Produk tembakau alternatif telah tersedia di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Jepang dan negara-negara lain di Eropa, begitu juga dengan negara muslim seperti Palestina dan Kazakhstan telah menyediakan produk tembakau alternatif yang diyakini bisa mengurangi resiko bagi kesehatan,” katanya.
Selanjutnya, Said Aqil berharap pemerintah dapat melakukan kajian-kajian serupa mengenai produk tembakau alternatif sebagai bahan dalam merumuskan kebijakan. Sebab, kebijakan yang dicetuskan pemerintah harus mengedepankan konsep kemaslahatan publik sebagaimana tertuang dalam kaidah tasharruful imam ‘ala ar-ra’iyah manuthun bil mashlahat.
“Hal tersebut sejalan dengan keinginan pemerintah yang ingin memajukan kehidupan bangsa melalui pemanfaatan inovasi dan teknologi guna meningkatkan serta memodernisasi sektor ekonomi, pertanian serta industri,” katanya.
Senada dengan itu, Rumadi mengatakan, tembakau sudah menjadi industri yang mendatangkan pendapatan besar bagi negara. Indonesia juga menjadi pasar rokok yang luar biasa. Bukan hanya industri rokok dalam negeri, tapi juga banyak sekali perusahaan rokok dari berbagai negara yang beroperasi di sini.
Namun karena dilema antara devisa dan kesehatan, berbagai negara, termasuk Indonesia, menerapkan kebijakan pengendalian tembakau. Di samping melokalisir tempat-tempat merokok, cara konvensional yang dilakukan pemerintah adalah dengan menaikkan cukai.
Menaikkan cukai, menurut Rumadi akan membawa dampak ganda. Di satu sisi pendapatan negara terus bertambah, disisi lain, akses masyarakat terhadap rokok diasumsikan menurun karena harganya semakin mahal.
Di tengah kuatnya framing bahwa rokok merupakan sebagai sumber segala penyakit, industri tembakau melakukan terobosan dengan membuat produk tembakau alternatif yang dianggap bisa mengurangi resiko kesehatan.
“Produknya beragam, ada vape hingga produk rokok yang tidak dibakar tapi dipanaskan. Produk alternatif ini sekarang sedang berkembang. Sebagian sudah masuk ke pasar, sebagian lagi masih wait and see,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, manajer komunikasi Komnas Pengendalian Tembakau (PT) Nina Samidi mengatakan, pemerintah perlu waspada terhadap masuknya produk baru tembakau yang berpotensi menambah beban penyakit pada masyarakat.
“Kami mencoba mengingatkan pemerintah mengenai produk baru itu. Harapannya, pemerintah akan merespons dan dengan cepat membuat peraturan,” katanya.
Saat itu, Komnas PT merekomendasikan total pelarangan, mengingat beban akibat rokok konvensional sangat besar. Namun yang terjadi, alih-alih membuat peraturan yang ketat terhadap produk baru tersebut, pemerintah justru menerima investasi dari industri tembakau yang ingin memasarkan produk rokok elektroniknya di Indonesia.
“Ini sangat mengecewakan, karena sepertinya pemerintah hanya terbuka untuk industri, tidak pernah membuka telinganya untuk rekomendasi terhadap kesehatan masyarakat,” ujar Nina.
Ketika Menteri Perdagangan Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa Philip Morris Internasional (PMI) ingin berinvestasi di Indonesia dan akhirnya memberi investasi yang cukup besar, hal itu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Nina.
“Orang indonesia harus siap-siap, setelah ini akan ada badai jenis penyakit baru, atau beban penyakit kesehatan yang baru akibat rokok elektronik, yang seperti diberi karpet merah di Indonesia,” katanya
Nina menambahkan, “Jadi tidak ada pengaturan yang versusnya adalah keberpihakan pada kesehatan masyarakat.”
Program Manager Lentera Anak Nahla Jovial Nisa juga mengeluhkan hal serupa. Menurutnya, masyarakat belum mengetahui apa isi rokok elektronik, dan hal itu sengaja dilakukan dengan pemahaman semu bahwa produk tembakau alternatif jauh lebih baik ketimbang rokok konvensional.
“Ini yang disebut post truth, dimana kita disuguhi dengan kebenaran semu padahal isinya adalah nikotin, zat adiktif yang menghasilkan candu,” katanya.
Ketika Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan produk tersebut tidak aman dan tidak memberikan rekomendasi terkait penggunaannya, maka klaim-klaim yang muncul sangat menyesatkan.
Lalu harus dipastikan, apakah ada korelasinya dengan industri rokok. Oleh karena itu perlu kehati-hatian dan Nahla mengatakan, lebih baik menganggap produk tersebut tidak aman. “Ini sekaligus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, mengacu pada UU Perlindungan Anak,” ujarnya.
Nahla mengingatkan bahwa jumlah anak saat ini sepertiga dari jumlah total populasi di Indonesia. Adapun prevalensi perokok anak terus meningkat. Pada tahun 2016 tercatat sebesar 1,2 persen dan di tahun 2018 naik menjadi 10,2 persen berdasarkan Riskedas 2018.
“Ini memberikan gambaran semakin banyak anak-anak yang menggunakan rokok elektronik, sebagaimana survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS),” katanya.
Sementara itu, survei keterpaparan iklan rokok elektronik pada perokok anak yang dilakukan Lentera Anak pada tahun ini memperlihatkan bahwa 83 anak dari total 180 orang merupakan perokok konvensional.
“Artinya, 46,1 persennya adalah perokok anak dual user, yaitu perokok konvensional dan merokok elektronik,” katanya.
Ini sekaligus membuktikan bahwa anak-anak telah mencoba rokok elektronik. Sebanyak 73,5 persen anak mampu menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan rokok elektrik.
“Anak-anak itu bahkan menyampaikan pengetahuan yang bersifat superficial, bahwa merokok elektronik jauh lebih aman, supaya mereka bisa berhenti dan sebagainya,” terang Nahla.
Anak-anak juga mengetahui nama-nama merk rokok elektrik. Tiga merk rokok elektronik yang paling diketahui mereka adalah Vod sebanyak 34 persen, Vgood 25 persen, dan Vinci 10 persen.
Ketika rokok elektronik yang merupakan produk tembakau alternatif di klaim hanya untuk penduduk berusia 21 tahun keatas, dan bukan bagi anak-anak, ternyata mereka bisa mengenalinya dengan mudah.
“Padahal ada banyak sekali merknya. Dan kita tidak tahu, anak-anak ini tahu dari mana merk-merk itu,” ujarnya.
Bertolak belakang dengan kekhawatiran para aktivis pengendalian tembakau, Rumadi justru menekankan bahwa riset mereka untuk melihat persoalan produk tembakau alternatif dengan memberi penekanan pada aspek regulasi, meskipun persoalan sosial keagamaan juga disinggung.
Uniknya, Lakpesdam PBNU secara terang-terangan mengucapkan terimakasih atas dukungan finansial yang diberikan oleh PT HM Sampoerna Tbk, termasuk dukungan dari Asosiasi Pengguna Vape terhadap Focus Group Discussion yang digelar untuk menyukseskan riset tersebut.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post