Perjalanan advokasi pengendalian tembakau dalam hal menaikkan cukai rokok selalu dibenturkan dengan kesejahteraan petani tembakau dan buruh pabrik rokok. Padahal dalam lembar kebijakan yang dibuat oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada tahun 2021 menunjukkan perekonomian Indonesia tetap dapat berdampak positif baik dari sisi pengurangan konsumsi rokok, lapangan kerja dan penerimaan negara meski dengan kenaikan cukai hingga 45 persen.
Pendiri CISDI Diah Suminarsih memaparkan hasil penelitian CISDI terkait pengendalian tembakau dalam kurun waktu tiga tahun terakhir menunjukkan rokok menjadi penyebab beban ekonomi negara hingga mencapai Rp27,7 triliun bagi sistem kesehatan dan program Jaminan Kesehatan Sosial (JKN). Selain itu, adanya pandemi COVID-19 dengan keadaan ekonomi yang sulit juga nyatanya tidak menurunkan konsumsi rokok dan justru menjadi belanja primer kedua rumah tangga di Indonesia.
“Kajian yang kami kerjakan di tahun 2022 mengungkap bagaimana tingginya konsumsi rokok di tingkat rumah tangga yang menyebabkan efek kemiskinan. Telah ditemukan bahwa ternyata ada tambahan 87,7 triliun jiwa penduduk miskin akibat belanja rokok dalam rumah tangga. Meningkatnya jumlah penduduk miskin karena belanja rokok ini juga secara langsung menambah beban biaya kesehatan untuk mengobati yang sakit karena merokok dan menambah beban biaya rumah tangga,” ungkap Diah dalam sambutannya pada acara premier Film Dokumenter CISDI: Di Balik Satu Batang pada Kamis, 24 November 2022.
Dalam riset CISDI tersebut juga diungkapkan bahwa aktivitas merokok menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Kematian akibat penyakit terkait rokok juga setidaknya telah mencapai 21 persen dari total penyakit kronis di Indonesia. Dengan jumlah perokok di usia muda yang terus naik, penelitian menyebut pada masa depan biaya kesehatan akan semakin membesar.
Lebih lanjut, penelitian CISDI juga mengungkap tentang alokasi dana maksimum untuk kesehatan yang bersumber dari Pajak Rokok Daerah dan Dana Bagi Hasil Tembakau (DBHCHT) yang hanya mencapai 7,4 triliun rupiah, tidak cukup menanggung beban biaya kesehatan akibat rokok yang mencapai Rp27,7 triliun.
Meski begitu, Diah mengatakan kenaikan cukai rokok tetap saja diisukan dengan narasi dampak buruk yang akan menimpa petani tembakau dan buruh pabrik rokok. Sehingga dengan dibuatnya film dokumenter oleh CISDI yang menampilkan fakta lapangan dengan mendatangi langsung pekerja ekosistem tembakau yaitu brand presenter rokok, buruh, dan petani tembakau dapat menyanggah narasi dampak buruk kenaikan cukai rokok.
Petani tembakau tidak permasalahkan kenaikan cukai rokok
Berbeda dengan narasi yang kerap kali ramai diisukan ketika pemerintah menaikkan cukai rokok, petani tembakau justru mengaku kenaikan cukai rokok tidak berdampak baik maupun buruk bagi mereka. Hal itu karena petani tembakau tidak dapat menentukan sendiri harga tembakau hasil panennya.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh petani tembakau yang kini memilih menjadi petani multikultur asal Klaten, Yogyakarta, Sukiman mengatakan masyarakat dalam kelompok taninya sudah tidak banyak lagi yang menanam tembakau. Faktor cuaca yang tidak menentu serta tata niaga dalam perdagangan tembakau yang belum baik menjadi faktor utama para petani tembakau sulit menempuh kesejahteraan. Sehingga kenaikan cukai pada produk hasil tembakau bukan merupakan masalah bagi petani tembakau.
“Karena kalau di tempat saya itu memang masih bisa dibilang petani tambakau tapi sudah tidak banyak sehingga adanya kenaikan cukai itu gak ngaruh, yang ngaruh itu ketika ada permainan tentang bagaimana perdagangan tembakau ini. Jadi harga rokok naik harga tembakau cuma segitu, harga rokok turun juga tembakau tetap segitu. Jadi kira-kira turun ikut turun, naik gak ikut naik, nah itu yg dirasakan petaninya. Makanya kalau cukai naik silahkan aja gak begitu pengaruh,” ungkap Sukiman kepada Prohealth.id saat menghadiri acara premiere Film Dokumenter CISDI: Di Balik Satu Batang di XXI Metropole, Kamis, 24 November 2022.
Sejalan dengan Sukiman, petani tembakau yang kini juga menjadi petani multikultur Istanto, asal Magelang mengungkapkan dalam siaran pers CISDI bahwa para petani tembakau merasa bingung dengan cukai rokok yang terus dinaikkan, namun tidak ada yang berubah dari harga tembakau mereka. Menurutnya, dengan adanya kenaikan cukai pada rokok seharusnya dapat menjadi kesejahteraan juga bagi para petani tembakau. Sehingga dalam hal ini terdapat kesenjangan kesejahteraan yang begitu terasa antara petani dan industri.
Sama halnya dengan petani, kenyataan yang dirasakan oleh buruh rokok sendiri tentang isu kenaikan cukai rokok ini juga tidak berdampak apapun pada mereka. Hal itu sebagaimana yang terungkap dalam Film Dokumenter CISDI: Di Balik Satu Batang, yang mengangkat kisah salah seorang buruh pabrik rokok.
Dalam keterangannya yang tanpa mengungkap identitasnya, ia mengatakan bahwa statusnya sebagai karyawan tetap selama 18 tahun bekerja di pabrik rokok tidak membuatnya memiliki jenjang karir karena ia hanya menerima upah 17 ribu per 1000 batang selama ia bekerja.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa ia tidak menerima asuransi kesehatan ataupun BPJS Ketenagakerjaan dari pabrik rokok tempat ia bekerja, melainkan hanya diberi tunjangan sebesar 10 persen dari biaya pengobatan yang diperlukan saat mereka sakit.
“Kalau sakit, ya dapat, sepuluh persen dari pabrik untuk berobat. Itu juga alhamdulillah masih dapat, karena kan kalau karyawan tidak tetap itu gak dapat,” ungkap buruh pabrik rokok dikutip dalam Film Dokumenter CISDI: Di Balik Satu Batang.
Sedangkan menurut Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Julius Ibrani terdapat hak berupa jaminan yang wajib diberikan kepada pekerja, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial: ‘Bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.’
“Ada risiko pada tempat kerja. Ada hak berupa jaminan dan itu wajib salah satunya BPJS, itu tidak bisa dihindarkan. Tidak mendaftar BPJS atau sengaja tidak mendaftarkan sehingga tidak membayar iuran BPJS itu pidana,” ujar Julius dikutip dari Film Dokumenter CISDI: Di Balik Satu Batang.
Sementara itu, Chief Strategist CISDI Yuridhina Meilissa menyatakan, segala realita yang ditampilkan dalam film yang ternyata sangat jauh berbeda dengan narasi-narasi buruk tentang dampak naiknya cukai rokok terhadap petani tembakau dan buruh telah menjadi kajian CISDI sejak tahun 2015-2016 dan tidak ada yang berubah sampai sekarang.
“Semua yang ditampilkan di sini (film) tuh udah kami baca dari 2015-2016. Dan tidak ada yang berubah sampai sekarang. Jadi, bayangin ya, dari 2016 itu tadi ya, cukai naik turun. Kadang naik, kadang turun, tapi petani ya sama saja. Jadi emang gak ada ngaruhnya sama sekali. Nah, mudah-mudahan ini menjadi awal yang baik untuk kemudian kita bisa membuka mata pemerintah bahwa yuk, kita bantu mengawal pemerintah untuk memastikan DBHCHT benar sampai ke petaninya karena untuk mencapai hal itu perlu dibangun akuntabilitas sosialnya kalau kemudian instrumen pemerintahnya gak bisa terjamin akuntabilitasnya,” ujar Meilissa dalam sesi diskusi pada premiere Film Dokumenter CISDI: Di Balik Satu Batang.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post