Jakarta, Prohealth.id – Pada awal Agustus 2025, pemerintah dari seluruh dunia bertemu di Jenewa untuk merundingkan perjanjian internasional baru. Tujuannya untuk mengatasi polusi plastik dalam pertemuan kedua putaran kelima perundingan (INC-5.2).
Setelah diskusi alot di Busan, Korea Selatan pada November 2024, sesi ini targetnya akan menghasilkan naskah akhir. Di antara sumber polusi yang menjadi pembahasan, puntung rokok merupakan kontributor utama yang seringkali terabaikan. Organisasi masyarakat sipil menyerukan larangan global terhadap filter berbahan dasar plastik beracun ini.
Setiap tahun, ada 4,5 triliun puntung rokok terbuang ke lingkungan di seluruh dunia. Ini setara dengan 460 miliar puntung di Asia Tenggara. Meskipun ukurannya kecil, filter ini memiliki jejak lingkungan yang sangat besar. Filter ini terbuat dari selulosa asetat, plastik yang terurai perlahan menjadi mikroplastik berbahaya. Puntung rokok juga mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia termasuk nikotin dan logam berat beracun yang dapat meresap ke dalam tanah dan saluran air, merusak ekosistem dan satwa liar.
Penipuan sistematis: Mengapa filter rokok berbahaya bagi kesehatan?
Jadi, industri tembakau memperkenalkan filter pada tahun 1950-an untuk meredakan kekhawatiran publik tentang kanker paru-paru. Namun, filter tidak hanya tidak efektif dalam melindungi kesehatan. Sebaliknya malah menyebabkan kerusakan lingkungan. Para ahli memperingatkan bahwa filter menciptakan rasa aman yang palsu. Kenyataannya, filter mendorong inhalasi yang lebih dalam dan meningkatkan penyerapan zat beracun ke dalam paru-paru.
Dunia bernegosiasi: Filter tidak boleh dilupakan
Negara-negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkumpul di Jenewa dari tanggal 5 hingga 14 Agustus untuk menyelesaikan perjanjian plastik global. Mulai dari harus ada penanganan filter rokok plastik. Kegagalan untuk menyertakan filter, akan membuat salah satu plastik sekali pakai paling tersebar luas tidak tersentuh. Kelompok advokasi bersikeras bahwa semua filter apapun bahannya harus dimasukkan dalam larangan tersebut.

Di kawasan ASEAN, Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEATCA) menuntut akuntabilitas pemerintah atas dampak negatif tembakau yang tidak hanya membahayakan kesehatan masyarakat, tetapi juga keselamatan dan kerusakan lingkungan.
Baru-baru ini opini SEATCA menyoroti bagaimana negosiasi akhir ini dapat mengarahkan kawasan ASEAN untuk membalikkan krisis polusi plastik atau terus membayar sekitar US$10 miliar untuk membersihkan polusi dari filter rokok beracun. Tidak ada jalan Tengah. Artinya, negara-negara ASEAN harus berkomitmen secara adil, bernegosiasi dan mencapai keputusan untuk masa depan yang bebas plastik dan filter.
Waspada Solusi Palsu: Larang semua jenis filter
Rancangan perjanjian ini bertujuan untuk menghilangkan plastik sekali pakai. Banyak alternatif ramah lingkungan sudah tersedia untuk produk sehari-hari seperti sedotan dan kantong plastik. Namun, untuk filter rokok, belum ada alternatif yang berkelanjutan.
Industri tembakau kini memasarkan apa yang disebut “eco-filter” dan “puntung rokok hijau”, yang terbuat dari kertas atau serat tumbuhan, sebagai produk yang dapat terurai secara hayati. Produk-produk ini menyesatkan. Mereka masih melepaskan tar, nikotin, dan logam berat ke lingkungan, dan seringkali hanya terurai dalam kondisi pengomposan industri, kondisi yang jarang ditemukan di alam.
Taktik greenwashing ini tidak boleh menipu para negosiator: perjanjian tersebut harus mencakup larangan menyeluruh terhadap semua jenis filter rokok, bukan hanya yang berbahan plastik.
ASEAN: Gambaran kecil regional, cerminan global
Puntung rokok adalah sampah yang paling sering dibuang sembarangan di dunia. Setiap perjanjian plastik global harus selaras dengan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO (FCTC), yang secara eksplisit menyerukan tindakan terhadap kerusakan lingkungan akibat produk tembakau dan perlindungan dari campur tangan industri. Filter rokok tidak boleh hanya diperlakukan sebagai sampah ini adalah komponen produk tembakau yang terbukti memiliki risiko lingkungan dan kesehatan.
Mary Assunta, Penasihat Kebijakan Senior SEATCA menegaskan, filter rokok harus disingkirkan. Industri tembakau harus bertanggung jawab, tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap kesehatan masyarakat tetapi juga atas kerusakan lingkungan selama ini.
“Kami mendesak negara-negara anggota ASEAN dan dunia. Para pembuat kebijakan untuk melakukan hal yang benar, demi rakyat dan planet ini,” katanya.
Di seluruh ASEAN, 460 miliar puntung rokok tetap menjadi salah satu bentuk sampah plastik paling umum, diperburuk oleh klaim “filter ramah lingkungan” yang menyesatkan dari industri tembakau. Meskipun tujuh negara anggota ASEAN, Brunei, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, memiliki kebijakan untuk mengurangi plastik sekali pakai, filter rokok justru diabaikan dan terabaikan karena celah regulasi.
Setiap negara anggota ASEAN kecuali Indonesia merupakan pihak dalam WHO FCTC, yang berarti mereka telah berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah terhadap campur tangan industri tembakau dan dampak buruknya. Termasuk kontribusinya terhadap krisis sampah plastik. Dengan tingginya sampah rokok di tengah kebijakan yang telah ditetapkan untuk mengurangi sampah plastik, taruhannya tinggi bagi negara-negara anggota ASEAN untuk memiliki sikap yang bersatu.
SEATCA menyerukan tindakan-tindakan berikut dalam negosiasi akhir INC-5.2. Pertama, larangan global untuk semua filter. Semua filter rokok, termasuk yang disebut versi “eco” atau biodegradable harus dilarang berdasarkan perjanjian ini. Filter merupakan komponen produk tembakau yang berbahaya dan harus diperlakukan seperti itu.
Kedua, menerapkan prinsip pencemar membayar. Produsen tembakau harus bertanggung jawab secara finansial atas pencemaran dan pembersihan filter.
Ketiga, tidak ada greenwashing: Perjanjian ini harus memuat rujukan eksplisit kepada FCTC, menolak pengaruh industri apa pun, dan memastikan keselarasan yang konsisten antara kebijakan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Keempat, kesadaran dan penegakan hukum publik yang independent. Pemerintah harus meluncurkan kampanye kesadaran publik yang bebas dari industri. Selain itu, menegakkan sistem pengumpulan dan pembuangan wajib untuk limbah produk tembakau.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post