Asap mengepul dan abu bertaburan dari rokok yang dibakar. Demikian adegan dominan yang menghiasi drama serial Netflix “Gadis Kretek”.
Film ini digarap dua sutradara, Kamila Andini dan Ifa Isfansyah, yang diangkat dari novel Ratih Kumala dengan judul yang sama.
“Gadis Kretek” berlatar tahun 60-an ketika industri rokok kretek yang merupakan bisnis keluarga mencapai masa kejayaannya sehingga menciptakan persaingan yang sengit.
Pada masa itu sumber informasi sangat terbatas sehingga mempunyai tantangan kesehatan tersendiri.
Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia pada 1965 ikut ditampilkan di “Gadis Kretek” sebagai bagian dari persaingan yang sengit antar industri rokok kretek.
Sejumlah aktor dan aktris membintangi “Gadis Kretek”. Seperti Dian Sastrowardoyo yang berperan sebagai Dasiyah, Ario Bayu sebagai Soeraja, Putri Marino sebagai Arum, Arya Saloka sebagai Lebas, Rukman Rosadi sebagai Idroes Moeria, dan Sha Ine Febriyanti sebagai Roemaisa.
“Gadis Kretek” banyak menampilkan seputar industri tembakau tetapi ada pengakuan bahwa merokok adalah kebiasaan buruk yang merugikan kesehatan masyarakat.
“Aku benci banget sama rokok. Rokok itu membuat penyakit,” demikian diungkapkan Arum pada Lebas dalam salah satu dialog.
Mencoba Menampilkan Citra Feminin
Buruh perempuan di industri rokok kretek hadir dalam film ini. Citra feminin dipromosikan melalui gambaran perempuan merokok sebagai bentuk pembuktian identitas setara dengan laki-laki. Tetapi hal tersebut justru memperburuk ketimpangan gender dalam kesehatan.
Menurut Beladenta Amalia seperti dikutip dari The Conversation, ‘perlawanan dengan merokok’ di kalangan perempuan kelas bawah harus dibayar dengan banyaknya perempuan yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan akibat konsumsi rokok. Karena rokok mengalihkan pendapatan rumah tangga yang seharusnya dibelanjakan untuk kebutuhan nutrisi dan pendidikan. Selain itu rokok menawan melalui strategi iklan dan pemasaran masif yang menyesatkan.
Sedangkan adiksi nikotin yang terkandung pada rokok membuat perempuan lebih rentan. Beban peranan dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat mengakibatkan perempuan lebih cenderung memakai rokok sebagai strategi mengatasi stress dibandingkan laki-laki.
Tidak Boleh Dilakukan di Sembarang Tempat
Adegan merokok tampil dominan di “Gadis Kretek”. Kegiatan ini dilakukan di sembarang tempat sehingga seolah-olah itu merupakan hak asasi. Namun hal itu sebenarnya tidak tepat kalau dikatakan sebagai hak asasi.
“Yang tepat adalah merokok itu merupakan hak. Antara hak asasi dengan hak itu berbeda. Levelnya tentu lebih tinggi asasi,” terang Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi seperti disitat dari pemberitaan Prohealth.
Terlindungi atau terbebas dari paparan asap rokok di tempat umum atau tempat kerja merupakan hak asasi. Sejumlah negara sudah sampai pada tingkat rumah bebas asap rokok. Jika ada yang merokok maka dia keluar rumah untuk melindungi anggota keluarganya dari paparan asap rokok.
“Merokok itu hanya hak yang tidak boleh sembarangan diimplementasikan atau dilakukan di sembarang tempat,” ungkap Tulus.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post