Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan dukacita atas meninggalnya anak-anak korban gagal ginjal akut. “Semoga orang tua para korban diberi ketabahan dan masyarakat tetap menerapkan pola hidup sehat,” tulis tim YLBHI melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Rabu (26/10/2022).
Sampai dengan Rabu, 26 Oktober 2022, YLBHI memantau perkembangan lonjakan kasus akibat ‘Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal’ yang saat ini menurut data Kementerian Kesehatan telah dialami 206 anak serta telah merenggut 99 nyawa anak di Indonesia.
“Dengan ini kami menghimbau kepada negara untuk melaksanakan tugas konstitusionalnya dengan memaksimalkan sumber daya secara maksimum untuk menjamin keselamatan warga negara atas peristiwa ini.”
YLBHI mengingatkan agar pemerintah mesti berkaca pada peristiwa pandemi Covid-19, lambannya respon pemerintah yang telah menelan banyak korban. Sama halnya dengan kasus gangguan ginjal akut, jika Pemerintah tidak sungguh-sungguh menangani kasus ini maka tidak menutup kemungkinan peristiwa kelam Pandemi Covid-19 kembali terulang.
“Berdasarkan hasil penelusuran media yang kami lakukan, kasus gagal ginjal akut ini mulai muncul sejak bulan Juli 2022. Namun sayangnya pemerintah, baru merespon di akhir Oktober 2022,” terang mereka.
Dalam hal ini, YLBHI menilai pemerintah lambat merespon kasus tersebut sehingga situasi ini membahayakan keberlangsungan hidup bagi anak. YLBHI juga mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian agar penanganannya tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya terhadap anak. Oleh karena korban dalam kasus ini adalah kategori anak sebagai kelompok rentan, maka penanganannya harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 Jo. Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 Jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang PERPPU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002 (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), dinyatakan bahwa: “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Dan setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang…….”
Sementara itu, respon Kemenkes melalui surat edaran kepada seluruh layanan fasilitas kesehatan untuk tidak meresepkan obat dalam bentuk cair/sirup tanpa menyiapkan alternatif obat justru berpotensi melanggar hak-hak kesehatan bagi anak berupa hilangnya akses memperoleh obat-obatan.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Academic Health System Dorong SDM Bidang Kesehatan
Dalam situasi ini, pemerintah seharusnya mengambil langkah perlindungan komprehensif bagi anak, yang meliputi pencegahan yang efektif dengan tidak sebatas larangan namun juga menyiapkan alternatif obat, melakukan rehabilitasi terhadap korban anak yang terindikasi mengalami dampak, memposisikan kasus ini sebagai prioritas dengan memaksimalkan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan.
Tidak kalah penting, pemerintah agar memaksimalkan peran serta masyarakat dalam penanganan kasus ini oleh karena tanggung jawab terhadap perlindungan anak bukan hanya di tangan pemerintah, melainkan ada pada orang tua, keluarga dan masyarakat.
Ketentuan Pasal 44 Ayat (1) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa: “Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.” Hal yang sama juga diatur dalam ketentuan Pasal 15, 16 dan 17 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Di sisi lain, kami menyayangkan lemahnya fungsi pengawasan dari Pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pemerintah berdasarkan kewenangannya perlu segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan farmasi produsen dan penyedia jenis obat cair/sirup yang diduga mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).”
Jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, maka pemerintah harus mengambil tindakan tegas berupa tindakan administratif pencabutan izin sementara atau izin tetap sesuai ketentuan Pasal 188 Ayat (3) UU Kesehatan dan diteruskan ke tahap Pro Justitia berdasarkan ketentuan Pasal 196 UU Kesehatan, yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”
Asal tahu saja, pada konferensi pers yang diselenggarakan Kemenkes tanggal 21 Oktober 2022 mengenai Perkembangan Penanganan Gangguan Ginjal Akut di Indonesia, telah diinformasikan 102 (seratus dua) produk obat yang digunakan pasien. Pasalnya, BPOM telah melakukan penelusuran data registrasi terhadap seluruh produk obat bentuk sirup dan drops. Dari penelusuran tersebut, diperoleh data sejumlah 133 sirup obat yang tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol sehingga aman sepanjang digunakan sesuai aturan pakai.
BPOM yang melakukan penelusuran data registrasi untuk memastikan kandungan bahan yang digunakan pada 102 produk obat. Hasilnya; 23 produk tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol, aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai; 7 produk telah dilakukan pengujian dengan hasil dinyatakan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai; 3 produk telah dilakukan pengujian dan dinyatakan mengandung cemaran EG/DEG melebihi ambang batas aman. Ketiga produk ini termasuk dalam 5 produk yang telah diumumkan pada penjelasan BPOM tanggal 20 Oktober 2022.
Baca Juga: Pemerintah Dorong Distribusi dan Digitalisasi Farmasi
Respon lamban pemerintah
Berkaca dari dinamika yang masih bergulir, YLBHI mengingatkan keluarga korban juga dapat menuntut ganti rugi materiil maupun non-materiil terhadap perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup dan kepada Pemerintah karena kelalaiannya melakukan pengawasan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara.
Sejak kasus ini terjadi, BPOM masih melakukan sampling dan pengujian terhadap 69 produk. Melalui siaran persnya, BPOM menyampaikan tengah melakukan intensifikasi surveilans mutu berbasis risiko, sampling, dan pengujian untuk memastikan seluruh produk yang beredar di pasaran tidak mengandung cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas aman.
Berdasarkan hasil pengujian sampai dengan 23 Oktober 2022, terdapat 13 sirup obat (21 bets) dengan hasil dinyatakan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai.
Terhadap produk yang dinyatakan kandungan cemaran EG melebihi ambang batas aman antara lain; Termorex Sirup, Flurin DMP Sirup, Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops. BPOM melakukan intensifikasi sampling dan pengujian untuk semua produk sirup yang diproduksi oleh industri farmasi yang sama, termasuk produk yang sama dengan bets yang berbeda. Untuk sampel produk lainnya akan disampaikan kepada masyarakat setelah diperoleh hasil pengujian.
BPOM pun secara berkesinambungan melaksanakan patroli siber (cyber patrol) pada platform situs, media sosial, dan e-commerce untuk menelusuri penjualan produk yang dinyatakan tidak aman. Maklum saja, sampai 21 Oktober 2022 lalu BPOM telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) untuk melakukan penurunan (takedown) konten terhadap 4922 tautan yang teridentifikasi melakukan penjualan sirup obat yang dinyatakan tidak aman.
Saat ini, BPOM melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) di seluruh Indonesia terus mengawal proses penarikan dari peredaran terhadap sirup obat mengandung cemaran EG/DEG yang melebihi ambang batas aman. BPOM mendorong tenaga kesehatan dan industri farmasi untuk terus aktif melaporkan efek samping obat atau kejadian tidak diinginkan pasca penggunaan obat kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional melalui aplikasi e-MESO Mobile.
Baca Juga: Masalah Kesehatan Jiwa Jadi Tugas Pemerintah Pusat Sampai Pemda
Merespon temuan BPOM, Kemenkes mengumumkan kepada tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan dapat meresepkan 156 obat dengan sediaan cair/sirup. Hal ini tertuang dalam Surat Plt. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan No. SR.01.05/III/3461/2022 tanggal 18 Oktober 2022, tentang Petunjuk Penggunaan Obat Sediaan Cair/ Sirup pada Anak dalam rangka Pencegahan Peningkatan Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA)/(Atypical Progressive Acute Kidney Injury).
Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. M Syahril menyatakan, obat-obatan ini dipastikan tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol, dan aman sepanjang digunakan sesuai aturan pakai.
“Jenis obat yang boleh digunakan sesuai dengan rekomendasi Badan POM” jelas dr. Syahril.
Tenaga Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat meresepkan atau memberikan obat dalam bentuk sediaan cair/sirup berdasarkan pengumuman dari BPOM RI terhadap 133 jenis obat pada lampiran 1 , dan 23 merk obat pada lampiran 2.
Tenaga kesehatan juga dapat meresepkan atau memberikan obat, yang sulit digantikan dengan sediaan lain sebagaimana tercantum dalam lampiran 2 sampai didapatkan hasil pengujian dan diumumkan oleh BPOM RI.
“12 merk obat yang mengandung zat aktif asam valporat, sidenafil, dan kloralhidrat dapat digunakan, tentunya pemanfaatannya harus melalui monitoring terapi oleh tenaga kesehatan” tambah dr. Syahril
Apotek dan toko obat dapat menjual bebas dan/atau bebas terbatas kepada masyarakat sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 dan lampiran 2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dia menambahkan, dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, dan fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan pengawasan dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan penggunaan obat sirup sesuai dengan kewenangan masing-masing.
“Kementerian kesehatan RI akan mengeluarkan surat pemberitahuan kembali setelah diperoleh hasil pengujian Badan POM RI atas jenis obat obatan sirup lainnya” tambahnya.
Sejumlah langkah taktis yang dikerjakan saat ini menurut YLBHI belum sempurna dan masih membutuhkan banyak upaya ekstra. Oleh karena itu, YLBHI masih mendesak pemerintah untuk melakukan beberapa hal urgen.
Pertama, segera mengambil tindakan perlindungan yang komprehensif berupa pencegahan efektif, rehabilitasi korban yang terindikasi mengalami dampak, memprioritaskan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan untuk kasus ini serta melibatkan peran serta orang tua, keluarga dan masyarakat.
Kedua, pemerintah segera menyiapkan alternatif obat bagi anak selain obat sirup/cair.
Ketiga, segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup yang diduga mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Selanjutnya: Komitmen Kesehatan Tak Jelas, Pemerintah Buka Lebar Peluang Produksi Rokok Elektrik
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post