Jakarta, Prohealth.id – Pemerintah Indonesia sedang berusaha untuk mencapai target global dalam kesepakatan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, atau Sustainable Development Goals (SDG) yang salah satunya wajib memastikan kesehatan masyarakat.
Rafendi Djamin selaku Senior Advisor Human Rights Working Group (HRWG) menjelaskan dalam webinar bertajuk ‘Melanjutkan Kembali Kebijakan Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Tembakau’ bahwa ha katas kesehatan adalah hak asasi manusia (HAM). Salah satu hak atas kesehatan bersifat individu dan komunal adalah hak kesehatan yang hanya bisa dicapai dengan pengendalian zat adiktif, salah satunya tembakau.
Dia memerinci, negara bertugas untuk mencegah penyebaran epidemi tembakau, melindungi masyarakat dari pemasaran rokok agar tidak mengancam kesehatan publik, dan membuat kebijakan yang memastikan pemberian layanan kesehatan bagi masyarakat.
“Ini semua tercantum dalam realisasi progresif HAM dimana pemerintah punya standar paling minimum untuk mencapai target global. Hal ini diberlakukan karena setiap negara punya kemampuan yang berbeda,” terang Rafendi, Rabu (21/7/2021).
Dia menegaskan, Indonesia punya aturan yang baik, salah satunya dengan UU Kesehatan dna ada pula rumusan turunan dalam Peraturan Menteri. Semua kebijakan yang dirumuskan pemerintah Indonesia selama ini pun sudah mengacu standar global. Namun indikator kesuksesan adalah cara negara mengimplementasikan aturan tersebut.
Dia merumuskan, pada level global untuk mengendalikan tembakau dan mendorong kesehatan publik ada FCTC atau Framework Convention on Tobacco Control dari WHO. Komitmen konvensi FCTC ini memang belum memiliki mekanisme kontrol yang ketat. Meski demikian masih ada sejumlah konvensi atau komite yang bersifat normatif untuk mendorong kesehatan public melalui pengendalian tembakau.
“Ada ICESR sebagai komite pemantauan sosial ekonomi budaya, ada CEDAW untuk memantau kekerasan terhadap perempuan, ada juga CRC sebagai komitmen perlindungan anak dan perempuan,” tuturnya.
Dengan serangkaian perangkat hukum, norma, dan etik mendorong HAM, Rafendi menegaskan Indonesia juga memiliki tanggung jawab moral di tingkat global mengendalikan tembakau. Hal ini kian nyata dalam rumusan SDG dan UN Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGP).
“Indonesia jelas ada tanggung jawab pada SGD dan UNGP. Spesifik dasar pelaksanaan pengendalian tembakau pada Pasal 12 Konvensi HAM PBB. Dimana disebut, kegagalan untuk mengurangi pemasaran dan konsumsi tembakau menjadi bagian dari pelanggaran kewajiban untuk melihat implikasi HAM dari tembakau,” jelas Rafendi.
Indonesia memang secara normatif telah menunjukkan komitmen melalui RPJMN 2020-2024, dan Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2020. Dua komitmen yuridis tersebut adalah strategi nasional untuk merumuskan kebijakan pengendalian tembakau yang komprehensif, proporsional, dan berkeadilan.
“Ini memang sudah bagus. Namun jadi sia-sia kalau kementerian terkait gak rumuskan dalam renstra mereka masing-masing untuk melaksanakan strategi nasional,” terang Rafendi.
Dia pun memastikan jika pemerintah berani mengambil langkah strategi menaikkan cukai rokok sekitar 10 persen secara berkala, maka 4-7 persen perokok akan turun, khususnya dari kalangan anak dan remaja yang belum memiliki pendapatan sendiri.
Rafendi pun meyakini, dengan pemberlakuan dan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT), lalu simplifikasi sistem tarif CHT, maka konsumsi rokok akan menurun dan meningkatkan penerimaan negara. Hal ini diungkapkan dalam skenario yang dirancang oleh Bappenas, bahwa kenaikan tarif CHT minimal 20 persen dengan penyederhanaan struktur tarif menjadi 3-5 strata bisa menaikkan penerimaan negara.
Selain itu, jika instrumen hukum ini gagal dilakukan, maka prevalensi perokok anak yang pada 2018 bahkan mencapai 9,1 persen akan menjadi 15,95 persen pada 2030. Akibatnya, Indonesia dianggap gagal mencapai target SGD yakni mengurangi sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular. Sebaliknya jika tarif CHT naik dengan simplifikasi, maka prevalensi perokok anak masih bisa turun sampai 8,7 persen pada 2024.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post