Jakarta, Prohealth.id – Hingga kini belum ada terapi yang mampu menyembuhkan Alzheimer. Padahal, Alzheimer adalah jenis demensia terbanyak di dunia.
Menurut dr. Yeni Quinta Mondiani, dosen Fakultas Kedokteran IPB University, kita bisa menekan risiko penyakit ini melalui pola hidup sehat. Dalam peringatan Hari Alzheimer Sedunia, dr. Yeni mengungkapkan bahwa Alzheimer merupakan jenis demensia terbanyak secara global. Jumlahnya mencapai 60–80 persen dari seluruh kasus demensia.
“Demensia sendiri merupakan kumpulan gejala penurunan kognitif yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas kesehariannya,” jelasnya melalui siaran pers, Sabtu (27/9/2025).
Fungsi kognitif tidak hanya mencakup memori, tetapi juga atensi. Ada juga kemampuan visuospatial yakni mengenali bagian tubuh, bahasa, hingga fungsi eksekutif yang berhubungan dengan pengambilan keputusan.
Selain Alzheimer, jenis demensia terbanyak kedua adalah demensia vascular. Jenis demensia ini berhubungan dengan gangguan pembuluh darah di otak, salah satunya akibat stroke.
Ia menambahkan, demensia Alzheimer umumnya muncul pada usia di atas 65 tahun. Selain itu, prevalensi lebih tinggi di negara maju. Penyebab utamanya adalah penumpukan protein abnormal di otak, yaitu beta amyloid. Pada kasus tertentu, mutasi gen dapat memicu early onset Alzheimer atau demensia dini sebelum usia 65 tahun.
“Gejalanya meliputi penurunan fungsi kognitif yang didahului oleh penurunan daya ingat berat. Pada akhirnya, seluruh fungsi intelektual pasien terganggu hingga kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari. Alzheimer umumnya muncul perlahan dan bertambah berat seiring usia,” paparnya.
Hingga saat ini, belum ada pengobatan yang mampu menyembuhkan Alzheimer. Namun, dr Yeni menekankan bahwa risiko bisa ditekan dengan pola hidup sehat. Misalnya; tetap aktif bergerak, mengelola stres, menghindari rokok dan alcohol. Selain itu juga mengontrol faktor risiko vaskular seperti diabetes dan hipertensi.
“Gaya hidup sehat adalah langkah nyata untuk menurunkan risiko demensia Alzheimer. Pencegahan jauh lebih baik daripada menunggu saat fungsi kognitif sudah menurun,” pungkasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post