Jakarta, Prohealth.id — Pada 2022 International Food Information Council (IFIC) mengadakan Survei Makanan dan Kesehatan terhadap Gen Z.
Survei itu mengungkap, lima puluh persen Gen Z mengatakan bahwa pilihan makanan dan minuman mereka memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap lingkungan.
Salah satu yang punya dampak baik terhadap lingkungan adalah bahan pangan organik. Apalagi, praktik pertaniannya tidak merusak lingkungan. Produk organik punya klaim mempunyai sertifikasi dan label tersendiri. Inilah yang membuat harga suatu bahan pangan jadi melonjak.
“Kalau ingin bahan pangan yang sehat dan murah, tanam sendiri saja,” ujar Jaqualine Wijaya, CEO dan Co-founder Eathink, Selasa (14/1/2025).
Sistem yang sedang hangat saat ini adalah agroekologi, yang meniru sistem agroforestry. Di dalam satu kawasan hutan terdapat berbagai jenis tanaman. Dengan sendirinya ekosistem di situ akan terbangun.
“Contohnya, hewan apa yang seharusnya bermunculan serta tumbuhan yang ditanam untuk mencegah hama, sehingga tidak perlu menggunakan pestisida yang mengganggu ekosistem,” kata Jaqualine.
Secara sederhana, praktik bercocok tanam ini juga bisa di rumah. Seandainya Anda memiliki kebun kecil di rumah, tanamlah dengan berbagai jenis tanaman. Konsep agroekologi ini tak memerlukan halaman yang luas.
“Hanya saja, ada penerapan sejumlah prinsip penting. Salah satunya tidak memakai pupuk kimia yang berpotensi merusak tanah dan menurunkan produksi hasil kebun.”
Salah satu tujuan agroekologi adalah menjaga biodiversitas. Jaqualine mengingatkan, saat ini sebagian orang Indonesia cenderung mengonsumsi satu jenis pangan pokok. Meski memiliki keberagaman sumber pangan lokal lain, konsumsi beras 13-46 kali lebih banyak dibandingkan jenis lain.
“Kita perlu menerapkan keragaman dalam piring kita agar biodiversitas terjaga,” kata Jaqualine.
Processed Food Tak Selalu Salah
Seto Nurseto selaku Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, menyebutkan, setiap kelompok masyarakat mempunyai cara sendiri dalam mengolah makanan sesuai pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki. Dalam konteks budaya, itulah proses terbaik di daerah tersebut.
Dari sumber daya yang berlimpah, masyarakatnya akan membuat olahan untuk menambah usia penyimpanan makanan. Misalnya, olahan fermentasi mandai di Banjarmasin. Mandai terbuat dari kulit cempedak yang difermentasi untuk menambah umur simpan.
“Mereka juga mempunyai suplai ikan air tawar yang melimpah, sehingga mengembangkan olahan fermentasi iwak makasam,” kata Seto.
Khoirul menambahkan, masyarakat Indonesia memiliki beragam budaya makan dengan berbagai proses pemasakan makanan. Ia menegaskan, proses pengolahan makanan memang bisa menurunkan zat gizi, walaupun sebenarnya dapat menambahkan zat gizi yang hilang.
“Bicara soal proses fermentasi, kandungan gizi dalam makanan hasil fermentasi masih bagus. Namun, ketika makanan fermentasi itu diolah lagi dengan cara digoreng, kandungan gizinya jadi berbeda. Walaupun, bahan pangannya sama,” ungkap Seto.
Oleh karena itu, processed food tidak selalu salah. Karena memproses makanan sebenarnya merupakan bagian dari kebutuhan untuk memperpanjang daya simpan suatu makanan.
“Yang menjadi masalah adalah kita terpapar oleh beragam processed food dengan berbagai karakter berbeda. Kita harus punya awareness yang tinggi dalam memilah makanan yang aman dan bergizi.”
Banyak orang berpendapat bahwa sebaiknya orang memasak makanannya sendiri. Namun bagi Khoirul, pada kenyataannya tidak semua orang punya waktu yang cukup untuk memasak. Memasak bukan hanya urusan memproses bahan makanan saja. Proses memasak mulai dari belanja, menyimpan bahan, mempersiapkan bahan, memasak, hingga menyimpan makanan yang berlebih.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post