Jakarta, Prohealth.id – Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menilai usulan anggota DPR RI Nasim Khan agar PT KAI menyediakan gerbong khusus merokok di kereta jarak jauh sebagai salah satu ide sembrono.
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Dirut PT KAI, Nasim berargumen bahwa gerbong rokok akan “menguntungkan” dan “bermanfaat” bagi perusahaan. Padahal, di tengah krisis kesehatan akibat rokok dan upaya panjang membangun transportasi publik yang sehat dan modern, wacana ini bukan hanya keliru, tetapi juga mengkhianati akal sehat, regulasi, serta komitmen pelayanan publik yang sudah terbukti berjalan.
“Usulan gerbong khusus merokok di kereta adalah kemunduran kebijakan. Merokok di ruang publik melanggar hak dasar atas udara bersih. Alih-alih memberi ruang untuk merokok, pemerintah seharusnya memperkuat layanan berhenti merokok dan melindungi transportasi publik sebagai kawasan tanpa rokok.” tegas Manik Marganamahendra, Ketua IYCTC melalui siaran pers, Kamis (21/8/2025).
Sejak 2012, PT KAI sudah menetapkan seluruh rangkaian kereta sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dengan sanksi tegas berupa penurunan penumpang bagi yang melanggar. Aturan ini sejalan dengan PP No. 28/2024 dan UU Kesehatan No. 17/2023, yang menyebut transportasi umum sebagai KTR. Artinya, KAI justru menjadi pelopor transportasi sehat. Menghidupkan kembali gerbong khusus merokok adalah langkah mundur yang menghancurkan reputasi baik yang telah dibangun sejak era Bapak Ignasius Jonan, ketika reformasi KAI dijalankan dengan visi modernisasi, keselamatan, dan kenyamanan publik.
Manik menekankan bahwa kita juga harus belajar dari tragedi yang pernah terjadi. Pada 1973, pesawat Varig 820 jatuh karena puntung rokok, menewaskan 123 orang. Baru setelah itu dunia melarang rokok di penerbangan. Tahun ini, publik Indonesia juga dikejutkan dengan kasus penumpang yang nge-vape di kabin pesawat Garuda, hingga meresahkan penumpang lain.
Kasus serupa juga kerap ditemui di peron stasiun, di mana masih banyaknya aktivitas merokok di area peron, sehingga partikulat rokok menempel di baju penumpang lain, termasuk anak-anak dan lansia, lalu terbawa masuk ke dalam gerbong.
Manik menegaskan, membiarkan rokok di ruang transportasi umum adalah bom waktu. Sejarah sudah membuktikan bahwa tragedi bisa terjadi hanya karena puntung rokok. DPR seharusnya belajar dari sejarah, bukan mengulang kebodohan. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok di Indonesia sudah sangat nyata.
Berdasarkan studi Soewarta Kosen, pada tahun 2015, kerugian ekonomi akibat rokok diperkirakan mencapai hampir Rp600 triliun, yang lebih dari empat kali lipat nilai cukai rokok yang diterima negara pada tahun yang sama.
“Oleh karena itu, menambah gerbong khusus untuk merokok di kereta hanya akan menambah beban negara, bukan memberikan keuntungan.” pungkas Manik.
Manik juga menyampaikan bahwa di tingkat internasional sekalipun, tidak ada praktik baik menyediakan ruang khusus merokok. Sebagai contoh yang sekelas Jepang saja, awalnya menyediakan ruang khusus merokok di Shinkansen sudah menghapus total ruang khusus merokoknya sejak 2024. Hal ini juga sejalan dengan kesadaran hidup sehat masyarakat Jepang.
“Bapak Nasim Khan bukan hanya ketinggalan kereta tapi juga ketinggalan zaman dan pemikiran yang maju” tambahnya. Ia mengingatkan bahwa sampai saat ini tak ada yang bisa dijadikan acuan saat ini untuk gerbong khusus merokok.
Senada dengan Manik, Advocacy Officer IYCTC, Daniel Beltsazar Jacob menekankan bahwa dampaknya juga akan langsung membebani PT KAI. Daniel menyebut dari sisi operasional, kalau gerbong rokok itu sampai diakomodir, justru akan menambah cost bagi KAI. Membersihkan residu asap dan puntung rokok di ruang tertutup bukan pekerjaan sederhana. Kursi, dinding, lantai, hingga sistem pendingin harus disterilisasi rutin.
Biaya perawatan melonjak, umur peralatan jadi lebih pendek. Selain itu, KAI harus mengeluarkan anggaran tambahan hanya untuk melayani adiksi, bukan pelayanan publik.
“Ujungnya, beban ini bisa berujung ke penumpang lewat kenaikan tarif, atau ke negara lewat subsidi.” lanjut Daniel.
Lebih jauh, eksternalitas kesehatan publik jauh lebih mengerikan. Setiap tahun, biaya yang harus ditanggung negara akibat rokok mencapai triliunan rupiah. Ditambah lagi, dari sisi lingkungan rokok adalah penyumbang emisi karbon sekaligus limbah puntung beracun yang mencemari tanah dan air.
Dari sisi keselamatan, asap bisa memicu kebakaran atau gangguan sistem ventilasi kereta. Tak hanya itu, dari sisi kesehatan ancaman thirdhand smoke tetap berbahaya bahkan setelah penumpang turun. Dan yang paling penting, ini mencederai hak anak, lansia, dan penumpang rentan atas transportasi yang aman dan nyaman.
Menanggapi usulan ini, Nalsali Ginting, Pengurus Harian IYCTC , kembali menegaskan, transportasi publik harusnya mencerminkan kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya. Jika KAI dapat merancang kereta untuk pedagang dan petani demi mendukung ekonomi masyarakat, maka menciptakan gerbong khusus rokok jelas tidak memiliki urgensi sosial.
“Itu hanya sekadar mengakomodasi adiksi, bukan kebutuhan rakyat. DPR seharusnya tidak membandingkan layanan yang mendorong produktivitas dengan layanan yang memperparah ketergantungan.”
Usulan gerbong rokok bukan hanya tindakan gegabah, tetapi juga langkah yang berbahaya. Alih-alih keuntungan, yang kita hadapi adalah ancaman besar, kerugian ekonomi, kesehatan, lingkungan, dan reputasi bangsa.
IYCTC dengan tegas menolak ide ini dan mendesak DPR untuk mengutamakan akal sehat dan komitmen terhadap regulasi yang berpihak pada masyarakat. Kebijakan publik harus didasarkan pada data yang objektif, kesehatan masyarakat, dan masa depan generasi mendatang, bukan untuk melanggengkan kepentingan industri yang hanya mencari untung.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post