Jakarta, Prohealth.id – Aktivitas trending di media sosial memudahkan naiknya popularitas sebuah menu masakan.
Beberapa sebab viral dari suatu jenis makanan adalah tampilannya menggoda dan antreannya panjang. Tidaklah aneh kalau seseorang jadi ingin ikut membeli. Apakah Anda termasuk gemar berburu makanan atau minuman yang sedang viral? Ternyata, kesadaran akan makan sehat bukan berarti tidak boleh menjajal makanan viral.
Khoirul Anwar, selaku dosen Program Studi Gizi, Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan, Universitas Sahid Jakarta menyatakan jangan merasa bersalah mencicipi makanan baru. Pasalnya, keinginan untuk mencoba makanan baru tidak masalah. Dengan begitu, seseorang malah jadi tahu dan tidak penasaran. Positifnya, setelah mencoba, seseorang jadi tidak menyalahkan makanan apa pun.
“Kita cenderung menyalahkan, karena tidak tahu. Tapi, ada negatifnya juga, kalau mencobanya terlalu banyak dan jadi kebablasan,” kata Khoirul melalui siaran pers, Selasa (14/1/2025).
Ia justru menyarankan agar seseorang mulai menyusun jadwal khusus untuk mencicip makanan baru. Misalnya, satu atau dua kali dalam satu minggu. Tujuannya untuk memuaskan rasa penasaran. Jika sudah melihat dan mencicipi, seseorang bisa mengidentifikasi plus dan minus dari makanan tersebut. Sehingga kemudian bisa memutuskan apakah makanan tersebut baik bagi tubuh.
Jaqualine Wijaya, CEO dan Co-founder Eathink menegaskan, tidak ada makanan yang benar-benar salah, kecuali konsumsinya berlebihan. Karena itu, penting menerapkan panduan SELARAS yakni; Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, dan Sadar.
“Artinya, kalau siang tadi sudah mengonsumsi makanan viral sarat gula, sore hari sebaiknya tidak lagi ngemil makanan yang bergula juga.”
Sejalan dengan Jaqualine, Khoirul menjelaskan, aspek Seimbang itu memang sangat penting. “Tidak ada ada satu jenis makanan pun yang bisa memenuhi semua kebutuhan gizi kita.”
Pilihan Makanan Terdekat
Banyaknya bacaan rekomendasi bahan makanan dari sumber informasi luar negeri, maka pangan bergizi tinggi yang umum bagi publik antara lain salmon dan whole grain.
“Padahal, whole grain tidak menjadi produk utama di Indonesia. Kita juga bukan penghasil utama ikan salmon. Tetapi kita kaya akan banyak jenis ikan di Indonesia selain salmon,” kata Khoirul.
Ia menjelaskan, ketika berbicara soal kacang-kacangan, orang akan berpikir tentang almond. Sementara itu, kacang hijau yang harganya murah mempunyai nilai gizi yang tinggi.
“Hanya saja, orang memilih almond karena lebih bergengsi. Bahan pangan pengganti yang setara itu banyak. Masalahnya, ketika orang tidak terpapar terhadap bahan tersebut, maka dia tidak tahu bahwa makanan itu ada.”
Seto Nurseto, finalis Masterchef Indonesia dan Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, menjelaskan, makan merupakan bentuk adaptasi manusia untuk bertahan hidup. Akibatnya, sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan di setiap daerah di Indonesia.
Ia mencontohkan, konsumsi ayam pada masyarakat di kepulauan akan lebih sedikit daripada konsumsi hasil laut. Artinya, setiap daerah akan mengembangkan makanan dari komoditas lokal mereka.
Ia menjelaskan tradisi dan kepercayaan juga memengaruhi makanan apa yang boleh dan tidak boleh dalam suatu kelompok masyarakat. Misalnya, satu daerah melarang konsumsi sidat, karena mereka beranggapan bahwa sidat merupakan kerabat jauh mereka. Ada juga yang menganggap sidat adalah hewan keramat yang hidup di mata air, sehingga harus dijaga dengan baik.
“Padahal, sidat mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi,” kata Seto, yang secara khusus juga mengajar bidang kajian makanan dan kebudayaan.
Terkait pangan lokal, Khoirul menambahkan bahwa kelokalan bisa berdasarkan komoditas setempat. Sebutlah, daerah Bogor punya kacang bogor. Hal tersebut menjadi nilai positif, karena masyarakat Bogor memanfaatkan potensi pangan di daerahnya.
“Kelokalan juga terkait budaya, yaitu dalam bentuk makanan khas. Inilah yang biasanya dimaksimalkan oleh setiap daerah.”
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post