Jakarta, Prohealth.id – Penerima bantuan sosial dalam bentuk uang tunai diduga sangat rentan menggunakan dana tersebut untuk membeli rokok ketimbang bahan pokok.
Dilansir dari temuan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) pada 2019 lalu, penerima bantuan sosial yang merokok punya kondisi ekonomi yang lebih rendah dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial yang tidak merokok. Kondisi ini juga berimbas pada pasokan bahan pokok dan gizi anggota keluarga. Akibat merokok, keluarga penerima bansos ini tidak mampu mengakses lebih banyak makanan bergizi, akses pendidikan, dan kesehatan yang seharusnya mendorong pembangunan manusia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengafirmasi hal itu melalui rilis data pengeluaran konsumsi per kapita penduduk Indonesia sepanjang tahun 2020. BPS menegaskan berdasarkan data Susenas 2020, rata-rata pengeluaran per kapita orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke selama sebulan adalah sebesar Rp1,2 juta. Data itu pun memerinci pengeluaran untuk membeli rokok dan produk tembakau lebih besar yakni 5,99 persen daripada belanja untuk makanan pokok, dalam hal ini beras sebesar 5,45 persen.
Menurut Communication & Advocacy Coordinator for Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Iman Mahaputra Zein, tanpa bansos saja rokok masih dapat terbeli oleh masyarakat. Apalagi jika disertai dengan bansos. Artinya, ada peran dari lembaga negara lain yang penting untuk mengendalikan tembakau.
Hal ini menandakan bansos memang bukan perkara yang mudah diselesaikan untuk mewujudkan perlindungan sosial yang efektif. Distribusi dan implementasi bansos sangat tergantung dari peran dan tugas kementerian lain yang belum tuntas. Salah satunya, peran dari kementerian yang berkaitan dengan tata kelola niaga dan ekonomi yang belum selesai seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Perindustrian.
“Kami [CISDI] menilai beban kesehatan saat ini semakin besar, karena harga rokok masih murah dan konsumsinya tinggi,” ujar Imam dalam sebuah acara IG Live pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia akhir Mei lalu.
Media Officer Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Ni Made Shellasih menambahkan, bansos selama pandemic memang menjadi jaring pengaman bagi masyarakat. Secara umum tujuan ini memang positif untuk meningkatkan konsumsi keluarga dan mengungkit ekonomi Indonesia. Namun senada dengan Iman, dia menilai dana bansos sebagai jaminan sosial tetaplah belum efektif menjamin kesehatan publik.
Shella beralasan, dana bansos yang diterima keluarga perokok akhirnya menggantikan dana belanja pokok yang membuat keluarga ini lebih rentan sakit. Pasalnya, keluarga yang menerima bansos dan tetap merokok memiliki kandungan kalori, protein, dan karbohidrat yang lebih rendah dalam tubuh mereka.
“Anak-anak dalam keluarga ini lebih rentan sakit, putus sekolah, atau jenjang pendidikannya jadi lebih rendah. Mereka yang punya anak di bawah 15 tahun pun jadi lebih cepat sakit,” jelasnya.
Dia membeberkan PKJS UI memang menemukan dari beberpa informan dalam proses penelitian, Ketika keluarga sedang krisis ekonomi, bapak atau suami sebagai kepala keluarga ternyata tetap mementingkan rokok ketimbang barang pokok. Temuan di wilayah Malang dan Kediri ini juga menjelaskan umumnya uang dari dana bansos ini sudah dipotong duluan oleh sang ayah sebelum diberikan kepada istri untuk berbelanja bahan pokok.
“Sebagian dari mereka pun bahkan mengaku lebih baik berhutang daripada tidak merokok. Ini sangat memprihatinkan,” tegas Shella.
KENDALIKAN KONSUMSI LEWAT CUKAI
Oleh sebab itu Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Hasan menyatakan masa pandemi ini adalah momen yang tepat untuk mendorong ekonomi yang sehat dan berkualitas. Artinya, dana bansos perlu didistribusikan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat. Selain itu menjadi penting bagi pemerintah segera mendorong kebijakan yang menjamin masyarakat lebih sehat dan produktif.
“Masyarakat yang sehat, tidak akan meningkatkan beban biaya pengobatan, oleh sebab itu jangan mengasihani industri rokok,” ungkap Abdillah.
Dalam waktu dekat dia masih mengusulkan agar cukai rokok harus dinaikkan guna menurunkan konsumsi rokok. Dengan begitu penerimaan negara bisa ikut terkerek naik. Dia mengingatkan terbukti pada 2019 ketika tak ada kenaikan cukai rokok, produksi rokok meloncat sampai 7,3 persen.
“Jika perokok berkurang, masyarakat sehat, maka beban jaminan kesehatan akan berkurang. Bahkan, tambahan penerimaan dari cukai ini bisa ikut membantu menutup defisit JKN,” tegasnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post