Jakarta, Prohealth.id – Hak kesehatan reproduksi dan seksual ternyata belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Prohealth.id, Senin (3/1/2022), ada 12 hak kesehatan reproduksi dan seksual yang seharusnya diketahui para perempuan di Indonesia. Berikut adalah hak-hak dasar tersebut yakni; hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan keamanan, hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, hak atas kerahasiaan pribadi, hak atas kebebasan berpikir, hak mendapatkan informasi dan pendidikan, hak menikah atau tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga, hak memutuskan punya anak atau tidak dan kapan, hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan, hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan, hak atas kebebasan berkumpul dan partisipasi politik, dan hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.
Menurut Anggota DPR RI Komisi IX dari Fraksi Partai Gerindra, drg. Putih Sari, sosialisasi dari Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKRS) selama ini sudah dilakukan masif di tingkat Puskesmas dan dipimpin langsung oleh Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
“Artinya hak reproduksi perempuan dari aksesibilitas layanan kesehatan jadi hak, tetapi edukasi dan sosialisasi masyarakat tak kalah penting. Dalam hal ini kami dorong melalui BKKBN karena ini lembaga yang selama ini terkait dengan pembinaan keluarga. Kami dorong mereka untuk hak kesehatan reproduksi untuk edukasi dan informasi,” ujar Putih Sari kepada Prohealth.id dalam wawancara eksklusif masalah kesehatan masyarakat, Jumat (17/12/2021) lalu.
Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dr (H.C). dr. Hasto Wardoyo, SpOG (K), dalam webinar peringatan Hari Kependudukan Dunia 2021 (World Population Day 2021) mengatakan, HKRS ini sangat terdampak sejak pandemi Covid-19. Dia menjelaskan bahwa pandemi telah mempengaruhi sistem edukasi dan sosialisas. Dalam hal ini, dari sisi makro yang sangat berdampak pada lingkungan kecil atau sistem mikro yang terdampak adalah keluarga.
“Perubahan besar harus dihadapi keluarga mulai dari sektor pendidikan anak harus belajar dari rumah, sektor ekonomi harus bekerja dari rumah dan banyak yang pendapatannya terhenti karena harus berhenti bekerja, kesehatan juga sangat sentral terpengaruh karena layanan-layanan tidak bisa optimal,” ungkapnya.
Anjali Sen, Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia, mengatakan urgensi masyarakat untuk mendatangi fasilitas pelayanan Keluarga Berencana (KB) dimasa pandemic memang menurun sehingga masyarakat yang ikut dalam program KB pun ikut menurun. “Sebelum pandemi hanya 45 persen perempuan yang datang dengan keinginan sendiri untuk mengakses pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi untuk menggunakan kontrasepsi”, tambah Anjali Sen.
Dihubungi terpisah, Anggota DPR RI Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar, Dewi Asmara menambahkan, BKKBN sebagai pelaksana fungsi kesehatan memang bertugas untuk menjamin akses dan peningkatan kesehatan reproduksi perempuan. Oleh karena itu untuk memudahkan akses dan pembiayaan, Dewi mengusulkan agar para peserta BPJS dengan PBI ketika melahirkan dan punya anak, ketika anak tersebut lahir secara otomatis juga masuk dalam PBI. Dengan demikian, upaya preventif dan penanggulangan kesehatan ibu dan anak menjadi komprehensif.
“Ketika nanti anaknya sakit, harus lagi mengurus anaknya sendiri. Harusnya peserta BPJS, otomatis langsung PBI. Tapi kalau kontrasepsinya tentunya dengan PBI, kalau dia juga di BKKBN, itu kan ada lagi, dan itu disediakan oleh pemerintah dengan gratis. Memang ada beberapa obat, yang ditanggung BPJS, tapi ada beberapa obat yang tidak lagi masuk BPJS,” ungkap Dewi kepada tim Prohealth.id.
Penulis: Tim Prohealth.id
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post