Jakarta, Prohealth.id – Ada banyak alasan bagi seorang transgender perlu terlibat aktif dalam kegiatan sosial, kesehatan, dan kemasyarakatan terutama dalam menangkis stigma dan diskriminasi gender yang masih mengakar di masyarakat.
Hal itu dilakukan salah satunya oleh Tariska Indri, seorang transpuan yang aktif sebagai aktivis kesehatan. Tariska Indri menyatakan alasan dia aktif menyuarakan dan terlibat pada isu kesehatan karena yakin bahwa sebenarnya tidak ada masalah antara kelompok transgender dengan kalangan organisasi sosial kesehatan.
Dia banyak berinteraksi dengan tenaga kesehatan dari berbagai organisasi kesehatan dan memberi kesan bahwa tidak ada batasan ekspresi dan orientasi bagi transgender bagi pasien atau rakyat yang mengakses hak kesehatan. Alhasil keberanian Tariska membuat dia menjadi satu-satunya transpuan dalam organisasi kesehatan yang justru mendapat kepercayaan untuk ikut menyuarakan isu kesehatan.
“Satu-satunya transpuan, transgender LGBT yang di percaya oleh Yayasan Peduli Hati Bangsa yang bergerak hepatitis, Pertiwi dan Bali Pink Ribbon Foundation, tentang kanker payudara,” kata Tarisa, dalam acara talkshow ‘Memahami Transgender di Indonesia: Identitas, Kompleksitas, dan Resistensi’, pada Minggu, 4 Desember 2022 lalu.
Tariska percaya, untuk menghilangkan stigma negatif pada transgender dapat dilakukan dengan menunjukkan prestasi. “Saya transpuan satu-satunya dalam organisasi tersebut. Jadi, saya juga menganggap tidak ada batasan ekspresi dan orientasi bahkan gender,” ujarnya.
Menurutnya, menyuarakan hak-hak dengan cara kekerasan untuk menghilangkan stigma negatif pada transgender justru akan memicu ketidaksenangan orang lain.
Sebagai transpuan yang tergabung dalam organisasi kesehatan, Tariska tidak menganggap stigmati atas identitasnya sebagai tantangan atau penghalang untuk menyuarakan isu kesehatan. Menurutnya, tantangan itu terletak pada bagaimana ia dapat melakukan perannya sebagai aktivis kesehatan dengan baik.
“Jadi sebenarnya tidak ada batasan perilaku kalau kita bisa menunjukkan prestasi itu lebih baik, dengan hal itu juga kita sudah berkampanye namanya, bukan harus demo menyuarakan hak-hak dengan kekerasan bahkan dengan menyatakan bahwa saya akan berjuang justru itu malah akan memicu ketidaksenangan orang. Dari pada begitu kita lebih baik menunjukkan prestasi saja, dengan begitu orang akan senang,” ungkapnya.
Semangat Tariska dalam menyuarakan kesehatan tersebut membuatnya seringkali menghadiri berbagai sosialisasi kesehatan yang diadakan di klinik atau puskesmas untuk menambah pengetahuan dan wawasannya tentang kesehatan.
Meski begitu, ketulusan Tariska saat membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan seringkali masih ditanggapi negatif oleh pasien yang ia bantu. Namun, di sisi lain ia mendapatkan respon baik dari pihak layanan kesehatan.
“Hanya saja dari beberapa pasien yang saya antar dampingi ada yang masih merasa risih. Karena pikiran dia kalau saya transpuan. Wah, padahal saya tulus mau menolong bukan untuk yang gimana-gimana. Ya, memang saat kita mendampingi pasien yang seperti itu sebenarnya, saatnya kita memulai menjadikan role model, bahwa tidak semua transpuan seperti apa yang distigmakan, yang dipikiran pandangan mereka kebanyakan,” ungkap Tariska secara terpisah kepada Prohealth.id, pada Selasa, 6 Desember 2022.
Lebih lanjut, Tariska juga menegaskan bahwa belum semua layanan kesehatan ini sudah ramah gender, ekspresi dan orientasi. Sehingga ia akan berusaha melakukan advokasi jika menemukan layanan kesehatan yang belum ramah gender.
“Saya berusaha langsung mengedukasi dan mengadvokasi bagaimana caranya menghadapi teman-teman gender yang lain yang mereka anggap lain langsung pada layanan tersebut, agar ke depannya kinerja dari layanan kesehatan tersebut mungkin lebih baik,” kata Tariska.
Ralph Fernandez Liem dalam acara talkshow Memahami Transgender di Indonesia : Identitas, Kompleksitas, dan Resistensi juga menjelaskan hal paling sederhana dalam pelayanan kesehatan misalnya, masih ada transgender yang merasakan diskriminasi dalam penyebutan identitas. Masih banyak kelompok transgender yang sangat tidak nyaman dengan nama asli mereka, karena tidak sesuai dengan penampilannya. Hal ini terutama bagi kelompok transgender yang ciri nama mereka terlalu feminim atau maskulin.
“Saat dipanggil nama pasien misalnya, [kelompok transgender] minta dipanggil dengan nama yang kita inginkan, tapi suster atau pihak dokter suka tidak pedulikan soal nama tersebut, malah memanggil nama sesuai identitas yang sudah tertera di kartu identitas medisnya,” kata Ralph.
Diskriminasi juga mencuat dalam terminologi atau nama julukan sehari-hari pada transgender seperti waria, priawan, tomboi dan lainnya. Terminologi ini sebenarnya sudah terjadi dan ada di masyarakat sejak dulu. Kondisi itu akhirnya masih menjadi masalah yang harus dihadapi kelompok transgender. Alhasil hingga kini, masih ada masyarakat yang memandang transgender sebelah mata, sehingga nama julukan tersebut berkembang menjadi stigma.
Oleh karenanya, kelompok transgender saat ini lebih suka mendefinisikan dirinya seperti sekarang sebagai; transpuan, transpria, transgender, bissu (panggilan nama dari daerah bugis) dan lainnya.
Meski begitu, identitas sesuai kartu tanda penduduk (KTP) masih sesuai dengan nama asli. Untungnya, nama identitas sesuai KTP tidak menjadi hambatan untuk transgender dalam menjalankan aktivitas, kecuali soal pekerjaan dan pendidikan. “Walaupun E-KTP tersebut menggunakan nama asli bukan nama yang sekarang, mereka masih bisa menjalankan aktivitas dengan karya- karya yang mereka punya,” kata Ralph.
Hal ini serupa dengan yang diungkapan oleh Jessica, seorang transpuan yang merasa selama ini tidak masalah dengan perbedaan antara identitas KTP dan namanya saat ini. Ia mengatakan, jika sedang bepergian menggunakan transportasi umum dan perlu menunjukkan E-KTP, ia akan menjelaskan bahwa ia memang menggunakan nama yang berbeda dengan nama identitas KTP.
“Jadi, namaku itu nama yang sesuai dilahirkan, terus kalau misalnya kemana-mana naik pesawat atau naik kereta api gitu, itu petugasnya pasti lihat-lihatan dulu sama aku, terus habis itu aku jelaskan ‘ya kak, saya punya nama lahir ini, tapi nama hidup saya hidup sebagai nama Jessica’. Sesimple itu saya menjelaskannya,” ujar Jessica.
Sama halnya dengan Jessica, Tariska juga mengatakan perbedaan identitas antara KTP dan identitas yang digunakan saat ini, bukan masalah bagi mereka. Namun masih ada beberapa kendala dalam mengurus pergantian nama KTP bagi para transgender.
“Kalau mau mengganti nama asli di KTP kita harus ada keputusan dari pengadilan, apalagi jenis kelamin pasti harus operasi semua seperti fisik harus di cek juga. Jadi menurut saya, tidak ada kendala dari KTP, karena KTP hanya dikeluarkan saat kebutuhan transaksi saja. Dan saya kebetulan dipercaya Swara Kita sebagai focal point untuk mengurusi KTP transpuan di Bali,” ungkap Tariska kepada Prohealth.id.
“Awalnya banyak yang tidak mengurus KTP dan tidak pernah punya KTP sampai 10-15 tahun. Sayangnya, saya tidak mengurusi seluruh wilayah Bali, jadi hanya beberapa kota salah satunya di Denpasar. Karena kalau saya urus semua saya tidak sanggup,” sambung Tariska.
Keterbatasan akses bagi para transgender juga terjadi dalam hal pekerjaan dan pendidikan ikut dirasakan oleh Bunda Hendrika Mayora yang berdomisili di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dan Bissu Eka di Sulawesi Selatan yang merasa identitasnya seolah dibatasi ketika mereka ingin memperoleh pekerjaan dan pendidikan.
“Setiap orang berhak untuk bekerja, dan begitu kita melewati penghalang, pekerjaan kita menjadi diri kita sendiri. Karena identifikasi gender selalu dipandang sebagai penghalang di tempat kerja, kami memiliki lebih banyak akses ke pekerjaan di sektor yang tidak terorganisir (informal),” ungkap Bunda Mayora.
Begitu juga dengan Bissu Eka yang bahkan identitasnya diklaim sebagai kaum primitif oleh orang-orang disekitarnya. Ia juga berharap agar tidak ada lagi stigma negatif pada transgender di wilayahnya sehingga mereka (Bissu) mendapatkan kehidupan yang layak.
“Aktivitas para transgender wilayah saya masih sangat terbatas seperti pendidikan dan pergaulannya. Bahkan transgender diklaim sebagai kaum primitif. Saya berharap di daerah tempat tinggal saya punya campur tangan untuk membantu mendapatkan kehidupan yang layak seperti mendapatkan tempat kerja untuk tunjangan kesejahteraan kita sebagai bentuk pengabdi Bissu ke negara,” ungkap Bissu Eka.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post