Jakarta, Prohealth.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani, telah meneken ketentuan harga jual eceran rokok pada 4 Desember 2024.
Sayangnya, langkah Pemerintah tidak dibarengi dengan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). Tidak adanya kenaikan tarif CHT sudah berlangsung dalam dua tahun ini. Oleh karena iu, sejumlah lembaga masyarakat sipil menyayangkan keputusan pemerintah. Mereka memandang keputusan itu sebagai bentuk pelemahan kebijakan pengendalian konsumsi rokok dari aspek fiskal.
Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Aryana Satrya menyampaikan tanggapan terkait kebijakan Pemerintah mengenai cukai hasil tembakau (CHT) dan dampaknya terhadap prevalensi merokok di Indonesia. Dia menyoroti permasalahan besar meningkatnya prevalensi merokok di kalangan anak-anak serta ketidakefektifan kebijakan yang ada dalam mengendalikan masalah ini.
Sejumlah peraturan telah dibuat pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan . Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur berbagai aspek terkait tembakau.
Peraturan ini bertujuan menurunkan prevalensi merokok anak-anak, membatasi distribusi, dan konsumsi produk tembakau. Namun data menunjukkan prevalensi merokok di kalangan anak-anak Indonesia masih tinggi meskipun ada peraturan tersebut sehingga perlu kebijakan lebih tegas untuk mengurangi angka tersebut.
Prevalensi merokok anak-anak di Indonesia masih tergolong tinggi. Sekitar 7,2 hingga 7,4 persen berdasarkan riset kesehatan dasar dan survei kesehatan Indonesia yang terakhir pada 2023. Angka itu sedikit lebih rendah dari target RPJMN 2024 tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan target RPJMN 2019 yang sebesar 5,4 persen. Bila tidak ada pengendalian yang tepat maka proyeksi Bappenas menunjukkan angka prevalensi merokok anak-anak bisa mencapai 15 persen pada 2030. Sementara angka prevalensi merokok untuk orang dewasa mencapai 31 persen.
Penyebab Anak Mudah Tergiur Merokok
Harga rokok yang relatif murah di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama anak-anak mudah tergiur untuk merokok.
Harga rokok di Indonesia masih tergolong rendah walaupun HJE mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan negara lain. Dengan harga yang masih terjangkau ini maka anak-anak dan remaja mudah untuk membelinya meskipun ada upaya pemerintah meningkatkan HJE.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan pengeluaran rumah tangga untuk rokok berada di urutan kedua setelah belanja pangan. Tingginya angka relapse (kambuh) pada anak-anak yang berusaha berhenti merokok menunjukkan betapa kuatnya pengaruh harga rokok yang masih terjangkau.
“Anak-anak yang terpengaruh lingkungan menjadi rentan untuk mencoba merokok. Terutama dari orang tua yang merokok dan teman-teman sebayanya,” kata Aryana dalam Konferensi Pers “Salah Langkah di 100 Hari Pertama Prabowo-Gibran: Sikap Masyarakat Sipil Atas Tidak Naiknya Cukai Rokok Tahun 2025” yang dipantau secara daring pada Rabu, 18 Desember 2024.
Pentingnya Kenaikan CHT
Kenaikan CHT bisa lebih efektif menurunkan prevalensi merokok. Terkait hal tersebut maka PKJS UI menyayangkan keputusan pemerintah yang tidak menaikkan CHT untuk tahun 2025.
Kebijakan Pemerintah soal CHT juga memberi kesan kontraproduktif. Sebab kenaikan CHT sangat perlu untuk menurunkan prevalensi merokok terutama di kalangan anak-anak. Tanpa kenaikan CHT maka kebijakan yang ada menjadi tidak efektif untuk mengatasi masalah merokok di Indonesia.
Harapannya, dengan menaikkan CHT dapat mengurangi daya beli rokok dan meningkatkan pendapatan negara. Misalnya, untuk pembiayaan program kesehatan dan sosial yakni; pemberian makanan bergizi gratis. Ini merupakan salah satu program prioritas pemerintah saat ini.
Peningkatan CHT ini dapat menjadi alternatif yang lebih tepat daripada menaikkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang berpotensi meningkatkan beban ekonomi bagi masyarakat.
Sementara CEO CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) Diah Satyani Saminarsih menyebutkan kebijakan CHT yang tidak seimbang dengan HJE rokok dapat terus meningkatkan beban ekonomi akibat konsumsi tembakau. Dia pun mengungkapkan kekecewaannya atas kebijakan pemerintah yang tidak cukup mendukung prioritas kesehatan nasional.
Rata-rata kenaikan HJE rokok hanya sekitar 10 persen sementara tarif cukai pada 2025 tidak mengalami kenaikan. Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara kebijakan cukai dan harga rokok sehingga menciptakan celah bagi konsumen untuk tetap mengakses produk tembakau meskipun ada sedikit kenaikan harga. Tren ini menurun sejak tahun 2023 sehingga menunjukkan kebijakan tersebut belum cukup untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia.
“Kebijakan ini akan sangat merugikan masyarakat miskin dan kelompok rentan. Sebagian besar pengeluaran rumah tangga pada kelompok ini untuk membeli rokok yang pada akhirnya mengurangi porsi anggaran untuk kebutuhan penting lainnya seperti kesehatan dan pendidikan,” ucapnya.
Beban Ekonomi Tidak Seimbang
Diah juga menjelaskan mengenai ketimpangan antara pemasukan negara dari cukai tembakau dengan biaya kesehatan akibat penyakit karena rokok.
Berdasarkan data riset sebelumnya, perkiraan total biaya kesehatan untuk penyakit yang berhubungan dengan rokok mencapai Rp 27,6 triliun. Sementara estimasi biaya kesehatan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan pada 2019 mencapai Rp15,5 triliun dengan alokasi maksimum sebesar Rp7,4 triliun untuk pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Angka ini menunjukkan adanya kesenjangan yang sangat besar antara biaya kesehatan yang timbul akibat rokok dengan pemasukan dari cukai tembakau yang hanya mencapai Rp 172,3 triliun.
Lebih lanjut, Diah menunjukkan bahwa gap antara biaya ekonomi yang ditanggung akibat rokok dengan pemasukan dari cukai tembakau masih sangat besar. Biaya kesehatan dan non-kesehatan akibat rokok dapat mencapai angka antara Rp184,4 triliun hingga Rp410 triliun yang jauh melebihi penerimaan negara dari cukai tembakau. Dengan kata lain, jumlah yang diterima dari cukai tersebut tidak cukup untuk menutup biaya yang ditimbulkan akibat konsumsi rokok meskipun CHT menjadi sumber pendapatan penting bagi negara.
CISDI lewat pendekatan “Health in All Policy” berfokus pada integrasi antara kebijakan kesehatan, ekonomi, dan sosial. Pendekatan ini menekankan perlunya kebijakan yang holistik dan terintegrasi untuk mengurangi dampak negatif konsumsi tembakau. Dalam konteks ini, CISDI akan terus mendorong kebijakan yang lebih mendukung kesehatan masyarakat melalui pengendalian tembakau, baik dengan meningkatkan cukai hasil tembakau, memperketat regulasi iklan rokok, serta mendorong upaya promotif dan preventif untuk mengurangi angka perokok di Indonesia.
CISDI juga mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam menangani masalah penyakit tidak menular akibat rokok yang menghabiskan banyak sumber daya untuk pengobatan dan perawatan. Buku putih CISDI memuat pemaparan mengenai pentingnya upaya pengendalian tembakau yang lebih intensif dan sistematis. Caranya, melibatkan semua sektor, mulai dari kebijakan pemerintah hingga partisipasi masyarakat.
Harga dan Pengaruh Strategi Pemasaran
Harga rokok konvensional maupun rokok elektronik yang masih terjangkau anak-anak dan remaja, senada dengan pendapat Anisya Aulia Lestari dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Harga rokok yang berada di kisaran seribu rupiah hingga 2.500 per batang masih memungkinkan siswa SMP dan SMA membeli rokok. Penelitian CISDI menyatakan sekitar 70 persen siswa SMP dan SMA mudah untuk membeli rokok dengan harga tersebut.
Produk rokok elektronik atau vape juga semakin populer meskipun harganya lebih tinggi antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Namun, sebagian besar remaja masih bisa membeli dengan harga ini. Terutama dengan adanya fitur diskon dan cicilan yang tersedia di platform e-commerce memudahkan akses terhadap produk tembakau.
Dia menyebutkan remaja pada umumnya berada pada fase coba-coba dan eksplorasi sehingga membuat mereka rentan. Jika harga rokok meningkat maka daya beli remaja pun terpengaruh.
Tetapi kenaikan harga saat ini anak-anak dan remaja masih bisa menjangkau harga itu. Sehingga pada akhirnya tidak efektif menurunkan prevalensi merokok di kalangan tersebut. Selain itu mereka yang sudah terlanjur merokok sering kali beralih ke produk rokok lain yang lebih terjangkau kalau harga rokok meningkat.
“Ketergantungan atau kebiasaan merokok yang berkembang pada mereka ini menjadi masalah yang lebih besar. Karena mereka tetap mencari cara untuk mendapatkan produk tembakau meskipun harganya meningkat,” ucap Anisya.
Dia mengkhawatirkan pula strategi pemasaran industri rokok yang aktif menyasar anak-anak dan remaja. Seperti penggunaan kemasan rokok yang menarik dengan desain yang cerah. Lalu ada pesan yang menggugah sehingga sangat mudah mempengaruhi seseorang dengan iklan dan promosi semacam itu.
Di sisi lain, industri tembakau memanfaatkan platform media sosial dan e-commerce untuk mempromosikan produk mereka. Banyak iklan rokok masih dapat ditemukan di situs tertentu meskipun ada regulasi yang melarangnya. Iklan tersebut sering kali sulit untuk diblokir sehingga membuat mereka lebih mudah terpapar.
Barter Politik Kebijakan Pemerintah
Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) turut melontarkan kritiknya terhadap kebijakan Pemerintah terkait dengan pengendalian tembakau dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
Lembaga tersebut menggambarkan pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai langkah positif dalam pengendalian konsumsi tembakau dan faktor risiko lainnya. tetapi dengan kebijakan yang tidak menaikkan cukai rokok pada akhir 2024 menunjukkan sikap kebijakan paradoks Pemerintah. Bahkan menyebutkan adanya barter politik dalam kebijakan pemerintah Indonesia selama setahun terakhir.
“Jadi ini saya melihat ada semacam barter politik dan Pemerintah seperti tunduk pada intervensi industri rokok. Pemerintah tidak menaikkan cukai, saya menduga ini karena intervensi industri rokok,” ujar Perwakilan Komnas PT Tulus Abadi.
Pemerintah nampak gamang pula dalam melaksanakan kebijakan pengendalian tembakau. Hal ini terlihat dari macetnya pembahasan peraturan kesehatan yang terkait dengan implementasi PP Nomor 28 Tahun 2024. Padahal sebenarnya aturan sebelumnya sudah sah sejak September 2024. Proses ini terhambat karena adanya pengaruh kuat dari industri rokok yang berusaha menjaga kepentingan bisnis mereka.
Tulus menekankan masalah kesehatan yang sangat serius akibat tingginya prevalensi merokok di Indonesia. Sekitar 35 persen dari populasi dewasa Indonesia adalah perokok aktif yang berarti sekitar 70 juta orang mengonsumsi tembakau secara reguler. Prevalensi ini menyebabkan meningkatnya penyakit tidak menular (PTM) seperti stroke, diabetes, penyakit jantung, dan kanker.
Penyakit katastropik tersebut sangat membebani sistem kesehatan negara. Sehingga, pemerintah harus segera menangani tingginya angka perokok melalui kebijakan yang lebih serius.
Pemerintah pada satu sisi berusaha untuk menyediakan makanan bergizi gratis dan kebijakan lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan tersebut positif.
“Namun tanpa ada langkah-langkah pengendalian tembakau itu akan menjadi muspro. Muspro itu sia-sia alias mubazir. Jadi ini mubazir kalau tidak ada upaya-upaya untuk itu,” pungkas Tulus.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post