Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) memprediksi adanya kegagalan dalam pencapaian target Indonesia Emas, seiring dengan prevalensi perokok anak yang tak kunjung turun.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pernah menyatakan tidak akan tercapainya salah satu dari 10 target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), yaitu penurunan prevalensi perokok anak. Pasalnya, sesuai RPJMN 2020-2024, angka prevalensi perokok anak ditargetkan menjadi 8,7 persen. Sementara, berdasarkan data terbaru Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018), prevalensi perokok anak di Indonesia masih berada di angka 9,1 persen.
Merespon hal itu, Iman Zein, Project Lead for Tobacco Control CISDI menyatakan bahwa regulasi yang ada sekarang belum bisa menahan laju prevalensi perokok di Indonesia karena belum adanya pelarangan total iklan promosi dan sponsor rokok, peringatan kesehatan bergambar yang masih di bawah standar WHO dan wacana pelarangan rokok batangan yang sudah diamanatkan lewat Keputusan Presiden pun belum ditindaklanjuti.
“Jadi, wajar prevalensi perokok tidak kunjung melandai,” katanya dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Minggu (30/7/2023).
Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 mengamanatkan regulasi yang melarang penjualan rokok batangan. Sayangnya, permasalahan rokok batangan sangat mengkhawatirkan saat ini.
Terbukti dari data Global Youth Tobacco Survey (GYTS 2019) yang menyebutkan hampir 72 persen anak dan remaja di sekolah menengah (usia 13-15 tahun) di Indonesia memilih membeli rokok batangan. Fakta ini menjadi penting direfleksikan terutama dalam momentum Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tahun pada tanggal 23 Juli. Artinya, dalam peringatan Hari Anak Nasional seharusnya menjadi bentuk kepedulian terhadap kelangsungan hidup anak Indonesia termasuk konteks perokok anak.
Iman menyatakan, tim CISDI juga menyoroti pentingnya kehadiran peraturan turunan dari UU Kesehatan yang baru saja disahkan untuk membatasi akses masyarakat ke rokok. Iman mengharapkan aturan turunan bisa menutup kekosongan regulasi pengendalian tembakau yang belum diakomodasi dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru.
“Undang-Undang Kesehatan belum mengakomodir banyak masukan publik, seperti pelarangan iklan promosi dan sponsor rokok, rokok batangan. Bahkan, Kawasan Tanpa Rokok pun diwajibkan memiliki area khusus untuk merokok. Ini bisa menimbulkan celah yang akan melemahkan pengendalian rokok itu sendiri,” kata Iman.
Iman juga menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam penyusunan regulasi teknis ini. “Untuk penyusunan aturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan, kami berharap masukan masyarakat lebih didengarkan lagi karena regulasi tersebut dilahirkan untuk publik,” katanya.
Forum Anak Jakarta yang ikut hadir dalam kegiatan tersebut menyatakan, pihaknya berharap anak-anak Indonesia tidak lagi terjerat adiksi rokok. Dioniyoga Pratama, Ketua Forum Anak DKI Jakarta menyatakan, ada pertaruhan yang besar dan panjang terkait masa depan bangsa ini di tangan generasi muda.
“Masa depan anak Indonesia masih panjang. Jangan sampai generasi muda tumbuh dengan tidak produktif akibat rokok sehingga kita gagal meraih bonus demografi,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan, dengan adanya data kenaikan prevalensi perokok anak bisa menjadi refleksi bagi segenap otoritas dan masyarakat bahwa hak kesehatan dan kesejahteraan anak harus dilindungi sejak dini.
Discussion about this post