Permasalahan rokok konvensional belum dikendalikan dengan optimal oleh pemerintah. Kondisi ini tercermin dengan masih banyak pengguna dan penjual rokok bebas. Pada tahun 2018 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menemukan, rokok konvensional naik menjadi 9,1 persen. Padahal, jika melihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012, ada pasal yang menyatakan bahwa menjual kepada orang di bawah usia 18 tahun tidak diperbolehkan.
Ni Made Shellasih, Media Officer Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia menyatakan, banyak warung masih bisa menjual rokok secara bebas dan dibeli oleh anak atau remaja. Jadi, walaupun bilangnya untuk ayah, tapi mungkin juga bilangnya untuk saudara, untuk kakak, tapi kerap kali dikonsumsi sendiri oleh si anak.
“Sampai saat ini juga belum ada sanksi yang tegas untuk penjualan kepada anak dibawah 18 tahun tersebut kecuali mungkin di beberapa daerah terdapat peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok, tapi mungkin penegakannya belum secara tegas,” kata Shella dalam acara workshop dengan tema “Menyoroti Lemahnya Regulasi Penjualan Roko Elektrik” pada Minggu, 20 November 2022 yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta (AJI Jakarta).
Jika belum ada sanksi tegas untuk penjualan kepada anak dibawah 18 tahun, maka akan terjadi banyak dampak dari konsumsi rokok akibat masih gencarnya promosi dan terjangkaunya harga rokok. Mulai dari perokok yang meningkat, meningkatkan resiko stunting pada anak, ada kaitannya dengan COVID-19, kemiskinan, karena rokok menjadi beban pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua saat ini menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Indonesian Youth Council For Tobacco Control (IYCTC) bersama koalisi dari 43 organisasi Indonesia yang memiliki misi memberdayakan kaum muda dengan inklusif dan bermakna mengadakan kajian tentang rokok elektrik yang mengungkapkan bahwa industri rokok tidak peduli dengan generasi muda karena mereka pedagang masih menjual barang berbahaya dengan nama yang baru.
Terbukti dengan masifnya pemasaran dan mudahnya akses tertuang dalam hasil riset Global Adult Tobbaco Survey 2021 itu menandakan bahwa ada peningkatan pemakaian rokok elektronik atau vape dari tahun 2011 sebanyak 0,3 persen, ke tahun 2021 itu menjadi 3 persen mulai dari usia 15 tahun. Jumlah ini diperkirakan 6,6 juta orang di tahun 2021 itu banyak peningkatannya yang sangat signifikan. Berkaca dari temuan itu, Indonesia merupakan target selanjutnya industri rokok, khususnya target potensial produk rokok elektronik.
“Awalnya [perokok elektronik] dari 400 ribu jadi 6,6 juta pengguna rokok elektronik dan yang parah lagi di tahun 2020. Susenas yakni survei ekonomi nasional mengatakan bahwa lebih dari 90 persen pengguna rokok elektronik Indonesia merupakan dual user. Jadi ini beban ganda pemerintah yang sedang di hadapi sekarang,” ungkap Shella.
Dalam rokok elektronik juga terdapat zat-zat seperti prisadiasetill yang itu menyebabkan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan yang paling sekarang paling hits yaitu prevalikol. Saat ini fenomena tersebut sedang diperiksa oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan kemungkinan masih banyak diperiksa sampai sekarang belum selesai.
“Apakah benar-benar ini berbahaya atau tidak dan itu ada di rokok elektronik dan ini cukup mengkhawatirkan,” ungkap Oktavian Denta Eko Antoro mewakili Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC).
Menurut Kementerian Kesehatan rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok konvensional lantaran mengandung nikotin zat kimia serta rasa yang bersifat racun.
“Jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama zat tersebut bisa dinilai dapat menyebabkan masalah kesehatan serius di masa depan misalnya penyakit kanker paru-paru dan lain-lain,” sambung Oktavian.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post