Jakarta, Prohealth.id – Pada tanggal 20 November seluruh dunia memperingati sebagai Hari Anak Sedunia. Hari Anak Sedunia merupakan peringatan untuk menandai diadopsinya Konvensi Hak Anak (KHA) pada 1989 oleh Majelis Umum PBB.
Indonesia sendiri sudah meratifikasi KHA pada 26 Januari 1990, serta disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990. Sayangnya, menurut Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, meskipun Indonesia sudah 34 tahun meratifikasi KHA, anak-anak Indonesia belum sepenuhnya dapat menikmati lingkungan sehat bebas dari asap rokok, bebas dari paparan iklan rokok serta mendapat perlindungan dari kemudahan akses rokok.
Hal ini terbukti karena sejak awal kehidupan, anak-anak sudah terdampak asap rokok di rumah. Penelitian Universitas Indonesia dan Imperial College London Inggris menunjukkan prevalensi perokok pasif di dalam rumah di Indonesia mencapai 78,4 persen, sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya di Asia, seperti Cina sebanyak 48,3 persen, Bangladesh ada 46,7 persen, dan Thailand sebanyak 46,8 persen. Selain di rumah, anak-anak juga terpapar asap rokok di tempat umum yakni 67 persen, dan di sekolah 56 persen menurut data Global Youth Tobacco Survey dari WHO pada tahun 2019 lalu.
Situasi ini, kata Lisda Sundari, jelas bertentangan dengan sejumlah pasal dalam KHA, yakni pasal 24 tentang hak kesehatan tertinggi, pasal 6 KHA tentang hak atas kehidupan, pasal 17 tentang perlindungan dari informasi yang membahayakan kesejahteraan dan pasal 3 tentang kepentingan terbaik bagi anak.
Padahal, Lisda menambahkan, selama 34 tahun meratifikasi KHA, Indonesia sudah berhasil memasukkan isu perlindungan anak dalam berbagai peraturan dan undang-undang sebagai upaya mendasar dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.
Beberapa contoh diantaranya adalah, memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” pada amandemen kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menerbitkan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, dan UU Perkawinan yang menetapkan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun.
Selain itu, Indonesia juga sudah meratifikasi dua protokol opsional KHA, yaitu UU Nomor 10/2012 tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, serta UU Nomor 1/2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Keluarga Terkepung Asap Rokok
Paparan asap rokok dan merokok selama kehamilan meningkatkan risiko komplikasi seperti keguguran, kelahiran prematur, dan merupakan faktor risiko sindrom kematian bayi mendadak. Paparan asap rokok juga menyebabkan penyakit pernafasan, infeksi telinga dan meningkatkan risiko kematian mendadak pada anak-anak dan remaja.
“Kondisi ini jelas bertentangan dengan dua pasal dalam KHA, yakni Pasal 6 tentang hak hidup dan Pasal 24 tentang hak anak atas kesehatan,” tegas Lisda.
Ia juga menyorot kewajiban negara untuk melindungi anak dari informasi dan materi yang dapat membahayakan kesejahteraannya berdasarkan pasal 17 KHA, serta pasal 36 KHA berupa kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala kegiatan yang mengambil keuntungan dari mereka atau dapat membahayakan kesejahteraan dan perkembangan mereka.
“Fakta menunjukkan bahwa anak Indonesia tidak terlindungi dari paparan asap rokok dan pemasaran industri tembakau. Informasi dan materi iklan rokok membahayakan kesejahteraan anak dan melanggar hak kesehatan, karena dokumen industri rokok sudah mengakui bahwa iklan, promosi, serta sponsor rokok dalam berbagai acara musik, film dan olahraga, memang ditujukan untuk menarik perhatian dan mempengaruhi kaum muda merokok, tanpa mereka sadari,” ujarnya.
Data GYTS – WHO 2019 melaporkan, anak-anak Indonesia terpapar iklan rokok di televisi sebesar 65,2 persen, di tempat penjualan sebanyak 65,2 persen, media luar ruang ada 60,9 persen, serta di media sosial dan internet ada 36,2 persen.
“Dari data tersebut jelas menunjukkan pentingnya melakukan pelarangan menyeluruh terhadap iklan, promosi dan sponsor rokok untuk melindungi anak dari target pemasaran industri rokok,” kata Lisda.
Tak hanya itu, ia juga menambahkan bahwa anak-anak seharusnya juga dilindungi dari aksesibiltas rokok demi kepentingan terbaik mereka dan mencegah anak-anak mulai merokok.
“Seharusnya pemerintah dapat membuat kebijakan agar harga tembakau tidak terjangkau oleh anak, serta melarang penjualan rokok batangan. Termasuk juga mengatur secara ketat produk tembakau baru seperti rokok elektronik yang merupakan bahaya tambahan bagi anak-anak,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, dalam kurun 10 tahun terakhir perokok di Indonesia termasuk perokok anak di berbagai kelompok usia terus meningkat. Bahkan Bappenas memprediksi pada tahun 2030 prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun akan meningkat sampai 16 persen. Padahal, secara global selama dua dekade terakhir penggunaan tembakau di dunia telah menurun dari 1,397 miliar di tahun 2000 menjadi 1,337 miliar pada 2018. Hal ini berdasarkan laporan global WHO tentang tren prevalensi penggunaan tembakau edisi ketiga 2000-2025.
Diproyeksikan ada sebanyak 60 persen negara di dunia sudah mengalami penurunan konsumsi produk tembakau sejak tahun 2010 karena pimpinan negara tersebut melakukan aksi untuk melindungi masyarakat, menyelamatkan nyawa dan mencegah orang-orang mengalami penderitaan karena dampak buruk penggunaan tembakau.
“Namun di Indonesia, kami belum melihat adanya komitmen kuat pemerintah untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak, dari dampak buruk penggunaan tembakau,” tegas Lisda.
Padahal tingginya prevalensi merokok adalah masalah serius mengingat rokok bersifat adiktif dan faktor resiko penyakit tidak menular, selain akan menjadi beban ekonomi dan mengancam kualitas SDM menurut Lisda.
Negara-negara di dunia seperti Malaysia, Tasmania, Inggris, Selandia Baru dan lainnya sedang bergerak untuk menciptakan Tobacco Free Generation untuk mengatasi kebiasaan merokok di kalangan generasi milenial dengan melarang penjualan rokok kepada anak atau seseorang yang lahir setelah tahun tertentu.
Tahun ini, Selandia Baru mengimplementasikan kebijakan melarang penjualan produk tembakau kepada mereka yang lahir pada atau setelah tanggal 1 Januari 2009 untuk mencegah generasi mendatang merokok dan menjadikan Selandia Baru negara “bebas tembakau” pada 2025.
“Sementara di Indonesia, penurunan prevalensi perokok tidak tercapai pada RPJMN 2014-2019. Dan Bappenas juga sudah menyampaikan beberapa waktu lalu terkait 10 target pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terancam tidak tercapai. Salah satunya bisa jadi adalah tidak tercapainya target penurunan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen pada tahun 2024,” jelas Lisda.
Sebagai negara yang terikat Konvensi PBB tentang Hak Anak, Indonesia wajib memberikan prioritas pada kepentingan terbaik anak dalam semua tindakan yang berdampak pada anak agar tidak membahayakan kesehatan dan kesejahteraan anak.
“Termasuk kewajiban mengatur industri tembakau dengan larangan iklan, promosi dan sponsor rokok di seluruh media, larangan penjualan rokok batangan, mencantumkan peringatan kesehatan dengan ukuran yang besar dan bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkannya,” pungkas Lisda.
Discussion about this post