“Uang dan masa depan. Jadi semakin tidak yakin sama masa depan. Apalagi gue kan ngikutin perkembangan informasi. Kayaknya semakin kesini gue semakin merasa cemas kalau tabungan tidak bertambah signifikan,” ujar Muhammad Iqbal (29) seorang ayah yang berdomisili di daerah Maja, Banten, ketika menceritakan pengalaman pasca memiliki anak pertama.
Kepada Prohealth.id, Iqbal membagikan beberapa perubahan dalam hidup setelah menyandang peran baru sebagai seorang ayah. Salah satunya adalah meningkatnya kecemasan yang dia rasakan.
“Padahal kalau dihitung itu [tabungan] masih aman. Tapi cemas sendiri,” sambungnya.
Ada beberapa faktor yang memicu kecemasan Iqbal. Terpaan akses internet dalam hitungan detik membuat Iqbal banyak membaca dan menyerap informasi seputar biaya sekolah anak di masa depan, serta biaya untuk kebutuhan-kebutuhan lain dengan angka yang besar. “Biaya sekolah TK aja gue baca-baca sudah jutaan buat biaya per semesternya, dan gitu, mutu pendidikan kita gitu-gitu aja,” ucapnya.
Kecemasan lain akibat asupan informasi adalah ketakutan jika sang anak menjadi pribadi yang bandel, atau bahkan, ia takut si anak kelak mengalami kekerasan dan sejenisnya.
“Tapi paling cemas dan kadang sampai stres itu karena uang sih. Gaji tidak naik-naik, biaya kebutuhan malah terus naik. Udah gitu, gue sandwhich generation.”
Dikutip dari situs lembaga perencana keuangan Finansialku.com, sandwhich generation adalah ungkapan untuk kondisi seseorang harus menanggung kebutuhan ekonomi banyak pihak secara bersamaan,
Sandwich generation juga memiliki pengertian sebagai orang dewasa yang harus menanggung kebutuhan hidup generasi dibawahnya yaitu anak, serta generasi diatasnya yakni orang tua atau mertua.
Adapun Dorothy Miller serta Elaine Brody adalah dua orang yang pertama kali mengenalkan istilah sandwich generation pada tahun 1981.
Kecemasan Iqbal juga ikut terpantik dengan kenyataan ia kerap mendapati sang istri menangis sendiri setelah melahirkan. Sebagai suami dan ayah yang bukan berasal dari kelompok kelas menengah atas, Iqbal sadar kondisi istri pasca melahirkan yang rentan alami depresi. “Gue lumayan mengerti soal parenting, dan soal penanganan istri yang baby blues. Memang minimal juga tahunya, tetapi itu juga bikin cemas. Rasanya, parenting [ideal] dan penanganan baby blues [yang ideal] cuma bisa dilakukan sama orang kaya deh.”
Iqbal yang sehari-hari berprofesi sebagai jurnalis ini mengakui para perempuan memang lebih rentan mengalami depresi pasca melahirkan ketimbang kecemasan yang dialami oleh laki-laki sepertinya.
“Perempuan setelah melahirkan dunianya itu berubah. Jadi kita [para suami] dituntut lebih adaptif. Di sisi lain, kayanya dunia gue masih sama aja. Jadi, kadang ujung-ujungnya, gue cume merasa gak dimengerti sama istri gue. Gue sebenarnya gak merasa kekurangan perhatian juga, makanya memang gue [sebagai suami] yang mesti adaptif,” pungkasnya.
Mengetahui dia rentan mengalami panic attack alias kecemasan tiba-tiba, Iqbal jujur belum pernah mencoba berkonsultasi dengan psikolog setelah kelahiran anak pertamanya. Dia beralasan biaya yang mahal untuk konseling psikiater, sementara jika menggunakan BPJS Kesehatan harus melalui faskes pertama yakni klinik atau puskesmas dan memakan proses yang cukup lama.
“Belum lagi stigma orang soal konseling ke psikiater masih buruk. Jadi, gue kebanyakan bengong, melamun. Bahasa keren kontemplasi, sambil ngeteh di beranda rumah, atau di kereta sewaktu pulang kerja,” tuturnya sambil sedikit berkelakar.
Kondisi baby blues maupun depresi pasca melahirkan memang bisa saja dialami para suami. Dikutip dari situs Alodokter, baby blues syndrome pada ayah atau perasaan uring-uringan usai istri melahirkan merupakan kondisi yang cukup sering terjadi. Meski demikian, istilah yang lebih tepat bagi para ayah adalah depresi pasca melahirkan.
Dikutip dari situs Farmaku.com, gejala umum yang biasa muncul pada ayah adalah perasaan mudah marah dan kecenderungan ingin sendiri. Sayangnya, hingga saat ini masih belum banyak pihak dan profesional yang fokus mengatasi baby blues pada ayah. Maka sangat penting untuk mengenali tanda-tanda postpartum blues supaya dapat segera mencari bantuan. Kondisi ini bisa dialami para ayah sekitar 3-6 bulan setelah kelahiran bayi, bahkan bisa juga muncul lebih cepat atau lebih lambat.
Kecemasan melihat kondisi istri seperti yang dialami Iqbal juga mungkin dialami para calon ayah. Fandis Nggarang (30), warga Depok, Jawa Barat, yang sedang menantikan kelahiran anak pertama membenarkan timbulnya kecemasan dengan kondisi istri yang kerap berubah sejak hamil.
“Saya memastikan makanan ini bergizi gak sih [untuk istri], menunjang vitamin yang bisa menghasilkan pertumbuhan gak sih? Kami ingin bayi kami lahir sempurna, dan tidak ada kekurangan apapun. Persiapan itu dengan menjaga makanan dan tidak ada aktivitas fisik yang membahayakan,” tutur Fandis kepada Prohealth.id.
Tak hanya menjamin kelengkapan gizi, pria yang sehari-hari bekerja sebagai peneliti linguistik ini meningkatkan intensitas komunikasi dengan istri sejak hamil. Bagaimana tidak, sejak hamil, istrinya kerap mual-mual yang membuat sulit masuknya asupan makanan. “Makan sayur pun susah. Ini yang butuh diskusi dan pendampingan,” sambungnya.
Kecemasan lain yang dialami istri sejak hamil misalnya parno dengan jalanan ibu kota. “Istri jadi takut naik mobil karena ada polisi tidur, saya komunikasikan berkali-kali, tidak apa-apa, rahim kamu itu kuat.”
Untung saja, sebelum hamil, Fandis sudah terbiasa mengambil peran-peran pekerjaan domestik di rumah. Dia berprinsip, beberapa hal yang bisa dia kerjakan akan dia kerjakan sendiri, sehingga istri punya waktu yang cukup untuk istirahat.
Fandis menyebut kecemasan yang saat ini dialami istri bisa saja dialami olehnya setelah kelahiran si bayi. Dia mengetahui dari berbagai sumber, potensi depresi pasca melahirkan yang umumnya dialami perempuan sebenarnya juga dialami laki-laki. Kondisi ini akan menimbulkan stres pada dirinya sendiri maupun kepada si bayi.
“Saya coba mempersiapkan kondisi lahir dan batin jelang persalinan agar berjalan dengan baik. Makanan dia baik, istirahat cukup, pekerjaan rumah saya yang handle. Sebelumnya memang sudah banyak peran yang saya ambil, supaya istri lebih banyak istirahat, happy, dan waktu luang di rumah.”
Bersama istri, Fandis juga sudah melakukan riset berkala tentang proses persalinan kelak, dimana tempat bersalin yang cocok, termasuk dengan mempersiapkan kebutuhan finansial proses persalinan dan pasca persalinan.
Menurut Psikolog Lucky Pramitasari, M.Psi kepada Prohealth.id, istilah sebenarnya dari baby blues yang mengalami sampai sejauh ini secara literatur itu hanya perempuan, karena hal tersebut terkait dengan hormonal. Namn, post-partum depression alias depresi pasca melahirkan itu sangat mungkin dialami pria. Pasalnya, depresi pasca melahirkan biasanya sangat rentan pada ayah yang baru merasakan tanggung jawab memiliki anak pertama.
Penelitian yang dipublikasikan Journal of the American Medical Association mendapati 10 persen atau satu dari 10 pria di seluruh dunia mengalami depresi pascapersalinan. Studi ini menyebut gejala depresi paling tinggi muncul dalam 3-6 bulan setelah melahirkan.
“Nah, sebenernya sama sih kalau pada pria pun karena ada gangguan hormon diakibatkan menurunnya kadar testoteron, karena kurang tidur, dan kelelahan juga karena istri mengalami post partum depression,” ungkap Lucky kepada Prohealth.id melalui pesan singkat, Kamis (24/11/2022).
“Karena punya anak itu sesuatu yang baru dan pasti mengubah banyak aspek kehidupan. Jadi memang kemungkinan akan muncul hal-hal yang membuat stres. Apakah nantinya stres bisa dihadapi atau malah memburuk itulah yang akhirnya bisa menyebabkan munculnya post-partum depression,” sambung Lucky.
Hasil penelitian membuktikan bahwa baby blues pada ayah yang tidak ditangani akan berdampak buruk pada kesehatan mental jangka panjang. Kondisi psikologis, sosial, dan perkembangan anak pun akan terganggu, terutama pada anak laki-laki.
Penanganan depresi pada ayah berupa konseling dan psikoterapi serta pemberian obat-obatan, seperti antidepresan. Jika diperlukan, lengkapi pula dengan vitamin dan suplemen tambahan sebagai penunjang imunitas.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post