Jakarta, Prohealth.id – Selama aktif menyuarakan hak-hak buruh sebagai anggota buruh, Niko terus mendapatkan minimnya perhatian atas akses kesehatan bagi para pekerja, baik dari hal sederhana seperti P3K hingga penanganan kasus darurat saat kecelakaan kerja.
“P3K di tempat kami sering cuma kotaknya aja yang ada, isinya balsem sama perban. Obat pusing? Kadang gak ada. Pemeriksaan rutin? Jangankan itu, obat-obatan aja nggak lengkap,” ujar Niko, yang bekerja di pabrik di bagian barat Kota Bandung, kepada Prohealth pada Kamis (01/05/2025).
Sementara itu, Mei, buruh perempuan dari Bandung, mengalami dilema tiap kali datang bulan. “Cuti haid itu sebenarnya ada di aturan, tapi gak ada yang berani ngajuin. Kalau kita izin karena haid, khawatirnya disepelekan,” ujarnya saat ikut aksi May Day di Jakarta.
Mei bercerita, ia tidak pernah melihat rekannya mencoba izin karena mengalami nyeri hebat saat haid. “Padahal kan, ada perempuan yang kalau haid, sakit banget. Akhirnya ya ditahan aja,” katanya.
Menurut Fitriana, akademisi hukum ketenagakerjaan di Universitas Indonesia, mengabaikan kesehatan kerja bukan sekadar kenyamanan, namun bisa berdampak serius seperti meningkatnya penyakit akibat kerja, kecelakaan, burnout, bahkan beberapa studi menunjukkan korelasi antara minimnya fasilitas kerja dengan tingginya kecelakaan kerja.
“Itu semua akan mempengaruhi produktivitas nasional, membebani sistem kesehatan, dan tentu saja merusak kualitas hidup buruh,” jelas Fitriana kepada Prohealth pada hari Kamis (08/05/2025).
Belum terlindungi
Meski sudah ada kewajiban menyediakan fasilitas keselamatan kerja, namun Fitriana mengatakan bahwa akses ke pertolongan pertama dan layanan lanjutan masih susah dijangkau, terutama sektor manufaktur dan padat karya.
“Ventilasi buruk, paparan zat kimia tanpa APD, beban kerja tinggi. Semua itu masih umum ditemui, apalagi di sektor informal atau perusahaan kecil menengah. Tingkat kepatuhan terhadap standar K3 [Keselamatan dan Kesehatan Kerja] sangat bervariasi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Fitriana mengatakan banyak buruh yang belum didaftarkan ke BPJS Kesehatan. “Perusahaan masih banyak yang belum mendaftarkan buruhnya, terutama di sektor informal. Meskipun BPJS Kesehatan telah memperluas akses layanan kesehatan bagi buruh, implementasinya menghadapi kendala seperti banyaknya pasien, keterbatasan fasilitas rujukan, serta kurangnya edukasi mengenai mekanisme layanan,” tambahnya.
Berdasarkan data BPS 2022, 60 juta dari 92 juta pekerja yang berpotensi mendapatkan perlindungan jaminan sosial, belum terlindungi dan berisiko mengalami kecelakaan kerja, masalah di hari tua, pensiun, kehilangan pekerjaan, hingga kematian.
“Kalau ke rumah sakit pakai BPJS, sering lama, kadang obatnya gak sesuai. Harusnya perusahaan juga punya fasilitas kesehatan dasar yang layak. Kalau ada kecelakaan kerja, harus ada penanganan cepat. Ambulans, misalnya, itu harus standby,” kata Niko.
Haid bukan masalah sepele
Fitriana, akademisi hukum ketenagakerjaan di Universitas Indonesia, menyatakan banyak perusahaan memang tidak menyediakan ruang laktasi atau mengatur teknis cuti haid dalam perjanjian kerja. Sehingga, hak atas cuti haid sulit dilaksanakan dan tidak selalu diberikan oleh perusahaan.
Ia menjelaskan bahwa terdapat banyak kasus di mana manajemen menolak atau menyulitkan pemberian cuti haid dengan alasan produktivitas atau tidak adanya aturan teknis pelaksanaannya di tingkat perusahaan.
“Akibatnya, meski sudah diatur undang-undang, hak-hak itu sulit diakses. Ada rasa malu, takut dianggap nggak profesional atau bingung karena gak ada mekanisme yang jelas,” ungkapnya.
Di sisi lain, penyediaan fasilitas kesehatan dasar di tempat kerja sangat timpang. Menurut Fitriana, perusahaan besar cenderung lebih patuh, sementara UMKM seringkali abai. “Saya pernah lihat sendiri di pabrik besar di Tangerang, ada klinik dan tandu darurat yang memadai. Tapi di banyak usaha kecil, kotak P3K pun nggak tersedia,” katanya.
Masalah ini makin rumit karena lemahnya pengawasan pemerintah. Rasio jumlah pengawas terhadap perusahaan masih sangat timpang, membuat pelanggaran kerap luput dari pantauan. “Pemerintah perlu memperkuat kapasitas pengawas dan menerapkan insentif atau disinsentif. Misalnya, beri potongan pajak bagi perusahaan yang patuh pada standar K3,” sarannya.
Dampaknya tak ringan
Sementara itu, perubahan sistem kerja pasca Undang-Undang Cipta Kerja ikut memperparah situasi. Banyak pekerja berubah status menjadi kontrak jangka pendek, bahkan freelance, yang membuat mereka tak lagi terlindungi jaminan sosial.
“Setelah UU Cipta Kerja, banyak pekerja berubah status jadi kontrak jangka pendek, bahkan freelance. Akibatnya, banyak yang gak dapat jaminan sosial ketenagakerjaan, padahal risiko kerja tetap ada,” kata Guruh Riyanto, Pengurus Serikat Sindikasi (14/05/2025).
Guruh menekankan, sistem jaminan sosial juga belum cukup tanggap terhadap penyakit akibat kerja yang sifatnya akumulatif seperti burnout, sakit punggung, atau gangguan mental. “Sistem kita belum bisa tangkap itu sebagai penyakit akibat kerja. Harus dilaporkan dalam 2×24 jam, padahal efeknya sering baru terasa jauh setelahnya,” tambahnya.
Jenis penyakit karena layar komputer, atau gangguan kesehatan jiwa sering tidak tercover karena sistem hanya mengakui kejadian yang langsung dan fisik. “Kalau kontraknya cuma 3 bulan, dan penyakitnya muncul bulan keempat saat dia udah gak kerja, ya gak dapat jaminan,” tambah Guruh.
Bagi Niko dan Mei, perjuangan buruh bukan hanya soal upah layak. Tapi, juga hak untuk bisa bekerja tanpa rasa takut saat sakit, tanpa harus menanggung beban ganda karena sistem yang abai.
Editor : Fidelis Eka Satriastanti
Discussion about this post