Jakarta, Prohealth.id – Data menunjukan dalam Survei Kesehatan Indonesia SKI (2023) sebanyak 23,4 persen penduduk di atas usia 18 tahun mengalami obesitas. Sayangnya, masyarakat masih memandang obesitas akibat gaya hidup semata. Padahal selain faktor lingkungan, sosial, faktor ekonomi juga berpengaruh besar. Contohnya harga murah minuman manis dalam kemasan (MBDK) membuatnya anak dan remaja sangat mudah untuk membeli.
Data SKI secara umum menyatakan, Indonesia mengalami tiga masalah besar terkait gizi, yaitu gizi kurang (undernutrition), kekurangan mikronutrien, dan overweight atau obesitas. Salah satu masalah yang signifikan adalah stunting pada balita mencapai 21,5 persen. Inilah yang sangat berpengaruh langsung terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Masalah gizi kurang pada balita tercatat 8,5 persen sedangkan anemia pada remaja mencapai 16,3 persen. Lalu kasus anemia pada ibu hamil 27,7 persen. Sementara itu, kasus overweight pada remaja tercatat 12,1 persen. Sisanya, kasus obesitas pada orang dewasa juga menjadi perhatian serius.
Dirjen Kesehatan Primer dan Komunitas Kementerian Kesehatan, Maria Endang Sumiwi, mengungkapkan pola makan masyarakat Indonesia saat ini memunculkan kekhawatiran terhadap kesehatan masa depan. Konsumsi protein hewani pada balita masih rendah, yakni hanya 21,6 persen. Sementara konsumsi minuman manis tinggi mencapai 52 persen, makanan asin 32 persen, dan makanan instan 11 persen. Sementara penggunaan penyedap rasa tercatat 78 persen. Bahkan temuan lain yang lebih mengagetkan, 65 persen masyarakat Indonesia cenderung tidak sarapan setiap hari.
Berkaca dari kompleksitas dan kondisi paradoks tersebut, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menggelar diskusi pada 8 Maret 2025. Kegiatan diskusi ini dalam rangka memperingati Hari Obesitas Sedunia yang jatuh pada 4 Maret 2025 lalu.
Tak sendiri, CISDI menggelar kegiatan ini bersama Unicef Indonesia, Eater Reorder, dan Kementerian Kesehatan. Kegiatan ini bertujuan mendorong pola hidup masyarakat sehat tema; ‘Mission Possible: Resep Berbuka Sehat’ di Sarinah.
Founder dan CEO CISDI Diah S. Saminarsih menyatakan, situasi sekarang perlu tindakan yang serius dengan membuat sebuah regulasi yang jelas terkait gizi dan pola makan sehat. Mengacu dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (2022) sebanyak 34,15 persen rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi MBDK. Sementara, Survei Kesehatan Indonesia (2023) mencatat 46,3 persen penduduk mengkonsumsi MBDK sebanyak 1-6 kali per minggu.
“Butuh langkah tegas untuk menekan konsumsi produk tinggi gula. Faktor lingkungan dan kebijakan justru menjadi faktor penentu kondisi kesehatan seseorang,” katanya.
Diah menerangkan lebih lanjut bahwa negara-negara lain sudah menjadikan MBDK sebagai perhatian yang penting untuk mendapat penindakan atau pengaturan. Walhasil, di beberapa negara kini terbukti berhasil mengendalikan konsumsi pangan tidak sehat dan juga MBDK.
Salah satunya melalui penerapan label peringatan depan kemasan atau front-of-package warning labeling (FOPWL) yang memudahkan konsumen menghindari produk olahan pangan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL).
Dirjen Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi sepakat dengan CISDI. Untuk itu, ia menyebut pemerintah sedang mempersiapkan skema pengenaan cukai MBDK. Jika sukses, kebijakan itu akan menjadi perhatian bagi semua kementerian terkait khususnya Kementerian Keuangan.
“Permasalahan obesitas di Indonesia masih menjadi masalah, dan trennya itu terus meningkat. Dengan kasus 3,4 juta saat ini dan bahkan 1 dari 5 anak itu sudah menderita obesitas. Ini artinya, kelebihan berat badan dan tentunya ini menjadi kewaspadaan kita.”
Diwawancara terpisah dengan Prohealth.id, Nadia menyatakan sedang melihat dan mengkaji data-data penyakit tidak menular yang berhubungan dengan resiko obesitas. Misalnya, meninjau angka peningkatan kasus penyakit tidak menular seperti; jantung, hipertensi, kemudian diabetes melitus (DM).
“Iya, karena obesitas itu bisa mengenai seluruh organ penyakit tidak menular,” ujarnya kepada Prohealth.id.
Nadia menjamin, upaya pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular (PTM) harus melalui berbagai langkah strategis. Ia menjamin, Kemenkes akan fokus pada pengurangan konsumsi gula, garam, dan lemak sebagai bagian dari strategi kesehatan masyarakat.
“Ini mencakup edukasi gizi seimbang, promosi pola makan sehat, serta peningkatan kesadaran akan risiko PTM untuk mendorong perubahan perilaku sejak dini” jelasnya.
Atasi Penyakit Tidak Menular dengan Batasi GGL
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hampir 75 persen kematian di Indonesia akibat penyakit tidak menular (PTM). Pola makan sehat sebenarnya dapat mencegah komplikasi hingga kematian. Penyakit kardiovaskular (PKV) seperti serangan jantung dan stroke menjadi penyebab utama kematian di Indonesia yang bahkan merenggut hampir 800.000 nyawa setiap tahunnya.
Menurut Prof. Asnawi Abdullah, Ph.D., Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan, kebijakan pengendalian garam dan lemak trans bukan hanya langkah kesehatan masyarakat. Tak hanya pengendalian faktor risiko, tetapi juga strategi terbukti efektif menekan laju peningkatan pembiayaan sistem kesehatan nasional.
Ia melihat beberapa negara yang telah memiliki regulasi pembatasan kadar garam dan eliminasi lemak trans dapat secara signifikan mampu menekan angka kematian akibat PKV serta berdampak positif mengurangi beban pembiayaan kesehatan nasional.
“Dengan kebijakan yang tepat, kita bisa membantu masyarakat hidup lebih sehat dan berpotensi menekan eskalasi pembiayaan belanja kesehatan yang telah mencapai 7.8 persen per tahun dalam 10 tahun terakhir ini” paparnya.
Hasil analisis efektivitas pembiayaan yang dilakukan oleh Dr. Marklund dari Johns Hopkins University dan The George Institute dengan dukungan dari Resolve to Save Lives (RTSL) menunjukkan bahwa penghapusan lemak trans dapat menghemat biaya kesehatan hingga 213 juta dolar AS dalam 10 tahun pertama. Penghematan ini bahkan maasih bisa menyelamatkan lebih dari 115.000 nyawa, jika kebijakan ini dapat mulai berlaku pada tahun 2025. Penelitian ini menegaskan bahwa kebijakan gizi untuk mencegah PTM tidak hanya dapat mengurangi kematian dini, tetapi juga menekan biaya kesehatan yang terkait dengan penyakit akibat pola makan yang buruk.
Dr. dr. Sukadiono, M.M., selaku Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, menekankan pengendalian konsumsi garam dan lemak tidak sehat memerlukan kerja sama lintas sektor.
“Kita menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, tetapi ini dapat dicegah. Pemerintah berkomitmen untuk mendorong kebijakan yang mendukung ketersediaan pilihan makanan yang lebih sehat serta meningkatkan edukasi agar masyarakat lebih bijak dalam memilih makanan yang baik bagi kesehatan mereka,” ujarnya.
Dukungan dari pemerintah daerah juga menjadi kunci keberhasilan inisiatif ini. Dr. Moh. Subuh, MPPM., Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (ADINKES), menambahkan bahwa peran pemerintah daerah sangat krusial dalam mendukung kebijakan ini.
“Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus berperan aktif dalam sosialisasi dan implementasi kebijakan ini. Dengan dukungan yang kuat dari berbagai sektor, termasuk akademisi, dan masyarakat sipil, kita bisa mempercepat pencapaian target kesehatan nasional yang lebih baik,” katanya.
Dengan kerja sama lintas sektor dan kebijakan yang kuat, Indonesia dapat mengurangi jumlah penyakit yang sebenarnya bisa dengan langkah preventif. Selain itu juga bisa mengurangi beban ekonomi akibat meningkatnya biaya pengobatan PTM.
Langkah Serius Pemerintah
Menurut Diah dari CISDI, pengentasan masalah PTM termasuk diabetes adalah dengan melaksanakan rencana cukai untuk MBDK. Menurutnya, ini adalah langkah yang baik dan harus mendapat dukungan penuh. Dia mengungkap cukai bertujuan untuk menekan angka konsumsi di masyarakat agar bisa mengurangi pola konsumsinya.
“Secara konsep cukai itu alat instrumen yang menekan konsumsi. Jika cukainya kecil maka itu akan kecil tekanannya, harganya murah.”
Ia menyebut, hal serupa pernah CISDI lakukan dengan membuat riset untuk produk rokok. Menurut Diah, produk rokok atau MBDK keduanya punya kemiripan karakter dan bentuk intervensi pasar.
Produk rokok, ada yang terdaftar dan tidak, dan di Indonesia secara umum barang-barang yang kena cukai malah harganya kurang tinggi. Riset CISDI tahun 2021 menemukan 40-50 persen kenaikan harga akan mempengaruhi pola konsumsi. Jika cukai kecil dan harga masih murah, maka orang masih bisa beli dengan mudah.
Kasus cukai rokok mirip dengan MBDK karena banyak yang berjualan produk ini di pinggir jalan. Bahkan ada yang menjual produk ini di warung rumahan.
Nadia mengaku Kemenkes saat ini tengah menjalani beberapa kajian yang mendalam untuk bisa menyelesaikan regulasi cukai MBDK. Contohnya dengan mengkaji pola konsumsi gula. Ia juga mengatakan sudah berkomunikasi dengan pihak industri membicarakan hal tersebut. Nadia menargetkan regulasi ini akan selesai di semester dua.
“Saat ini kan sudah ada draftnya pencapaiannya pola konsumsi gula juga bagaimana pencapaian. Nah terlebihan minuman itu kan ada yang terdaftar dan tidak terdaftar. Maka, yang bisa kita tindak lanjut pastinya yang terdaftar. Tetapi nanti yang tidak terdaftar juga tetap akan ditindaklanjuti,” pungkasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post