Angka stunting di Indonesia masih tinggi yaitu 24,4 persen berdasarkan data SSGI 2021, walaupun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 27,7 persen, (SSGI 2019). Sayangnya, pencapaian ini belum optimal dan masih butuh upaya untuk mencapai target penurunan stunting pada tahun 2024 sebesar 14 persen.
Tren data SSGI 2019-2021, menunjukkan stunting terjadi sejak sebelum lahir, dan meningkat paling banyak pada rentang usia 6 bulan 13,8 persen, ke 12 bulan 27,2 persen (SSGI 2019). Dalam situs resmi Kementerian Kesehatan disebutkan bahwa kondisi ini menandakan pentingnya terpenuhi gizi ibu sejak hamil, menyusui dan gizi pada MP-ASI balita.
Pada periode usia 12-23 bulan terjadi peningkatan stunting 1,8 kali lipat, akibat rendahnya asupan makanan sumber protein hewani dalam makanan pendamping ASI (MP-ASI). Hal ini selaras dengan data dari Studi Diet Total (SDT) 2014 pada tahap Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI), bahwa 23,6 persen balita 0-59 bulan dengan asupan proteinnya kurang dari 80 persen Angka Kecukupan Protein (AKP).
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Headey et.al (2018, protein hewani sangat penting untuk menurunkan stunting. Studi ini menyatakan bahwa ada bukti kuat hubungan antara stunting dan indikator konsumsi pangan berasal dari hewan, seperti telur, daging, ikan dan susu atau produk olahannya seperti; keju, yogurt, dan lainnya. Penelitian tersebut juga menunjukan konsumsi pangan berasal dari protein hewani lebih dari satu jenis lebih menguntungkan daripada konsumsi pangan berasal dari hewani tunggal.
Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2019 konsumsi telur, daging, susu dan produk turunannya di Indonesia termasuk yang rendah di dunia. Data Susenas 2022 menunjukkan rata-rata konsumsi protein per kapita sehari 62,21 gram masih diatas estándar 57 gram, tetapi konsumsi telur dan susu 3.37 gram, daging 4.79 gram dan ikan/udang/cumi/kerang hanya 9,58 persen. Peningkatan gizi masyarakat pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dengan protein hewani setiap makan akan mempercepat penurunan stunting.
Menurut Plt. Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan Ni Made Diah penyebab utama permasalahan gizi adalah asupan gizi yang tidak optimal dan infeksi berulang. Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat. Berkaca dari data Susenas, maka telur merupakan sumber protein, asam amino dan lemak sehat.
“Sedangkan susu mengandung protein dan kalsium. Makan telur matang dengan susu membuat asupan protein manusia seimbang,” ungkapnya.
Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia Prof. Hardiansyah mengatakan dasar dari pertumbuhan tulang itu ada pada tulang rawan. Zat gizi dari pangan hewani bisa membentuk tulang rawan tersebut.
“Artinya jangan hanya berpikir tentang kalsium dan mineral, tapi ketika ingin pertumbuhan tulang normal maka perlu juga protein hewani,” ucap Prof. Hardiansyah.
Asupan protein hewani pada ibu hamil sangat penting dalam mencegah stunting pada janin yang dikandungnya. Gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan menjadi salah satu penyebab utama anak lahir stunting salah satunya karena komponen gizi.
“Ini bukti pemberian telur satu butir satu hari pada anak setelah pemberian ASI eksklusif itu menurunkan risiko stunting,” ungkapnya.
Wakil Ketua Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Prof. dr. Budi Wiweko, Sp.OG menjelaskan pentingnya protein hewani dalam 270 hari pertama kehidupan atau 9 bulan dapat mencegah anak dari stunting. Namun yang juga lebih penting dalam mencegah anak lahir stunting adalah 100 hari sebelum terjadinya kehamilan atau persiapan kehamilan. Pada masa tersebut calon ibu dianjurkan mengonsumsi tinggi protein untuk persiapan sel telur dan sperma yang berkualitas, sehingga menghasilkan embrio yang baik dan janin yang berkualitas.
“Konsumsi tinggi protein hewani selain mencegah stunting juga dapat menurunkan morbiditas maternal dan perinatal dan mencegah terjadinya pertumbuhan janin terhambat, mencegah terjadinya eklamsia berat,” ungkapnya.
Ketua Umum PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso menambahkan pada anak-anak ketika tumbuh kembang ada satu ‘saklar’ pertumbuhan yaitu ‘m TOR-C ‘.
“Tanda pertumbuhan m TOR-C hanya akan dinyalakan ‘saklar’ pertumbuhannya ketika kadar asam amino dalam darahnya itu cukup tinggi dan asam amino esensial ini sumbernya adalah dari protein hewani,” ujar dr. Piprim.
Sementara itu, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menjelaskan kepada para pimpinan daerah untuk mencegah stunting sebagai prioritas saat ini. Salah satunya dengan melakukan intervensi spesifik pada ibu sejak remaja dan intervensi spesifik pada anak di usia 6 bulan sampai 24 bulan.
“Stunting saya pesannya cuman dua yaitu intervensi spesifik pada ibu sejak remaja dengan memberikan tablet tambah darah dan pada anak usia 6 sampai 24 bulan dengan memberikan protein hewani pada MPASI,” ujar Budi.
Dia mengingatkan, stunting sebagai penyakit kurang gizi yang mengakibatkan rendahnya IQ anak sebesar 20 persen di bawah rata-rata. Oleh karena itu, jika sumber daya manusia (SDM) di suatu daerah memiliki IQ rendah maka pendapatan daerah akan rendah juga.
“Jadi kalau kita mau maju, pendapatannya tinggi, jangan sampai stunting. Karena kalau stunting itu intelektualnya 20 persen lebih rendah.”
Untuk mencegah stunting, Budi meminta semua pejabat publik segera melakukan intervensi spesifik agar jangan ada ibu di usia remaja mengalami anemia. Intervensi dilakukan dengan memberikan tablet tambah darah dan memastikan tablet tersebut diminum.
Upaya lain yang juga penting adalah dengan memberikan protein hewani melalui MPASI sejak anak usia 6 sampai 24 bulan. Selain itu, orang tua wajib melakukan pemantauan dan pemeriksaan tumbuh kembang anak.
“Caranya adalah jika berat badan anak tidak naik maka harus langsung kirim ke puskesmas untuk diintervensi dan diberi makanan tambahan selama 14 hari,” tegas Budi.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post