Jakarta, Prohealth.id – Indeks Kemiskinan Multidimensi/Multidimensional Poverty Index (MPI) global terbaru, yang oleh UNDP menyatakan Indonesia pernah berhasil menorehkan kemajuan dalam pengentasan kemiskinan sebelum pandemi Covid-19 namun angka ini kembali memburuk akibat pandemi ditambah beban biaya jaminan kesehatan karena konsumsi rokok tak terkendali.
Indeks kemiskinan ini tidak hanya mencakup penghasilan tetapi juga meliputi akses ke air bersih, pendidikan, listrik, makanan dan enam indikator lainnya.
Bertepatan dengan Hari Internasional untuk Pemberantasan Kemiskinan yang jatuh pada 17 Oktober 2021 lalu, Prohealth.id mencatat, sekitar 3,6 persen dari total penduduk Indonesia atau setara dengan 9,5 juta orang miskin secara multidimensi, sementara 4,7 persen selebihnya yakni 12,8 juta orang, rentan terhadap kemiskinan multidimensi menurut data tahun 2017. Pada tahun 2012, sekitar 6,9 persen dari total penduduk Indonesia atau 17 juta orang, tergolong miskin secara multidimensi.
MPI menganalisis 10 indikator dalam berbagai dimensi dengan bobot yang sama, termasuk kesehatan, pendidikan dan standar hidup, serta membantu mengidentifikasi populasi miskin serta penyebab kemiskinan. Dimensi kesehatan dan pendidikan berasal dari dua indikator sedangkan taraf hidup berdasarkan pada enam indikator. Dalam kasus Indonesia, MPI menggunakan sembilan dari 10 indikator, namun tanpa informasi tentang gizi karena kurangnya data yang tersedia.
Nilai MPI yang merupakan proporsi penduduk miskin secara multidimensi yang disesuaikan dengan intensitas kemiskinan adalah sebesar 0,014, menunjukkan perbaikan dibandingkan data terakhir pada tahun 2012 sebesar 0,028.
COVID-19 MEMPERPARAH KEMISKINAN
Meskipun MPI terbaru menyajikan temuan yang menggembirakan, studi yang dilakukan oleh UNDP Indonesia di puncak pandemi pada tahun 2020 memberikan gambaran yang lebih suram. Survei Rumah Tangga yang dilakukan oleh UNDP bekerja sama dengan UNICEF, Kemitraan Australia Indonesia untuk Pembangunan Ekonomi (Prospera), dan lembaga Penelitian SMERU mencatat bahwa dampak Covid-19 telah menyebabkan kemunduran yang signifikan terhadap upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Menurut penelitian, penurunan pendapatan dan peningkatan pengeluaran telah membuat rumah tangga yang disurvei, yang berada di kelompok 40 persen terbawah dalam masyarakat, menjadi lebih miskin dan bahkan lebih rentan.
Lebih lanjut, indikator dari Badan Pusat Statistik, BPS, mencatat bahwa pandemi telah menyebabkan kemunduran berbagai pencapaian pengentasan kemiskinan di Indonesia. Tingkat kemiskinan secara keseluruhan mencapai angka dua digit yaitu 10,19 persen per Agustus 2020. Angka itu membaik sedikit menjadi 10,14 persen pada Maret 2021.
Temuan ini lebih lanjut ditegaskan dalam laporan Voluntary National Review 2020 yang diterbitkan oleh Kementerian PPN/Bappenas yang menyatakan bahwa pandemi semakin memperparah ketimpangan. Rasio Gini Indonesia turun dari 0,402 pada tahun 2015 menjadi 0,380 pada tahun 2019, namun angka tersebut meningkat pada tahun 2020 menjadi 0,385. Pada Maret 2021, berada di 0,384.
Norimasa Shimomura, Kepala Perwakilan UNDP Indonesia menjelaskan, Indeks Kemiskinan Multidimensi memberikan perspektif tentang kemiskinan yang tidak hanya mencakup pendapatan. Meskipun laporan ini menunjukkan beberapa kemajuan di antara kelompok-kelompok paling rentan di Indonesia sebelum pandemi, lebih dari satu juta orang berpotensi jatuh ke dalam kemiskinan.
“Oleh karena itu, kita harus meningkatkan upaya untuk menyiapkan lebih banyak sumber daya untuk memberdayakan masyarakat rentan yang terjerumus ke dalam kemiskinan,” kata katanya.
Laporan MPI terbaru juga mengeksplorasi bagaimana pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung telah mempengaruhi tiga indikator pembangunan utama – perlindungan sosial, mata pencaharian dan kemampuan untuk bersekolah – dalam kaitannya dengan kemiskinan multidimensi.
Meskipun data lengkap tentang dampak pandemi terhadap MPI belum tersedia, data tersebut telah mengungkap kekurangan dalam sistem perlindungan sosial, pendidikan, dan kerentanan pekerja di seluruh dunia. Laporan tersebut menunjukkan bahwa kekurangan ini terutama terjadi di negara-negara dengan tingkat MPI yang lebih tinggi.
Indeks Kemiskinan Multidimensi disusun oleh UNDP dan Oxford Poverty and Human Development Initiative. Laporan terakhir mencakup 109 negara berkembang. Menggunakan klasifikasi UNDP untuk negara berkembang, MPI mencakup total 80 negara berpenghasilan menengah, termasuk 13 dari 26 negara di Asia Timur dan Pasifik.
KONSUMSI ROKOK MENAMBAH BEBAN
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin mencapai 27,54 juta orang. Kepala BPS Margo Yuwono menerangkan, hal ini disebbakan rokok masih menjadi komoditas penyumbang terbesar kedua dalam perhitungan garis kemiskinan setelah beras. Lebih lanjut, dia memerinci bahwa garis kemisikinan pada Maret 2021 naik 2,96 persen dari Rp458.947 per kapita/bulan pada September 2020 menjadi Rp472.525 per kapita/bulan. Garis kemiskinan merupakan pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan nonmakanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.
Dikutip dari Suara.com, Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (Kabar) Ariyo Bimmo menyebutkan, saat ini ada sejumlah hal yang menjadi tantangan dalam upaya penurunan prevalensi perokok serta efek konsumsi tembakau di Indonesia. Salah satunya adalah paradigma yang masih lebih berpusat pada bebas risiko (zero risk) dibanding mengurangi risiko atau bahaya (risk/harm reduction).
“Paradigma tanpa bahaya (zero risk) masih lebih kuat dibanding pengurangan risiko (risk/harm reduction),” ujarnya dalam acara 4th Scientific Summit on Tobacco Harm Risk, Rabu (13/10/2021) lalu.
Sebelumnya, Penelitian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 2019 sudah menunjukkan konsumsi rokok dapat menyebabkan kerugian ekonomi, khususnya sistem kesehatan dan keluarga hingga mencapai Rp27,7 triliun. Teguh Dartanto, Penyelidik Utama dan Pj. Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menjelaskan, pndemi Covid-19 meningkatkan urgensi penguatan pembiayaan kesehatan. Padahal, sebelum pandemi terjadi, Indonesia telah terbebani secara finansial untuk membiayai pengobatan penyakit terkait kebiasaan merokok.
“Kami melakukan penelitian ini untuk menyediakan perhitungan terkini tentang seberapa besar beban biaya yang harus ditanggung untuk pengobatan penyakit akibat rokok,” terangnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, CISDI telah memeriksa sumber permasalahan dalam struktur pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K). CISDI menggunakan pendekatan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghitung smoking attributable direct expenditure (SDE). Datanya mengacu pada Susenas 2019, Klaim BPJS, Riskesdas 2018, Indeks Harga Konsumen, dan Populasi BPS.
Beberapa temuan selama penelitian adalah 61,4 juta penduduk Indonesia merupakan perokok aktif dan pasif, mencakup 68 persen prevalensi perokok laki-laki dan 32 persen perokok perempuan. Selain itu, 9,1 persen prevalensi perokok usia 10-18 tahun. Ketika prevalensi perokok meningkat, maka beban biaya kesehatan akibat rokok terhadap seluruh populasi di Indonesia turut meningkat.
Selama tahun 2019, BPJS-K telah mengalokasikan setidaknya Rp10,5 triliun hingga Rp15,5 triliun untuk menambal biaya kesehatan penyakit terkait rokok yang mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,6 triliun. Biaya rawat inap dan rujukan menjadi komponen pembiayaan tertinggi mencapai 49 persen hingga 51 persen dari total beban biaya.
Ternyata, penyebab sebagian defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah penyakit yang timbul akibat rokok selama beberapa dekade ke belakang. Angka tanggungan BPJS-K tersebut mewakili sekitar 61,76 hingga 91,8 persen dari biaya defisit total JKN.
Jika melihat estimasi biaya tanggungan BPJS-K per orang yang pernah merokok, ada kenaikan biaya kesehatan yang signifikan pada individu di kelompok usia 50-59 tahun mencapai Rp6,3 triliun. Mencegah inisiasi merokok pada usia muda akan menguntungkan secara ekonomi karena mampu mengurangi beban biaya kesehatan di masa depan.
Besarnya biaya kesehatan untuk penyakit akibat rokok jauh melampaui alokasi (dana bagi hasil cukai dan hasil tembakau (DBHCHT) serta pajak rokok daerah untuk pembiayaan kesehatan.
Teguh menjelaskan, beban biaya kesehatan Indonesia untuk penyakit terkait rokok sangat tinggi. Akibatnya, BPJS-K harus menanggung proporsi biaya yang besar. Bahkan, proporsi tersebut akan semakin besar jika masyarakat tidak mengurangi konsumsi rokok. Terlebih, kebijakan alokasi penerimaan cukai rokok untuk pembiayaan JKN belum cukup menanggung biaya kesehatan pernyakit terkait rokok.
Oleh karena itu, penelitian ini memberikan beberapa usulan untuk mengatasinya.
Pertama, soft earmarking penerimaan cukai untuk JKN. Saat ini, alokasi penerimaan cukai untuk JKN sangat rendah sehingga perlu ada amandemen kebijakan untuk memperbesar alokasi tersebut.
Kedua, menaikkan tarif dan harga jual eceran (HJE) minimum yang signifikan dan menyederhanakan golongan cukai. Langkah ini bertujuan mengurangi konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai JKN di masa depan.
Ketiga, memperkuat kebijakan selain harga (non-price factor) yang dapat mengurangi konsumsi rokok dan mencegah inisiasi merokok pada usia muda.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post