Berdasarkan data pelaporan melalui layanan SAPA milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2022 ada 970 aduan kasus kekerasan kepada anak.
Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Ciput Eka Purwianti menjelaskan tingginya kasus kekerasan bukan tanpa alasan. Pasalnya, sejak layanan SAPA yang digunakan untuk melaporkan kasus kekerasan pada anak pada 2021 lalu, Kementerian PPPA menerima ledakan laporan.
“Artinya ini seperti fenomena gunung es, selama ini tidak diketahui,” kata Ciput dalam seminar daring tersebut, 7 Februari 2023 bertepatan dengan Hari Internet Aman Sedunia.
Pencatatan ini juga berbanding lurus dengan maraknya pemberitaan di media massa tentang kekerasan fisik dan seksual pada anak, khususnya pemberitaan eksploitasi seksual anak secara daring (online). Memang dari 970 kasus tercatat tahun lalu, kejahatan seksual mencatatkan kasus terbanyak baik secara luring maupun daring.
“Untuk yang secara daring, dilakukan non-kontak. Biasanya anak diminta mengirimkan konten-konten seksual melalui daring. Misalnya foto telanjang, dan sebagainya,” kata Ciput.
Pendataan yang diterima Ciput diakui tidak hanya terjadi di kota saja. Banyak kasus kekerasan kepada anak secara daring yang terjadi justru di wilayah rural atau pedesaan.
Dikutip dari situs Child Rights Digital, sejak konvensi anak yang disahkan oleh PBB pada 1989, lingkungan tumbuh kembang anak saat ini mengalami perubahan yang signifikan. Maka menjadi penting untuk membuat panduan bagi tumbuh kembang anak yang aman di dunia digital.
Adapun anak adalah orang dengan usia di bawah 18 tahun, yang mana pada saat ini termasuk adalah populasi aktif pengguna internet. Artinya, anak-anak masa kini sudah fasih berinteraksi dengan layanan digital seperti konten, apliksi, software, layanan komersil dan layanan publik.
Setidaknya untuk menjaga iklim sehat anak di ruang digital, ada enam area yang menjadi wilayah hak-hak anak yaitu; aksesibilitas, kebebasan berekspresi, keamanan data dan privasi, lierasi digital dan edukasi, keamanan dan perlindungan anak sesuai dasar HAM.
Beberapa hal yang wajib menjadi prioritas perlindungan anak antara lain; tidak ada diskriminasi dan keadilan akses bagi anak di ruang digital, peruntukan konten yang spesifik sesuai kebutuhan anak atau dirancang khusus untuk anak, lalu hak hidup dan beraktivitas di media digital tanpa ancaman kekerasan seksual, kekerasan data pribadi, dan ragam kekerasan lain.
Ruang digital juga wajib menciptakan ruang yang ramah dan mengakomodasi perspektif anak, lalu meningkatkan kapasitas atau kemampuan teknologi anak, perlindungan dari keluarga, jaminan bagi anak dengan disabilitas, dan jaminan keamanan serta jaminan sosial dari ancaman ekonomi. Sebut saja seperti penipuan online dan sejenisnya.
Menurut Ali Aulia Ramly selaku Pakar Perlindungan Anak dari UNICEF, pada September 2022 lalu, UNICEF meluncurkan riset berjudul ‘Disrupting Harm in Indonesia’ tentang bukti eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara daring. Temuannya cukup mencengangkan, sebanyak 92 persen responden usia 12-17 tahun adalah pengguna aktif internet di Indonesia. Bahkan 100 persen anak menggunakan ponsel pintar untuk daring.
“Ada 79 persen anak yang mengaku, membahas seks atau perilaku seksual dengan orang lain secara daring dianggap sebagai hal yang sangat berisiko. Ada 2 persen pengguna internet usia 12-17 tahun yang mengaku menjadi korban eksploitasi dan perlakuan seksual salah secara daring,” ujar Ali.
Lanskap kerentanan anak di dunia digital membuat pemerintah mau ak mau harus segera bertindak. Salah satunya dengan program nyata melibatkan orang tua, pengasuh, dan anak sendiri, untuk mengawal perlakuan buruk di media digital. Hal ini penting terutama untuk membantu anak melakukan manajemen aktivitas di dunia digital karena anak masa kini banyak menghabiskan waktu secara daring.
“Kadang orang tua tidak paham dan harus ditanamkan kembali termasuk mengembangkan komunikasi aman dengan anaknya. Tidak hanya saat anak mengalami masalah,” ujar Ali.
Kondisi ini makin krusial mengingat riset menemukan rata-rata anak korban kekerasan seksual secara daring tidak terbuka atau melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua. Padahal mayoritas pelaku berasal dari lingkungan orang yang dikenal.
“Mereka tak mau melapor, tidak tahu mau melapor kemana, mereka bahkan ada yang tidak tahu apa yang mereka alami adalah perlakuan salah dan bentuk eksploitasi. Sebagian lagi tidak melapor karena malu dan takut,” jelasnya.
Ali menegaskan adanya budaya diam dan stigma dalam masyarakat terhadap anak-anak korban kekerasan seksual sebagai ‘anak nakal’ ikut menjadi alasan anak bungkam atas kasus yang dia alami. “Budaya diam membuat kalau tidak melaporkan maka orang tua juga tidak melaporkan ke pihak berwenang,” terang Ali.
Sebagai pakar keamanan tumbuh kembang anak, Ali menegaskan penting bagi orang tua membangun dialog terbuka dengan anak. Dialog juga harus terbangun antar anak dalam pergaulan. Dengan dialog dan terbangun kepercayaan, maka informasi tentang adanya layanan pelaporan dan rehabilitasi kasus kekerasan seksual bisa dimanfaatkan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
“Tips juga orang tua tidak boleh melarang atau menekan anak mengurangi aktivitas mereka di media digital. Larangan itu malah berpotensi membuat anak menjadi gagap teknologi,” tutur Ali.
Tanggung jawab regulator, platform, dan sekolah
Head of Government Affairs & Public Policy YouTube wilayah Indonesia dan Asia Selatan, Danny Ardianto menjelaskan untuk menjamin keamanan anak selama beraktivitas daring di Youtube, perusahaan ini sudah membuat manajemen menanggulangi konten berbahaya.
“Jadi ada proteksi sistem secara otomatis sudah masuk untuk kebijakan platform Youtube,” jelas Danny.
Dia menjelaskan, keluarga yakni orang tua bisa menyeleksi konten untuk anak sesuai usia. Misalnya, label available for kids untuk 18 tahun ke atas, ada juga khusus untuk 13 tahun ke atas, ada yang kids friendly ataupun designed for kids yang mana konten ini mendapat label konten khusus untuk anak. Danny menyebut, ada fitur Youtube yang membantu keluarga untuk menyusun kebiasaan digital bersama yang sehat, utamanya untuk mitigasi anak konsumsi konten buruk, misalnya pornografi.
Jejen Musfah selaku Wakil Sekjen PGRI dan Pemimpin Redaksi Majalah Suara Guru menjelaskan, kekerasan seksual secara daring juga bisa dilakukan oleh sesama anak-anak akibat kecanduan pornografi. Oleh karena itu, pendidikan seks di sekolah bisa dilihat dalam beberapa hal. Pertama, kurikulum yang artinya pendidikan seks tidak menjadi mata pelajaran khusus, sehingga perlu dikaji ulang. Hanya ada penjelasan tentang seksualitas yang termuat dalam mata pelajaran biologi, dan pendidikan agama tentang nilai baik-buruk, benar-salah, dan hubungan sehat dengan lawan jenis. Jejen menyebut, nilai-nilai agama yang diajarkan sudah relevan dengan penghargaan dan penghargaan atas tubuh anak.
“Maka seandainya guru biologi dan guru pendidikan agama bersinergi dan bersepakat tentang pendidikan seks, maka anak-anak akan memahaminya dengan baik,” jelas Jejen.
Guru harus sepakat bahwa materi mereka harus fokus pada narasi pendidikan seks, karena ketidaktahuan tentangnya lebih berbahaya dibanding mengetahuinya.
Kedua, habituasi misalnya dengan amanah saat upacara perlu memuat tentang pendidikan seks sehingga narasi ini dipahami dengan sangat baik oleh anak-anak. Begitu pula dalam kegiatan ekstrakurikuler memuat materi pendidikan seksual. Nilai-nilai yang inheren dalam kegiatan ekskul dikaitkan dengan upaya-upaya pendidikan seks atau pencegahan kekerasan seksual, seks pranikah, dan lainnya.
Ketiga, pakar melalui seminar dan workshop juga perlu menghadirkan para pakar, jurnalis, dan pemerintah yang konsen terhadap isu-isu pendidikan seks. “Sekolah saja tidak akan cukup untuk menghasilkan pemahaman yang baik bagi siswa tentang pendidikan seks ini. Karena interaksi siswa dengan konten internet yang buruk sangat intens, tetapi sedikit mendapatkan komunikasi yang baik dan interaksi positif dengan orang tua dan guru-guru mereka,” ungkap Jejen
Keempat, lingkungan khususnya teman sebaya siswa harus tetap dipantau oleh orang tua dan guru. Ini juga berlaku dalam meninjau konten-konten internet harus difilter sehingga aman bagi anak-anak.
“Keterlibatan pemerintah dan dunia industri internet sangat diharapkankontribusinya. Konten media sosial dan televisi harus memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak, bukan malah mendorong pergaulan bebas dan kebebasan bergaul,” sambung Jejen.
Orang tua tidak boleh acuh dalam nilai-nilai relasi lawan jenis yang perlu diajarkan kepada anak. Sehingga ada kerjasama yang baik maka anak-anak bisa terhindar dari kekerasan seksual, termasuk seks pra nikah dan pergaulan bebas.
Sementara itu, menurut Dr. Karen Muller, Perwakilan Pakar Psikologi Anak dari Afrika Selatan UNICEF menambahkan, fenomena kekerasan pada anak di dunia digital membuka mata bahwa ada kebutuhan ekstra perlindungan anak. Meski begitu, penting untuk melakukan pendampingan dan menggali alasan-alasan anak beraktivitas secara daring.
“Anak-anak itu sebenarnya membutuhkan perhatian, dan secara serius kita perlu memberikan jaminan perlindungan,” jelas dr. Karen.
Untuk itu dalam melakukan pendampingan diperlukan kepercayaan anak yang dibangun dengan relasi yang harmonis dan kuat antara anak dan orang tua. Jangan sampai anak merasa diabaikan sehingga pergaulan di internet menjadi jalan keluar yang justru lebih membahayakan bagi kondisi psikologis mereka.
“Hubungan ini bukan berbentuk protektif misalnya sampai mengontrol akun-akun media sosial mereka, Instagram, dan sejenisnya. Tetapi bagaimana kita juga memberikan kepercayaan pada anak untuk bisa mengekspresikan eksistensi mereka dengan sehat di dunia maya,” ujar Karen.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post