Kasus kekerasan seksual pada anak-anak di Indonesia memang sangat mencemaskan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pun mendorong hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan seksual di Lembaga pendidikan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga pun mengecam tindakan kekerasan seksual yang dilakukan pengasuh pondok pesantren terhadap 25 santri perempuan di Batang, Jawa Tengah. Polres Batang telah menetapkan pelaku sebagai tersangka dalam perbuatan tersebut.
“Pelaku layak dihukum seberat-beratnya dan mendapat hukuman maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Orang tua mempercayakan anaknya untuk dididik dalam sebuah lembaga pendidikan agar menjadi anak yang cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia; tetapi justru mengalami kekerasan seksual dari oknum pendidiknya,” kata Bintang melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (21/4/2023).
Bintang mengapresiasi penanganan hukum yang dilakukan Polres Batang dan berharap kasus tersebut diproses dengan mempertimbangkan aspek keadilan bagi korban. Merujuk pada Padal 81 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, pelaku dapat diancam hukuman pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidana denda paling banyak Rp5 miliar. Selain itu, pelaku juga dapat dikenakan pidana tambahan berupa tindakan kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga berfokus pada penanganan korban. Berdasarkan koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Tengah, dari 25 anak yang menjadi korban terdapat 21 anak mengalami persetubuhan dan empat anak mengalami pencabulan yang diduga terjadi dalam rentang 2019 hingga 2023.
“Korban telah mendapatkan pendampingan hukum berupa pelaporan dan pemeriksaan visum di kepolisian oleh DP3AP2KB Kabupaten Batang, mendapatkan pemulihan psikis awal dari psikolog Polda Jawa Tengah, dan pemulihan trauma dari tenaga pekerja sosial Sentra Terpadu Kartini Temanggung. Kementerian akan terus memastikan para korban mendapatkan pelindungan dan rasa aman serta proses pendidikannya tidak terbengkalai,” tuturnya.
Menurut Bintang, korban berhak mendapatkan restitusi. Hal itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Restitusi, Kompensasi, Bantuan Saksi dan Korban, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyatakan korban kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Sedangkan Ayat (2) Pasal yang sama menyatakan restitusi merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat kekerasan seksual, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat kekerasan seksual.
Bintang mendorong seluruh pihak yang berada dekat dengan lingkungan korban membantu pemulihan dengan tidak memberikan stigma negatif kepada korban dan mengajak seluruh masyarajat untuk berani melapor bila mengalami, mendengatr, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan untuk mencegah lebih banyak korban.
Discussion about this post