Jakarta, Prohealth.id – Pada 25 April 2023 lalu, dunia memperingati Hari Malaria Sedunia atau ‘World Malaria Day’. Berdasarkan data ‘World Malaria Report’, tahun 2022 lalu jumlah kasus di dunia amat fantastis. Pasalnya, ada 247 juta kasus baru malaria di tahun 2021, naik dari angka tahun 2020 yaitu 245 juta di tahun 2020.
World Malaria Report juga menuliskan bahwa di Indonesia antara 2020 dan 2021 ada peningkatan kasus, begitu juga dengan peningkatan kasus di India, Myanmar, Korea Utara dan Bangladesh. Laporan ini juga menggambarkan tentang negara-negara di Asia Tenggara yang beragam. Misalnya, pada 2021 Timor-Leste sudah melaporkan tidak ada kasus lagi ‘zero malaria cases’, sementara negara dengan tanpa kematian akibat malaria ‘zero malaria deaths’, adalah Bhutan, Korea Utara, Thailand dan Timor-Leste.
Berkaca dari situasi tersebut menurut Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI semua negara lain di WHO Asia Tenggara menunjukkan penurunan kematian yang cukup tinggi, 40 persen atau lebih, kecuali Indonesia yang hanya menunjukkan penurunan kematian di bawah 25 persen.
Data dari laman WHO Indonesia menunjukkan bahwa diperkirakan ada 1.412 kematian akibat malaria pada 2021 di Indonesia, lalu ada 811.636 estimasi kasus malaria baru pada 2021 di Indonesia serta 89 persen dari kasus malaria di Indonesia terjadi di Papua.
“Di dunia, dan tentunya juga di Indonesia, dikenal program “3 i” dalam penanggulangan malaria, yaitu investasi, inovasi dan implementasi,” katanya.
Berkaitan dengan investasi, data dunia menunjukkan kesenjangan yang terus meningkat antara dana yang tersedia dan yang dibutuhkan. Misalnya World Malaria Report 2022 disebutkan dana setahun yang dibutuhkan dunia adalah US$7,3 miliar dolar sementara yang tersedia hanyalah US$3,5 miliar dolar.
“Jadi ada gap US$3,8 miliar, ini meningkat dibandingkan gap tahun 2019 sebesar US$2,6 miliar dan di tahun 2020 sebesar US$3,5 miliar.”
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara ini menerangkan, inovas untuk diagnosis sedang dikembangkan alat baru yang dapat mengatasi delesi gen HRP2/3 serta juga diagnosis melalui saliva dan urin. Penelitian Vaksin malaria juga berkembang, salah satu yang cukup menjanjikan adalah R21 yang merupakan jenis vaksin S. Berbagai obat malaria baru juga terus diteliti, termasuk yang sifatnya non-ACT dan juga triple ACTs. Untuk pengendalian vektor maka ada sekitar 28 produk yang sedang diteliti.
“Sesudah investasi dan inovasi maka kini yang paling penting adalah bagaimana implementasi. Kita tentu berharap agar Indonesia juga dapat mengatasi kesenjangan investasi anggaran untuk malaria, kita juga perlu ikut dalam perkembangan ilmu dalam inovasi penanggulangan malaria dan yang paling penting adalah melakukan implementasi di lapangan agar malaria dapat dikendalikan,” ujar mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Mantan Kabalitbangkes Kemenkes ini.
Discussion about this post