Selama dua pekan terakhir, masyarakat Indonesia terpikat dengan fenomena seorang perempuan tuna netra, Putri Ariani, yang mendapatkan apresiasi Golden Buzzer dalam America’s Got Talent. Tak tanggung-tanggung, viralnya Putri Ariani tak lepas dari komentar juri America’s Got Talent yang sebelumnya pernah mengisi ajang American Idol, yaitu Simon Cowell. Putri Ariani spontan menciptakan ‘Putri Ariani Effect’, menjadi trending di media sosial pada 30 negara.
Sontak, pejabat publik berbondong-bondong memberikan insentif, apresiasi, hingga bantuan pendidikan untuk Putri Ariani. Kebiasaan karitatif ini menyumbang banyak kritik karena dipandang menjadikan momentum kesuksesan Putri Ariani untuk kepentingan politik.
Koordinator Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas, Maulani A. Rotinsulu mengapresiasi kesuksesan Putri Ariani di kancah global. Meski demikian, Maulani menilai respon masyarakat dan pemerintah terhadap kesuksesan Putri Ariani sesungguhnya masih menunjukkan ketimpangan perspektif soal penyandang disabilitas di Indonesia.
“Raising awareness [membangun kesadaran] terhadap pemberdayaan penyandang disabilitas di Indonesia itu masih lemah. Diskriminasi itu masih tebal. Terlihat dari kasus Putri Ariani ini,” ujar Maulani kepada Prohealth.id saat ditemui di kantor Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Senin (19/6/2023).
Menurut mantan ketua HWDI respon berlebihan terhadap fenomena ‘Putri Ariani Effect’ memang layak menjadi bahan refleksi kritis lebih lanjut. Dia menilai justru, fenomena ini menandakan ada hal yang menjadi prioritas dalam proses pemberdayaan penyandang disabilitas di Indonesia saat ini adalah perubahan sikap. Caranya, hanya bisa dilakukan dengan perubahan paradigma berpikir. Ia menilai, hanya dengan perubahan paradigma, melepas stigma negatif, akan terbangun perilaku yang setara terhadap penyandang disabilitas.
Ia menilai, ciri diskriminasi misalnya pada kasus Putri Ariani adalah respon masyarakat biasa yang tidak mengerti tentang kesetaraan. Putri Ariani, mendapat label hebat karena dia seorang tuna netra. Ketika ia sukses menyabet Golden Buzzer, ia mendadak sangat istimewa bagi masyarakat. Padahal ini bisa jadi karena dasar kesadaran masyarakat dan pemerintah yang sejak awal tidak setara.
“Penyandang disabilitas masih dibawahnya masyarakat biasa. Jadi begitu penyandang disabilitas berhasil, itu jadi keistimewaan. Kalau masyarakat biasa, lakukan sesuatu, itu keberhasilan dia, pendidikan dia bagus. Kalau disabilitas, segalanya bisa jadi over,” terang Maulani.
Kondisi ketimpangan ini memang disebut dengan ‘inspirational porn’ atau pornografi inspirasi, yang dipopulerkan oleh Stella Young, perempuan disabilitas asal Australia. Menurut Stella, media yang bias cenderung mengobjektifikasi penyandang disabilitas sebagai inspirasi bagi non-disabilitas. Maulani yakin, penilaian Simon Cowell atas Putri Ariani juga tidak bias karena kondisinya sebagai disabilitas netra, sebaliknya, penilaian Simon Cowell murni bentuk kekaguman dan apresiasi atas talenta dan kemampuan musik yang dimiliki Putri.
“Makanya, dalam kasus Putri Ariani persepsinya adalah, dia tuna netra lho, tapi bisa keren gitu ya? Jadi tidak dilihat sebagai orang biasa,” ujar Maulani.
Sementara itu Jasra Putra, selaku Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sekaligus Koordinator Pokja RUU Kesehatan KPAI justru memberikan pendapat yang berbeda. Ia merespon bahwa kesuksesan Putri Ariani menandakan, ketika anak disabilitas dan non disabilitas bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, tumbuh kembang sang anak akan optimal seperti Putri. Hal ini tak lepas dari pernyataan orang tua Putri Ariani bahwa sang anak perempuan memang lahir pada usia 6 bulan.
Seperti yang diketahui, kelahiran prematur tidak hanya berbahaya bagi bayi, tetapi juga bagi ibu yang mengandung. Kelahiran prematur bahkan berpotensi menyebabkan kematian pada ibu maupun pada janin atau bayi. Dalam dinamika perumusan dan menuju pengesahan RUU Kesehatan, Jasra juga mengimbau pemerintah tidak boleh abai dengan pasal-pasal yang harus mewajibkan deteksi dini kesehatan janin dalam kandungan.
“Bahkan kalau Undang Undang Perlindungan Anak, yang disebut anak dinyatakan sejak dalam kandungan hingga 18 tahun. Artinya, kandungan dihitung sebagai anak memperprasyaratkan perlindungan anak sejak dari perencanaan. Agar rahim yang akan melaksanakan tugasnya, siap, maksimal, optimal dalam melahirkan generasi unggul,” terang Jasra.
Dengan jaminan dan intervensi tersebut, Jasra menilai Indonesia akan lebih siap mencetak generasi emas.
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria FK Lawi
Discussion about this post