Berdasarkan laman resmi kemkes.go.id, autisme adalah sebuah gangguan kejiwaan yang memerlukan proses pendeteksian dini agar tertangani dengan tepat. Hal ini penting, karena semakin cepat terdeteksi, anak bisa mendapatkan akses penanganan dan dukungan lebih cepat. Kualitas hidup anak dengan gangguan autisme pun bisa membaik.
Dalam rangka menyambut Hari Peduli Autisme Sedunia yang jatuh pada 2 Mei 2024, Kementerian Kesehatan, bersama dengan komunitas orang tua dari anak penyandang autis mengadakan sebuah webinar yang bertema ‘Moving From Surviving to Thriving: Autistic Individuals Share Regional Perspectives’. Dengan menghadirkan beberapa narasumber dari berbagai latar belakang, webinar ini bertujuan meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap masalah kejiwaan khususnya terkait gangguan autisme.
Tidak hanya prevalensi dan penyebab dari gangguan, pada webinar tersebut, Kementerian Kesehatan juga menekankan peran dukungan orang tua dan lingkungan sebagai aspek penting dalam proses tumbuh kembang anak dengan gangguan autisme. Untuk itu, turut hadir dokter spesialis kejiwaan hingga psikolog klinis anak dalam proses diskusi tersebut.
Kenali gejalanya dan tangani sejak dini
Mengenali penyebab gangguan autisme sangat penting. Ketika membuka acara tersebut, drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid., Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, memberikan pengantar terkait apa itu autisme secara garis besar.
Autisme atau yang secara resmi disebut Gangguan Spektrum Autisme (GSA) adalah suatu gangguan neurologis atau saraf otak yang kompleks. Gangguan ini dapat mempengaruhi perkembangan anak dalam tiga area yaitu, area bahasa, area sosialisasi, dan juga area perilaku.
“Intinya, gangguan autisme dapat terlihat apabila memang ada kesulitan dalam proses interaksi sosial” ucap drg. R. Vensya.
Melanjutkan sesi diskusi pada webinar tersebut, Dr. dr. Suzy Yusna Dewi, Sp.KJ(K), MARS mengatakan, bahwa sebenarnya, mendeteksi gejala autisme sudah bisa dilakukan dari bayi berusia 3 bulan. Hal ini bisa terlihat dari beberapa aspek meliputi kontak mata dan juga respon motorik lainnya. Apabila hal ini tidak ada, orang tua bisa berkonsultasi dengan dokter untuk memeriksa penyebab pastinya.
Selain itu, menurut dr. Suzy, orang tua juga perlu waspada apabila gejala ini baru ada saat anak sudah berusia 2 tahun. Bisa jadi, ada kemungkinan kemunduran perkembangan (regresif) yang menjadi penanda adanya gangguan autistik pada anak.
Melengkapi informasi ini, Dr.dr.Martira Maddeppungeng,Sp.A(K), seorang dokter spesialis anak menambahkan bahwa, kewaspadaan ini menjadi hal yang sangat penting untuk orang tua. Menurutnya, apabila diagnosa bisa lebih cepat, penentuan intervensi juga bisa mulai sejak dini. Perencanaan perkembangan anak dengan autisme pun dapat optimal.
Penyebab dari gangguan ini sebenarnya tidak pasti. Melanjutkan informasi soal pendeteksian dini, dr. Suzy menyampaikan bahwa hal ini bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut meliputi biologis, genetik, makanan (keracunan logam), hingga kemungkinan trauma saat bayi dalam kandungan. Namun, perlu penanganan lebih lanjut dari dokter untuk mengetahui penyebab pastinya.
“Untuk penyebab ini beragam. Ada juga yang anaknya normal tapi keracunan logam, ada. Maka dari itu, penting untuk berkonsultasi ke dokter untuk tahu penyebab pastinya apabila sudah ditemukan gejala-gejala seperti di atas” jelas dr. Suzy.
Bahu membahu untuk ciptakan tumbuh kembang yang baik
Tidak hanya membahas dari aspek kedokteran, webinar tentang autisme ini juga turut mengundang Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si., Psikolog. Pada sesinya, Psikolog Indria menerangkan beberapa aspek penting untuk mengupayakan tumbuh kembang yang baik pada anak penyandang autisme.
Pada dasarnya, anak dengan spektrum autisme terbagi dalam 3 kelompok berdasarkan fungsi kecerdasannya. Ada yang memiliki fungsi kecerdasan rendah, menengah, dan juga tinggi. Tiap kelompok ini memiliki ciri khas masing-masing. Dengan mengenali kekurangan dan kelebihan pada masing-masing kelompok, orang tua dan lingkungan terkait dapat berupaya memaksimalkan potensi anak dengan spektrum autisme sesuai dengan potensinya.
Selain itu, Indria juga menegaskan, terdapat 6 faktor yang dapat menjadi penentu dalam proses keberhasilan intervensi pada anak dengan autisme. Hal ini meliputi derajat autisme itu sendiri, tingkat fungsi kecerdasannya, latar belakang keluarga (penerimaan dan dukungan), usia, kesesuaian program intervensi dengan profil anak, dan juga kesehatan dan fasilitas secara umum. Menurutnya, kerjasama antara tenaga profesional dan orang tua menjadi aspek kunci dalam perjalanan terapi.
“Orang tua tidak hanya menerima, tapi juga menyusunnya bersama-sama” tegas Indria.
Pada sesinya, Indria juga menyampaikan bahwa penting bagi orang tua untuk melatih keterampilan sosial. Misalnya cara anak berinteraksi dan berkomunikasi. Setelah ini berhasil, harapannya, anak dengan spektrum autisme dapat melakukan pengembangan life skills agar dapat hidup lebih mandiri.
Sekolah juga bisa terlibat dalam pembentukan perilaku anak. Hanya saja, ada hal yang perlu memperhatikan dalam menentukan sekolah mana yang akan orang tua pilih sebagai tempat belajar anak dengan spektrum autisme. Ia menilai penting banyak melakukan evaluasi terhadap sekolah-sekolah yang berlabel sekolah inklusi.
“Pastikan, sekolah tidak asal menyatakan diri bisa menerima anak ABK. Cek apakah layanan pendidikannya sudah benar-benar mumpuni apa belum. Saya rasa begitu” ujar Indria saat menjelaskan pemilihan sekolah untuk anak penyandang autis.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post