Jakarta, Prohealth.id – Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2023 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi Nadiem Makarim menyatakan ada tiga dosa besar dalam pendidikan di Indonesia. Dosa tersebut adalah; perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual yang dialami anak-anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat pengaduan kasus kekerasan di ranah pendidikan dari sebelum masuk pandemi Covid-19, yakni awal masuk pandemi Covid-19 saat Maret 2020, sampai dicabutnya status masa PPKM akhir tahun 2022. Berikut hasil pengaduan kasus di ranah pendidikan 2019 tercatat 321 kasus, 2020 di angka 1.567 kasus, pada 2021 di angka 421 kasus, pada 2022 di angka 429 kasus, dan pada 2023 sampai bulan Mei tercatat 64 kasus.
Merespon tiga masalah dan temuan KPAI, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyatakan tiga dosa ini memang masih terjadi di ranah pendidikan dalam negeri. Hal ini didukung dengan ramainya berita dan informasi atas tiga dosa tersebut.
“Hanya saja yang kita sayangkan, situasi korban di ranah pendidikan seperti menunggu, sampai ada yang berani mengungkap,” ujar Jasra melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (4/5/2023).
Artinya, kondisi ini membuat mau tak mau kekerasan di arena pendidikan sudah terlanjur banyak akibat korban yang tidak mau langsung melapor. Hal ini dikarenakan korban tidak merasa aman sehingga terjadi penelantaran masalah.
“Ini bukan pertama kali terjadi. Bahwa luar biasa besarnya kebaikan bisnis dunia pendidikan, meninggalkan problematika para korbannya yang tidak sedikit. Artinya ketersediaan penyelesaian kekerasan di lembaga pendidikan masih di dominasi penyelesaian di ranah privat, dijauhkan dari proses bisnis pendidikan itu sendiri,” tegas Jasra.
Ia menilai, proses pengusutan dan penyelesaian kasus-kasus tersebut di luar lingkungan sekolah, membuat korban harus mengakses keadilan di luar sekolah. Sehingga sekolah belum menjadi tempat yang aman, memiliki keberpihakan lebih pada akses keadilan korban.
“Ketika ditanya, apakah akses itu secara terbuka di sediakan sekolah, ada mekanisme merujuk, manajemen kasus dan pendampingan yang layak, maka jawabannya akan sangat beragam di jawab sekolah. Atau menunggu, sampai ada yang berani melapor, dan seketika bisnis sekolah tergagap gagap menghadapinya. Karena umumnya peristiwa terungkap setelah banyak korban berjatuhan dan menjadi ledakan peristiwa yang memberi atensi luas kita semua,” terang Jasra.
Ia menegaskan, pembentukan anak dalam dunia pendidikan sangat berhubungan erat dengan hak anak, apakah bisa dipenuhi dengan baik, hak anak terdidik di ruang publik, hak anak terdidik dalam mendapatkan kegiatan terarah mengisi waktu luang sesuai minat, bakat yang dipahami usia dan tumbuh kembangnya, apakah berhubungan antara urusan sekolah dan lingkungan terdekatnya, akar budaya dan kegiatan budaya, serta bagaimana agama diajarkan.
Menurut Jasra hal ini pada akhirnya akan sangat menentukan sikap, tingkah laku, tolak ukur anak dalam di sebut menjadi anak terdidik. Dalam satu klaster IV yaitu pemenuhan hak pendidikan, budaya, mengisi waktu luang dan agama.
Namun ketika pengajarannya tidak serius mengarah pada jiwa yang membawa sesadar sadarnya untuk anak belajar, maka tujuan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan setiap peserta belajar secara jiwa sadar dan mau belajar, akan sulit di capai.
Jasra mengingatkan, kawal pandemi Covid-19 tahun 2020 ada adaptasi dalam penyesuaian perubahan cara belajar anak yang meninggalkan angka pengaduan kekerasan di ranah pendidikan sangat tinggi. Namun, dengan tren yang terus menurun dari perubahan pola gaya belajar yang kini banyak dilakukan di luar kelas.
Pertanyaannya dengan kembali aktifnya ruang kelas setelah status PPKM dicabut, akankah mengembalikan angka kekerasan yang tinggi di ruang sekolah?
“Meski sejak Januari kita terus disajikan berita kelam lembaga pendidikan menjadi TKP mulai dari bullying dan kekerasan seksual. Semoga angkanya tidak berpindah dan menjadi tinggi semenjak anak anak kembali aktif belajar. Hari ini ini adalah kembali aktifnya dunia pengajaran berbatas tembok ruang kelas ini dimulai setelah liburan panjang lebaran,” tegasnya.
Jasra menambahkan, dunia pendidikan Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan baru. Kewajiban memberikan pengetahuan dalam tembok kelas, kini sudah tidak seberat dulu, karena begitu mudahnya anak mencari cara penyelesaian tugas belajar melalui genggaman teknologi informasi.
“Anak anak dididik bukan lagi berhadapan bagaimana ilmu itu di didapat, tetapi bagaimana kecepatan mencari informasi dan bagaimana menggunakan media dan teknologi untuk mendapatkannya. Mereka bersaing kompetitif disana,” terangnya.
Namun di sisi lain, lembaga pendidikan masih pusing dalam menahan laju informasi yang didapat anak, menghadapi pertanyaan kritis anak yang dianggap tidak pada umurnya, tidak pada usianya, tidak pada pemahaman anak seumurnya, menyaring informmasi tersebut untuk anak agar layak, sesuai kebutuhan anak di usia, pemahaman, dan perkembangan anak.
“Disinilah keresahan dunia pendidikan hari ini yang tidak mudah dijawab para guru. Apalagi milyaran informasi yang mudah masuk itu dalam waktu sepersekian detik tidak diimbangi dengan anak anak memahami bagaimana bisnis proses informasi itu berasal,” tuturnya.
Meski bisa melakukan literasi, tetapi program literasi kalah cepat dengan pertumbuhan pemahaman anak melalui jari jempolnya, dengan sedemikian cepat scroll, di Tiktok, Youtube short, reels Facebook, reels Instagram, dan lain lain dengan sangat mudahnya beralih dari informasi satu ke informasi lainnya.
“Belum selesai kita menjelaskan bagaimana literasi dalam satu informasi, sudah bertumpuk oleh informasi lainnya yang didapat anak. Bahkan kalau melihat tren sekarang, ketika anak lebih bertumbuh dengan media sosial, kita menyaksikan aplikasi seperti Tiktok yang saat ini boleh dianggap mendominasi dalam intervensi tumbuh kembang anak,” tutur Jasra.
Artinya anak-anak masa depan ditantang memiliki artificial intelligence yang dapat membuat spesifikasi yang rigid, segmented, terarah dari apa yang di suka anak. Ia menyebut melalui dunia simulacra itu anak diarahkan, ada yang positif dan ada yang negatif. Semuanya punya pengelola marketing dengan segala cara mendekati anak.
Ia mengingatkan, anak zaman sekarang tidak perlu mencari-cari. Anak-anak bisa menembus informasi pribadi mereka, akun pribadi mereka, bahkan sangat personal bisa dilakukan, karena anak menginstal aplikasi yang bisa komunikasi personal, yang hanya bisa diketahui antara anak dengan orang yang menyasar mereka, sehingga sulit ditembus dan tahu apa yang terjadi.
“Mereka akan bisa menembus langsung mendekati, tanpa anak perlu mencari. Itulah yang akan menjadi batu hantaman dunia pendidikan saat ini, bagaimana anak mendapatkan informasi yang layak, sesuai usia dan tumbuh kembang pemahamannya, dan jauh dari perlakuan salah,” terang Jasra.
Artinya sajian di ruang digital menjadi penentu cara anak belajar, cara mereka berinteraksi dengan warga belajar, cara guru mengajar. Alhasil, karena waktu anak lebih banyak habis di ruang digital, dibandingkan di depan kelas untu memperhatikan guru, membaca buku, dan memenuhi tugas sekolah.
Untuk itu, tradisi pendidikan di ruang kelas, jika dibandingkan dengan determinasi media informasi yang anak akses, maka cara pengajaran pendidikan yang klasik, akan menjadi pilihan yang paling terakhir bagi anak.
“Pendidikan kita akan terus tertinggal dengan industri aplikasi medsos, yang didalamnya bekerja juga secara bersamaan industri lainnya dengan penghasilan yang sangat menjanjikan dan fantastis. Anak anak menyampaikan begitu mudahnya dapat uang dan terkenal di alam jagad maya itu,” tutur Jasra.
Akibatnya, anak tanpa sadar tumbuh dalam dominasi, penguasaan, trendsetter, dilakukan semua atas nama viral. Anak-anak sangat sulit melihat dirinya sebagai sumber, kehilangan independensi dan daya kritis.
“Lebih banyak mengarah kepada krisis, sehingga jiwanya yang butuh pupuk ketenangan dalam memahami sesuatu, kehilangan, dan menjadi pribadi yang sangat agresif, tidak memahami bisnis proses, sehingga selalu reaktif.”
Jasra mencemaskan jiwa anak tidak tumbuh, tetapi yang tumbuh adalah reaksinya dalam berekspresi emosi yang didominasi ketakutan, kepanikan, dan tanpa alasan. Sehingga menimbulkan kerugian pada perkembangan jiwanya yang didalamnya ada upaya sadar memahami kondisi di sekitarnya.
Discussion about this post